Yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun” dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”
Nurel Javissyarqi
“A masterpiece always moves, by definition, in the manner of a ghost” (Jaques Derrida, Spectres of Marx).
Lumayan lama tak melanjutkan tulisan, terhitung setengah bulan lebih. Kini menginjak angka 17 nomor saya sukai, bilangannya sama bertanggal kemerdekaan Republik Indonesia tujuh belas, (Agustus 1945). Setelah membenamkan diri beberapa masa, membaca ulang membenahi tulisan lama, Alhamdulillah cara belajar ini mengalami peningkatan. Melodinya sedari awal terlihat kemajuan, sedeburan gelombang mendedah kesaksian. Ke pepuncak tertakar, pun lebih sadari kelemahan, juga beberapa temuan mengecewakan.
Sebelum masuki soal, ingin bermanja terlebih dulu. Kangen bercuap-cuap sambil memancing kata bercanda akrab, memeluk mesra sekecup kasih nan tertunda, sekarang masanya merasa. Hawa senja angin tropis musim penghujan, ada beberapa bacaan belum rampung nan menggantung, sketsa tipis menebal, kejelasan di sisi temaram, tanpa beban selain kebodohan diri, helahan napas bebulir kemungkinan. Serupa Bengawan Solo mengalir entah kapan tiba ke laut keutuhan, jelasnya ada tantangan berlebih, kecurigaan bertumpuk, waswas mendera, cahaya berkilau sepelangi melenakan sebentar.
Waktu-tempat tertera dari beberapa data lagu jemari melangkah, sekurangnya jadi patokan secermin keliling melihat kematangan, atau pun kedangkalan terbit darinya. Iramanya menguntungkan berbolak-balik membaca diri, tertambah komentar kawan nan perjelas bibit rahmat perolehan. Sayang tulus bersinggungan, jarak simak perbedaan, permainan licin antara keberanian menyuarakan realitas, menyadap sedap searoma rokok terhisap, kepulannya seperti pejaka melanglang buana. Yang terkata menyauri hutang kepada Sang Pemilik Nyawa, meski selalu nonggak, mungkin sering merasa sibuk pun menyibukkan diri sampai abai. Tidak lebih ingin berpulang berkeadaan tampan bermuwajahah oleh tiadanya menyia-yiakan kesempatan, jumlah usia direstui-Nya. Hanya doa sebalutan kata saya, tidak lebih baik dari pedagang keliling kehujanan-kepanasan demi keridhoan, mendambakan kemurahan tuhan tercurah.
Malam turun pelahan teringat beberapa masukan kawan semua saya tampung, diletakkan di beberapa tempat sesuai kemampuan warna tengah membentuk gugusan. Tentu tidak membiar tarikan sendiri lewat pendekatan teryakini bisa menyusupi rerongga masa meski berbeda, selama yang terpunggah tak mencederai sketsa tegasnya. Berharap seturunnya kalam fitri serta tafsirannya, meruang-waktu peristiwa mendiagnosa, dialog jiwa dan raga, badan lain tak teraba, sefirasat atau hal kecil mempengaruhi letak; bergeser, menekan pun naik mengikuti hukum timbangan semesta, antara terlihat mata dan maya. Kekhusyukan ingin bawa kesaksian murni, bercengkerama realitas menyimak alur-alur perubahan, mendudukan disepadankan siratannya. Maka tetap fokus segambaran perbandingan memperkaya kelapangan jiwa, demi membuka lelembaran kebenaran nyata.
Sepertinya hawa angin bagian ini segera masuk, padahal masih berkeinginan melantunkan kata memenuhi halaman panca indra, agar tak tegang berakibat persinggungan tajam, meski ada. Setarik ulur ini, lantaran ragu belum membaca ulang bebahan hendak disuguhkan olehnya mengambang, belum bercorak terang sepantasnya menghadirkan penegasan. Maka saya hentikan sementara sambil mengikuti larutnya malam, menghitung angka kalimat kemungkinan lain dari pidato SCB sebelumnya. Lewat kekuatan-kelemahan bahasa yang saya timba dari karya-karya mengguncang dunia, bukan polesan mengada, tapi luapan besar; pergolakan sungguh terbitnya sejalur cahaya matahari menghadiahi reribuan manfaat bagi terpancari.
