Aku, Kau, dan Menghidupkan yang Mati

Judul : Dongeng Adelia
Penulis : Isbedy Stiawan Z.S.
Penerbit: Siger Publisher, Bandar Lampung
Cetakan : Januari, 2012
Peresensi : F. Moses *
http://www.lampungpost.com/

MUNGKIN bukan sesuatu yang jelimet membaca dan menulis teks puisi, melainkan bisa saja sebaliknya. Karena di mana ruang dan waktu untuk menulis itu, bertukar-getarlah sejauh mata dan hati memandang. Juga mampu saja mengetatkan antara aku dan kau serta menghidupkan yang mati dari/dan kepada penyair itu sendiri bagi pembacanya.

Demikianlah yang dilakukan Isbedy Stiawan Z.S. hingga berujung empat maktub ruang di dalam buku puisinya: Dongeng Hujan, Dongeng Adelia, Dongeng Pengembara, dan Dongeng Ibu.

Isbedy Stiawan Z.S. menawarkan keseharian lelaku kehidupan melalui keragaman teks dari puisinya itu—menukik cukup tajam hingga kita seperti tertuju pada panorama sekaligus diorama puisi itu sendiri; bahwasanya suara-suara keseharian di dalamnya tak hanya menawarkan teks yang tegas, jelas, dan kritis, tapi juga indah.

Teks-teks puisi dalam buku Dongeng Adelia ini membangunkan cukup banyak kata yang “terkesan mati” lalu digabungkannya menjadi banyak frasa hingga terasa ada temuan menghidupkannya kembali. Dan sekiranya, dari hal tersebut, makin terenduslah bahwa kesegaran dan penyegaran yang dilakukan Isbedy Stiawan Z.S. terhadap penjelajahan bahasa makin memperlihatkan ketajaman dan kematangannya dalam mengolah sekian kata yang terkesan biasa atau rawan dapat berlalu begitu saja—bahkan kalau boleh dianggap selintas pintas asumsi tersebut makin terasa dimatangkannya; seperti pada pengolahan bahasa dalam kutipan puisi di Pantai: pantai memanggil ombak (hlm. 3); Akulah Batu Akulah Air: akulah batu pelan-pelan terkikis juga// akulah air tak betah di ketinggian// akulah hujan datang padamu tanpa ketukan; halaman 20. Laut Kita yang Berombak: lalu hujan datang// di minggu siang// meninggalkan catatan di kaca kamar itu// agar tak dilupakan waktu// selain nama kita// juga tawa anak (hlm. 4); Senandung Hujan: serupa lentik jemari perempuan// kukukunya bercat ungu// lembut suaranya, mengintip//dari jendela kaca kamarku// ingin mengajak pelan// untuk tak pulang (hlm. 21).

Pengalaman Puitik

Puisi-puisi dalam buku puisi ini, selain menapis laiknya penggalan-penggalan keseharian, juga seperti rangsangan bagi benak pembacanya; bahwa memang ada kenangan maupun ingatan yang mesti dicatat—hal itu mungkin lantaran sebagaimana penyair cenderung tak dapat dilupakan apalagi dipisahkan dari lingkungannya.

Maka membaca teks puisi yang dihadirkan Isbedy Stiawan Z.S., seolah membaca sekaligus merasakan momentum pengalaman puitik yang dilaluinya. Hampir semua puisinya dibangun di persilangan hubungan antara “aku” dan seorang “kau” yang bisa siapa saja, tetapi tak urung menghasilkan suatu komunikasi yang akrab dan personal antara penyair dan khalayaknya, seperti dikatakan Manneke Budiman.

Keakraban komunikasi penyair begitu terasa komunikatif. Seperti kutipan Kalender Januari: setiap kubuka lembar// pertama kalender// ada Januari yang gerimis// dan kau menanti// kau siapkan sejumlah waktu// untuk menanam pohon (hlm. 23); Tunggu Aku di hari Minggu: Tunggu aku di hari minggu, katamu// saat gerimis bertamu di luar… “tunggu aku di hari minggu// saat gerimis sampai di pembaringan// begitu gigil aku dipelukmu.” (hlm. 25); Mengecup Keningmu yang Pagi: aku ingin bintang// tak cepat pulang// bulan tak segera mengelam// aku mau kau menemani malamku (hlm. 44).