Rembulan nampak purnama tanggal 15, namun terlihat limbung di arah barat sepertiga malam musim dingin, sedangkan tubuh ini mengalami kehangatan kembali, terkenang beberapa lingkup penelusuran lalu. Jadi, bila ada pernyataan terlihat asing seloncatan, diri memaklumi karena anda tak membaca dari awal, sebab saya tak memanjakan lawatan menunjukkan sketsa sedurungnya kecuali sekadar.
***
Derrida memulai bukunya “Spectres de Marx: l’état de la dette, le travail du deuil et la nouvelle Internationale” terbitan Éditions Galilée 1993. Masuk ke Indonesia melalui “Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning, and the New International” Routledge, New York, 1994, pada penerbit Bentang, Juni 2000, penerjemah Hartono Hadikusumo. Derrida memetik sandiwara tragedi Hamlet karya William Shakespeare dengan ‘kata perintah’ “Hamlet:… Bersumpahlah. Hantu [di bawah]: bersumpahlah.” Meski dari dua pengucap berbeda ‘badan,’ masih mengandung perintah, ‘kutukan’ (Sartre), menciptakan nafas hidup di ruangan lain, atau Adam digelincirkan ke bumi bersama Siti Hawa. Tiada ampunan kecuali yang berpegangan pada ‘dahan istighfar’ (Ibnu ‘Arabi), mencari obat penyesalan sakit dan mengharap kesembuhan, bukan hidup yang diberkahi untuk bebas!
Di sini tak mendangkalkan sejenisnya atas kitab suci, hanya saya percaya, sastrawan ampuh pun kritikus berjiwa tanggung, mendasari karyanya lewat sejarah yang tak menutup kemungkinan terpikat kitab-kitab suci yang berpengaruh besar penduduk di bumi. Sejumputnya marah, tertawa, berimajinasi pula bersikap lain tetap di alam akli, pangkasan utuh membikin bangunan dialog berjenjang, tak mudah ambruh pun bolak-balik. Shakespeare mendialogkan badan kasar, badan halus; Hamlet dan Hantu. Jika merujuk ungkapan “Kun Fayakun” terbalik, tetapi tepat bagi Derrida membongkar Marx lewat ini, yang condong tak mempercayai tuhan, atau imajinasi tentang tuhan ialah bikinan manusia. Di mana ucapan Hamlet di alam realitas, Hantu berucap di ruang turunan berbeda, perintah sedari akal untuk yang tidak terjangkau nalar. Namun satu peristiwa memulai terciptanya sebuah tragedi, drama menggetarkan!
Ketidakmasuk-akalan SCB juga tidak Ilahiah, memunculnya ‘kata benda yang diperintah’ “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” Sulapan kelas dangkal! Kalau melekati jiwa seniman, maka dasar-dasar logikanya ngawur tidak dipikirkan, otomatis jika menelusuri hasil karyanya terlihat karya kegagalan. Andai dirasa cukup berhasil sebab telah banyak dukungan, tentu banyak faktor, misalkan: Di mana khasana keblinger itu tumbuh? Siapa saja penopangnya? Secorak apa pula yang keluar darinya?
Mula Derrida menguji nyali atau membuahi kekritisannya lewat menampilkan judul dari ‘kata-kata benda’ “Hantu-hantu Marx,” seakan menunjukkan permainan dunia orang berakal dan tidak, mungkin juga menertawakan diri sendiri. Jalan alot itu memaksa mengoreksi tempat duduknya; apa ada paku membahayakan, banjir tiba-tiba atau perbedaan dapat merusak gagasannya. Ketika dirasai kehabisan tenaga, dipanggil Shakespeare, Hamlet tepatnya demi menyelesaikan soal menghalangi penelitiannya. Tengok ‘evolusi (kata) benda’ Derrida di hlm 15-16, singkatnya:
“Maka, apakah tiga hal dari benda ini? 1. Bagi karya belasungkawa tidak ada yang akan lebih buruk lagi ketimbang kekacauan dan kesangsian: orang harus tahu siapa yang terkubur di mana –dan memang perlu (untuk tahu – untuk memastikan) bahwa, dari apa yang tersisa darinya, dia tetap tinggal di sana. Biarlah dia tinggal di sana dan tidak berpindah lagi! 2. “Hamlet: Tengkorak itu memiliki lidah, dan dulu bisa bernyanyi. 3. Akhirnya (Marx qui genuit Valery…), benda itu bekerja, apakah ia mengubah atau mengubah dirinya, membentuk atau mengurai dirinya: ruh, “ruh dari ruh” adalah kerja.”
Ada masalah besar, dikata kecil juga boleh; SCB mengganti arti dari teks aslinya, bukan teks asli dibongkar, dirombak atau diselewengkan secara cerdas berdasar akli menggugah kesadaran lain. Ini belum pernah saya temukan pada sastrawan dan filsuf (intelektual) beneran, kecuali adanya alasan pengelabuhan, dan Tardji tidak ketengahkan itu, seperti sadar setiap olahannya dipastikan diterima siapa pun. Maka permainan sulapan dilakukan demi melegalkan beberapa kesannya pada dunia. Seorang pesulap atau pun penyihir, memang diharuskan terampil membelokkan perhatian atau pandangan mata, seolah yang terjadi menakjubkan, dinaya kejutnya diberikan bagi mereka yang terpesona dan media massa juga para pengagumnya, cukuplah menopang gaya sihirnya. Seperti ular-ular para tukang sihirnya Fira’un mengelilingi Nabi Musa as., bebentuk tingkah pola ular-ular maya bisa terlihat hasil para kritikus pembelai puisi-puisinya yang dikatakan puisi mantra, tetapi tidak! Karena setiap mantra bisa disebut puisi, menurut rupa serta bebunyiannya, dan bertuah!
Dua kemungkinan jika bukan Musa as. yang menghadapi peristiwa tersebut. Pertama ia berlari tunggang langgang, keduanya masuk perangkap alam bikinan tukang sihir. Yang terbirit menghindar dapatlah mengumpat, ngedumel lantas mengatakan ‘buah itu tak nikmat, sebab tidak bisa memetiknya.’ Atau tercenung di sulut kamar memikirkan yang terjadi, berheran hingga kerasukan; ngomel sana-sini karena tak mampu melihat realitas -semu kejahiliyahan. Yang terjerat kurungan sihir terpesona mengagumkannya, keheranan atas kesaksiannya diceritakan ke banyak orang, seperti kritikus yang kurang memiliki pegangan kuat atau iman berkesenian. Di tambah tekanan pamor Fir’aun tak sekadar raja tapi juga tuhan; raja berwewenang seolah tangan tuhan, tuhan memiliki kekuasaan menghapus derajad tuhan lain yang menyainginya. Maka perubahan “Kun Fayakun” dimenjelma “Jadi, lantas jadilah!”, seperti tak masalah baginya, mungkin begitu?
Bagaimana kisahnya andai Nabi Musa as. diabaikan tuhan, tidak turun perintah untuk melemparkan tongkatnya? Tuhan membiarkan saja tidak bertanggungjawab pada nasib Musa, juga sebagian umat beriman? Tuhan iseng tak bertanggungjawab sambil melihat gelagat raut muka Musa. Atau usil menyuru lempar tongkat tetapi tidak diwujudkan menjelma ular besar? Karena tuhan tak bisa diminta pertanggunganjawaban atas ciptaannya, seperti tuduhan SCB di esainya –“Sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya”– (Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair)? Tidakkah tuhan di sana ‘semau gue’ istilah Jakarte. Lalu takdir Musa sialan, sia-sia memberantas kegelapan, mungkin diperolok-olok tuhan dari ketinggian langit hayat, dan Raja Fir’aun pengaku dirinya tuhan makin keren di hadapan pengikutnya. Maka tak sekadar tepuk tangan panjang, juga beberapa penghargaan memayungi wibawanya. Tuhan Allah swt. pun melanggengkan jasadnya, tetapi bukan sebentuk penghargaan, apalagi penghormatan, tidak! Namun peringatan bagi orang-orang setelahnya.
Ternyata (kata depan ini mengingat- anak saya yang belajar mengarang, tetapi kebanyakan kata ‘ternyata’) Allah swt. menjelmakan tongkat Nabi Musa as. yang mematuhi perintah-Nya, tongkat dilempar membentuk ular besar sebagai bukti kemukjizatan kenabiannya. Karena Fir’aun dan para tukang sihirnya telah buta mata hatinya, perihal itu dianggapnya sihir, serupa pekerjaannya berpropaganda. Muka Raja Mesir merah marah terhadap sekutunya, mengumpati para tukang sihir yang senantiasa dimanja ketenaran juga kekayaan pandangannya berbeda, daripada raja-raja lainnya. Sementara Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal ‘Presiden Penyair Indonesia, Raja Mantra,’ terpukau kagum pada sulapan menyihir David Copperfield. Sampai gegaya puisinya lain daripada perpuisiannya sebelum menyaksikan pementasan “David Copperfield, Realities ’90.” Ia terjebak ke dalam alam bikinan pesulap, hingga memberi kesaksian lewat puisi gaya barunya. Dan otomatis para kritikus mengudar perubahan drastisnya, terpesona ‘anak pesulap’ itu, serupa ketakjuban tukang-tukang sihir terhadap mukjizat Nabi Musa as. yang dikiranya –sekelas sulapan sihir juga!