Komunikasi yang mengalir, mungkin, sering menjadi paling penting justru dari hal sederhana, dan itulah perlakuan Isbedy Stiawan Z.S. terhadap semua teks puisi dalam buku ini. Sungguh di antara bagian yang menjadikannya kian lain dari beberapa karya sebelumnya. Dan semakin terasa pula jalinan dongeng melalui jalan puisi ditempuhnya—seperti maktub yang menjadi empat bagian itu.

Permainan Keseharian

Akan tetapi, seringnya Isbedy Stiawan Z.S. menawarkan permainan keseharian berbahasa yang diungkapkan dalam teks puisinya, sesungguhnya ia juga bermain dalam kerawanan. Rawannya pembaca yang acap menginterpretasikan puisi sebagai “puncak estetika bahkan akrobatik” terhadap sikap soliter para frasa dalam menakik bahasa—khususnya keliaran berbahasa dalam puisi, tentunya. Meski peran para pembaca puisi (katakanlah sebagian atau beberapa pembaca hari ini) juga sering masih ambivalen tiap terlena, melangut, ngungun, bahkan terkontemplasi oleh puisi.

Pada buku Dongeng Adelia ini, justru tampak keberanian konsistensi Isbedy Stiawan Z.S. makin pada kemahirannya—kalau boleh dibilang juga makin mematangkan, mencakapkan sekaligus memantapkan—bahwa bahasa keseharian tak lain ialah entitas untuk memakinkan bahkan memungkinkan usia panjang perpuisiannya kelak; atas perlakuannya pada hal-hal remeh yang tak lupu pula ia sematkan. Mungkin ini pula yang dapat dibilang sebuah pencapaian: “ekaristi seorang penyair terhadap kasih hati puisi” memyublim ke buah proses kreatifnya.

Hasilnya, dari buku Dongeng Adelia dialurkannya empat maktub, yakni Dongeng Hujan, Dongeng Adelia, Dongeng Pengembara, dan Dongeng Ibu. Tiga dari keempat dongeng masing-masing berisi belasan puisi dan satu dongeng berisi tujuh puisi. Hampir semua teks puisi dihadirkan, seperti komunikasi dua arah antara aku dan kau yang dapat menjadi siapa saja. Bahkan pesona mimetis yang senantiasa di tengah kita pun dibikinnya hidup dan membaur seperti obrolan nyata yang tetap di dalam kodrat kesatuan paling akustis.

Rasakanlah bahwa kita memang terbagi menjadi beberapa bagian yang sering bisa saja terlibat tanpa maupun bersama kesadaran dari frasa, seperti beberapa judul berikut: Pantai, Laut Kita yang Berombak, Senandung Hujan, Kalender Januari, Tunggu Aku di Hari Minggu, Aku Tahu, Sepasang Burung, Dongeng Malam Sebelum Tidur, Malam Bersamamu, Belajar Mencintai, Dongeng Pagi ini, Menunggu Penerbangan, Di Sebuah Kafe, Mungkin Kau sudah Pulang, Di Sebuah Ruang, Datang dan Pergi, Mata Ibu, dan Mendekap Ibu: aku dekap ibu// merapikan kain yang tersingkap// :beginilah ibu mendekapku// menutup /tubuhku dengan selimut// agar lelap tak terusik nyamuk.

Demikianlah, di tengah manifestasi perpuisian Indonesia yang senantiasa bekerja untuk pencapaian estetika berbahasa—“serta keluhuran macam lapisan unsur di dalam teks puisi”—yang sering juga tertuntut makna di dalamnya (meski pencapaian makna juga tak mutlak kehadirannya), cukup patut dicerap buku Dongeng Adelia ini; estetika dari bahasa keseharian yang berenergi puisi.

F. Moses, Penikmat sastra /26 February 2012

Bahasa »