***
Setelah lewati separuh kurang melingkar, saya teruskan disertai suara ti’k-ta’k gerimis di luar, demikian jika divisualkan. Bagian ini mengambil garis Derrida, dan Insyaallah bagian selanjutnya XVIII melalui pemahaman Muhammad Iqbal, entah terjumput motodenya. Yang jelas, saya terpengaruh ruang lingkup aktivitas keseharian, mungkin kurang peduli pendekatannya, kecuali bergayuh seirama prosesi menuangkan ini. Dapat dibilang kini masih kupasan lingkup dalam dari paragraf IK pun yang nanti. Mari baca Bismillah, senada kumandang musik ‘Queen,’ “Bohemian Rhapsody.”
Di sini saya jumput paragrafnya SCB dari Mastera: “Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hlm 20).
Kata ‘jadi’ atau wujud atau ada; setingkatannya atas firman permulaan sedari Tuhan Sang Maha Penyair, lengkapnya “Jadi, lantas jadilah!” Merupakan wujud, sesuatu yang sudah ada, benda telah jadi; tuhan di sana mungkin juga heran keberadaan benda tersebut tiba-tiba hadir di hadapannya, bercuriga adanya tuhan selain dirinya. Sebab benda itu tak diwujudkannya, tapi diwujudkan yang lain atau wujud sendiri, hadir terbit sendirian di depannya, dan tuhan sang maha penyair tinggal mewujudkan ulang dengan kata-kata ‘lantas jadilah.’ “Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda” tak lain tak bukan adalah kata ‘jadi.’ Sesuatu yang ajaib, tuhan sendiri terkagum serasa dipaksa benda itu untuk dijadikan ulang dengan kata ‘jadilah.’ Keterpaksaan dari sebuah keutamaan yang datangnya tiba-tiba, laksana kejatuhan pulung tiada tahu siapa peniupnya, siapa penggeraknya semula?
SCB menghilangkah kata kerja awalan dari firman tuhan sang maha penyair, dan tampak kata kerja perintah itu datangnya terlambat, dengan memunculnya kata-kata ‘lantas jadilah.’ Kemendadakan mencipta keterkejutan, seperti dalam ruangan tunggu atau firmannya menanti hadirnya (kata) benda itu jatuh; ‘kata adalah benda,’ menurutnya ‘adalah ikhwal’ (fenomena), fenomena itu sesuatu yang rumit, jamak, selalu berubah. Perihal tersebut masuk ke dalam ‘adalah makna,’ yang otomatis makna ini sesuatu amat rumit, jamak (banyak), serta senantiasa berubah, nilai yang bisa berkurang juga bertambah, lantas ‘adalah diri ekspresi’ dari benda-benda, kerumitan pun tidak tetap masanya di dalam ruangan bisa berganda pula, demi mewujudkan keberadaannya -jadi ‘adalah eksistensi.’
Jika ditarik kembali ke titik semula, yang menurut kosmologi matematis Frank J. Tipler ‘Omega Point Theory’ disebut titik singularitas ialah titik omega, dalam karya-karya Al-Hallaj pun lainnya bersenandung demikian. Saya lanjutkan, tuhan di sana (paragraf di atas) serupa pesulap atau pencipta sedari sesuatu yang sudah ada; menyelesaikan kasus-kasus telah ada; tuhan belajar dari banyaknya kerumitan, kemakna-gandaan dan sebagainya; sinahui perubahan benda-benda yang tidak diciptakannya; tuhan menjadi penyelesai kasus, hakim mengudar soal, perampung masalah yang tak dibikinnya. SCB lalu berkata “Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” Untuk penyair dapat saja menciptakan sesuatu dari yang sudah ada, namun tak bisa dimasukkan ke dalam firman Allah swt. “Kun Fayakun.” Ungkapan Sutardji senada esainya Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair: “Peran penyair menjadi unik, karena — sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya — secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” (Orasi budaya dalam Pekan Presiden Penyair, Republika 9 September 2007).
Ada kritikus mengibaratkan saya seperti semut dalam Aqua jika berhadapan SCB, jadi anggap semua tulisan ini monolog semut-semut hitam merayap. Memang tak saya pungkiri keberadaan diri ini di dunia sastra Indonesia bukan apa-apa, apalagi bertatapan sejarah sastra yang hampir semua kritikus telah mengokohkan karyanya. Tetapi saya tidak minder sama sekali apalagi mundur, tidak! Sebab apalah bagi saya kalau sampai ugal-ugalan merombak firman-Nya, meremehkan-Nya dijadikan sekutu manggut manut pada syair dan pemikirannya! Tak lain, saya ingin meluruskan pemahaman, selaras persinggungan saya dengan Leo Tolstoy nan menghadirkan buku “Kulya Dalam Relung Filsafat” 2004. Sebab apalah hidup tanpa keyakinan, menggadaikan pada yang fana, sebentar-sebentar lenyap!
Jiwa ini amat labil, hingga kerap mengadu kepada-Nya lewat sampiran kata, saya harap tak merusak tuangan malam ini. Balik ke soal, kalau menyebut istilah ‘takdir’ atau pun ‘nasib’, maka yang terbayang sedari benda-benda disebut SCB melalui tuhan sang maha penyair, seolah berjalan kaki sendiri-sendiri. Mengingat beberapa kajian sastra yang ditulis Sutardji pula para pengupasnya; takdir kata-kata bergerak jempalitan, mondar-mandir bisa membunuh dirinya sendiri, mengobok-obok nasibnya, meracau ke depan-belakang, tersebab tuhan telah membebaskan demi mencari makna lewat nada dering “Jadi, lantas jadilah!” Bisalah itu terjadi, menengok penggalian mereka pada puisinya yang katanya puisi mantra, generasi pulang kampung ke akaran, dan seterusnya.
Pada Derrida yang saya namai ‘evolusi (-kata-) benda’ tepatnya ke angka 3. Akhirnya (Marx qui genuit Valery...), benda itu bekerja, apakah ia mengubah atau mengubah dirinya, membentuk atau mengurai dirinya: ruh, “ruh dari ruh” adalah kerja.” Kurang lebih perembesan dari ungkapan Valery: Manusia “suatu upaya untuk menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh.” (di hlm 7). Lalu kita bandingkan ‘kata benda’ perkataan SCB, “(Jadi), lantas jadilah!” merupakan ‘kata benda’ yang dipekerjakan. Bukanlah: “ruh ‘ruh dari ruh’ adalah kerja:” Kata benda ini memiliki riwayat, “1. Belasungkawa. 2. “Hamlet: Tengkorak itu memiliki lidah, dan dulu bisa bernyanyi.” Yakni kematian menuju belasungkawa -sebuah benda- tengkorak yang dulu berlidah serta bisa bernyanyi. Dulu sekali, sebab ternyata tengkorak tidak punya lidah, dan tidak mungkin dapat berlagu. Maka yang muncul kenangan, sejarah masa hidupnya kata benda, “Hantu-hantu Marx” yang (dari) di masa hidup Karl Marx menuliskan “Das Kapital,” Manifesto Komunis tersebut kini, (sedang) menghantui. Kata benda ini bersilsilah ruang-waktu, yang menyeret bayangannya kepada sejarahnya.
Lebih jauh Derrida menemukan istilah ‘azali’ atau saya mempercayai sebagai azali, dari ujarannya: “Bahkan bila masa depan itu merupakan asal-usulnya sendiri, masa depan itu harus, seperti semua asal-usul, mutlak dan tak terubahkan lagi, masa lalu.” (xxviii, Eksordium). Kini tengok kata-kata SCB di hlm xix di bukunya “Isyarat” sebagai awalan guratannya, setelah esai pembuka “Ihwal Personal” xv tertulis singkat:
“KATA-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian.
Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air.
Kata adalah pengertian itu sendiri.
Dia bebas.
(Kredo Puisi, 1973)
Maka jelaslah SCB berpengertian demikian: “Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi.” Tapi sangat keliru perihal itu dirujuk ke firman “Kun Fayakun” yang sudah saya terangi, juga senapas Derrida pula Valery: “ruh ‘ruh dari ruh’ adalah kerja.” Bukan seperti pemahaman Tardji “di mana kata adalah benda.” Tetapi ruh tersebut “merupakan asal-usulnya sendiri” dan “masa depan itu harus, seperti semua asal-usul,” ini “mutlak dan tak terubahkan lagi, masa lalu” di atas “ruh ‘ruh dari ruh’ adalah kerja.” Sejurus jumputan saya terdahulu, ruhaniah kata kerja’, fi’il amar, atau perintah pada kata “Kun.”
Umpama dibolak-balik jempalitan membacanya, ini pula menyenggol yang mengkritisi buku saya “MTJK SCB” Wawan Eko Yulianto memesankan saya pada ulasannya, “saya menyarankan kepada Nurel agar membandingkan dulu pandangan Tardji yang dulu dengan yang sekarang tentang mantra.” Kenapa saya yakin meski lewat dua potong esainya SCB waktu itu? Sebab konsep (kalau pantas dibilang konsep, tepatnya kesan pada kehidupan), kalau kesan tersebut dangkal, kemana pun tetap mentah. Apalagi bagi jiwa-jiwa sudah merasa mapan, dimapankan keadaan; kritikus memandulkan kreativitasnya lewat perbandingan muluk, tetapi nyatanya njomplang? Sebagaimana perhitungan gemintang serta hukum-hukum baku digenggam semesta alam, serta mereka turut menelitinya sampai menjelma rumusan kalender, membaca musim, cuaca dsb. Begitu yang terketahui, dari buku saya baca meski belum lapang. Setidaknya dari beberapa suara masuk menjadi pemacu diri terus belajar, memahami yang sudah dipelajari mereka. Diri ini cuma meluruskan yang sudah-sudah, dengan kadar apa adanya.
Ruh daripada ruh dari ruh ialah kerjanya Marx, Valery, Derrida. Kata benda ‘hantu-hantu’ yang menghantui. Atas proses panjangnya memuara pada karyanya sastrawan besar Inggris William Shakespeare berlabel ‘Hamlet’ seperti terhidang ini:
Hamlet:…Bersumpahlah.
Hantu [di bawah]: Bersumpahlah.
[Mereka bersumpah]
Hamlet: Tenang, tenanglah Ruh yang terusik!
Jadi Tuan-tuan,
Dengan segala kasihku aku unjukkan diriku padamu;
Dan walau semiskin ini Hamlet
Menyatakan kasih dan handaiku padamu,
Insya Allah, tidak akan kekurangan:
Marilah jalan bersama,
Dan letakkan jari-jarimu pada bibirmu, kumohon.
Waktunya tidak nyambung: Oh jahanam terkutuk,
Yang aku dilahirkan untuk membetulkannya.
Tidak, ayolah, pergi bersama [Keluar]
–Babak I, adegan v. (halaman 3).
***
Sebelum mengudar karya Shakespeare, meski agaklah malu terdahalui Jacques Derrida. Oya, barusan saya baca esainya SCB seperti ngemil pagi ini, serasa ‘ngemput’ jagung. Esainya bertitel “Puisi Muncul Dan Penyairnya Mati –Polemik Puisi Gelap: Sekilas Jawaban– hlm 168 – 181 buku “Isyarat,” Republika, 20 Maret, 27 Maret, 3 April 1994, tampak keangkuhan meremehkan Derrida seolah dirinya paling! Ini lucu!
Mungkin baginya wajar, firman Allah swt. saja dipreteli seperti sulapan “Jadi, lantas jadilah!” saya rasa seluruh dunia terpingkal-pingkal olehnya! Shakespeare mengawali dialog Hamlet dan Hantu, Hamlet:…Bersumpahlah. Hantu [di bawah]: Bersumpahlah [Mereka bersumpah]. Hamlet tidak mendekte Hantu dengan menyebut kata benda ‘Sumpah’, tapi kata kerja perintah yang dalam nahwu shorof, alat baca kebahasaan arab, fi’il amar ‘Bersumpahlah’, Hantu menyerukan sama. Meski pada derajat berlainan, tapi masih dalam tataran akli kebahasaan, “Kun Fayakun” bermakna “Jadilah,” maka jadilah ia.” Dua kata kerja besar, menggerakkan suluruh peradaban dunia akhirat seisinya!
Adalah kosong “Jadi, lantas jadilah!” Mak bedunduk nunut ngeyop, abrakadabra, barang sudah jadi dimunculkan, David Copperfield menerobos tembok, atau semua memukau dunia lahir-bathin SCB dan pengagumnya. Jadilah sastra bim sala bim, puisi mantra priketiwi tidak bertuah! Atau Tardji bingung membaca Derrida? Dikarena nasibnya sudah di atas angin kritikus handal di Indonesia sampai dataran Asia? Maka tidak perlu perevisian, sudah merasa dinaungi dewi fortuna, dewa-dewi mendiami mitologi. Olehnya makin kuat sejarah sastra Indonesia, sebagian masuk menghidupi pekabutan mitos?
Yang tertuang ini anggap memakai pendekatan bersap-sap gelombang, ondak-ondakan untaian rambut memanjang bidadari mandi keramas di sendang. Saya bukan FPI, diri ini mengamini ungkapan almarhum Gus Dur; “Tuhan tidak perlu dibela,” menerima perbedaan tentunya berlantaskan pengetahuan, tidak asal njeplak. Hanya pengelana ingin selalu belajar, tak takut bersinggungan daripada mendiami ruang-ruang pembodohan! Maka bersiaplah berkedip-kedip membacanya. Tengok ulang sajak SCB “Enso!” atas petikan A. Rahim Abdullah yang menurut saya belum!
Enso!
Di Qur’an kini hanya aljabar
Beratus persamaan-persamaan tersamar.
…
Aku tak mengurusnya lagi
Jemu. Cahaya sebentar datang,
Lalu hilang kembali.
Terbayang SCB linglung sehabis baca Al-Kitab beserta artiannya, bisa jadi, yang terpegang hasil penerjemah kurang paham tradisi Arab, pembaca tahu tersebut? Pula sangat sembrono, andai tidak merujuk ke Asbabun Nuzul-nya. Sutardji membolak-balik lembar Kitab Suci, ditengok terdapat keserupaan di Surat Al Hijr ayat 61-75 dengan Surat Hud ayat 77-83, mengenai kisah Nabi Luth as. Lantas ditemukan Surat Al A’raf ayat 109 dengan Surat As Syu’ara ayat 34 mengenai Nabi Musa as. Adanya kemiripan lain ‘pengucapan,’ di Surat Al A’raf yang menuduh Nabi Musa tukang sihir ialah kaum Fir’aun, sedangkan di Surat As Syu’ara yang mengatakan demikian Raja Fir’aun sendiri.
Sutardji terus berpusing-pusing lontang-lantung menimbang isi Kitab Suci lewat pelbagai bacaan sejarah menerangkan Para Nabi, ditemukan ‘ada kemengslean.’ Dibacanya asatir (legenda), tumbuh dalam kitab tersebut, ada pula surat-surat alunannya berkisah semata di hadapannya, misalkan Surat Yusuf, Al Anbiya’, Al Qasas, serta Nuh. Menurut A. Hanafi, M.A. pada bukunya “Segi-segi Kesusastraan pada Kisah-kisah Al Qur’an,” diterbitkan Pustaka Alhusna Jakarta, cetakan I, 1984 lebih jauh menyebutkan:
“Dari keseluruhan surat Al Qur’an, maka 35 surat memuat kisah, kebanyakan adalah surat-surat yang panjang. Jumlah ayat-ayat Al Qur’an yang dipakai untuk kisah menurut penelitian saya sepintas lalu, lebih kurang 1.600 ayat, dari keseluruhan ayat Al Qur’an yang berjumlah lebih kurang 6.342 ayat. Jumlah 1.600 ayat itu hanya mengenai kisah-kisah sejarah yang berkisar Nabi-nabi (Rasul-rasul) terdahulu dengan tidak mengikutsertakan ayat-ayat yang berisi kisah-kisah perumpamaan (tamtsilliyah). Tentunya jumlah itu akan menjadi lebih besar apabila kisah-kisah lain dimasukkan. Bahkan, jika dibandingkan dengan ayat-ayat hukum yang berjumlah lebih kurang 330 ayat, maka nampaklah kepada kita betapa besar perhatian Al Qur’an kepada kisah-kisah itu.” (Hlm 22)
Mungkin (-Wallahu a’lam bishawab) dibayangkannya Al-Kitab menyerupai antologi cerpen atau sejenisnya, lantas muncul sajak Enso!-nya. Alangkah indah kalau SCB menulis esai atas letupan kegalauan temuannya, dan kita dapat menelusuri jejak pun peroleh manfaatnya. Terbayang di pikiran saya, Tardji menulis puisi kerap berkeadaan mbulet tidak mampu mengurai, tak elok mengangkat benih-benih puisi dalam dirinya. Cermati berkaca mata bening antara karyanya, dengan karya para tokoh dunia yang oleh para kritikus disejajarkan padanya, tentu membuang ketakutan terlebih dulu, kalau kelak anda tak diterima warga sastra INA, karena Sutardji sudah disematkan. Apakah SCB hawatir disebut penceramah, umpama nulis esai keagamaan? Tidak timik-timik berlari di beberapa esainya, dengan menjawil nada-nada Hadits Qudsi kesana kemari semaunya?
***
Sebelum merantak ke petikan naskah Hamlet di atas, lepas keraguan dunia Internasional, minimal di Inggris sendiri mengenai keaslian karya-karya Shakespeare, yang membeludak pun memukau semua kalangan. Pendapat saya, seorang aktor yang hidup berpindah-pindah antar panggung, bernapas dengan para pemain serta penontonnya, keluar masuk atmosfer, kelas-kelas sosial diserapnya menjelma bahan penting mengudar kegalauannya. Meski saya tidak memungkiri adanya beberapa penulis memanfaatkan namanya, demi meloloskan karyanya.
Walau terlahir dari keluarga buta huruf, serta bukti lain semisal wasiatnya tidak menunjukkan ia penulis handal, kurang bijak jika dirinya tidak diperhitungkan sama sekali. Dapatlah terjadi beberapa temuan senada temuan lain, yang oleh para peneliti meragukannya; surat-surat Ludwig van Beethoven atau penulis nan paras tulisannya memberi ilham selanjutnya, misalkan.
Sang aktor menghisap seluruh kekayaan nilai dunia panggung; celoteh, umpat, sangkalan, dedahan, apa saja menggiringnya berkaya. Sebab, alam ditelusurinya senantiasa beredar di setiap ubun-ubun penggemar. Jika berasas kemungkinan, dapat saja Shakespeare dalam semalam atau sepekan, bersama bangsawan Italia nan kagum kepiawaiannya, memberi banyak informasi nuansa perikehidupan bangsawan Italia. Ini terus beredar atau mengedarkan pengamatan demi hasilkan karya bergairah sesyair-syair panjangnya.
Gaya hidup menyerapi segenap bebuliran embun kehidupan; desir angin, kerinduan mendera nan harapan bergejolak meningkatkan setiap jenjang masa dilayari, segugusan agung dalam pribadinya. Inilah pembentuk jiwanya dengan seluruh wacana, sebab kasih sayangnya menyebar tanpa sekat batasan, selalu mematangkan kemungkinan. Menurut saya arti kemungkinan ialah rahmat tuhan bagi jiwa-jiwa membuka kelapangan menuju pencerahan. Inspirasi tersebut mengalir sejauh dirinya mampu bertahan dalam gelombang badai kesunyian, gemuruh kesedihan, di atas hidupnya yang miskin betapa mendalam.
Sekecilnya Shakespeare bertubuh tampan nan berwibawa, jelas ini memudahkannya masuki setiap lapisan. Dan tuturannya menggoda, dapat melancarkan pikatnya untuk memetik kembang pengetahuan, menggayuh bibir-bibir informasi senantiasa bergetar di hadapannya. Maka nilai kejujuran lunglai di hadapan pesona sang aktor. Seorang terlahir di kota Stratford-upon-Avon tersebut begitu lihai memasuki bilik-bilik hati, tanpa perlu mengutarakan isi hatinya. Sehingga muncullah ungkapan, “Apalah arti sebuah nama?” Jikalau dilesatkan, “Apalah makna sebuah kelas sosial?”
Dan terus sejauh mampu manfaatkan keberuntungan (rahmat tuhan). Ini dialog terdalam dikala menerobos lelipatan waktu, naik-turunnya masa. Saya kira, reruang nalarnya membentang panjang meski di ruang sempit belakang rumah, kandang kuda disaat memesrakan segenap perikehidupan, menuju dataran tinggi angin ke puncak inspirasinya. Maka mudahlah menggayuh sang matahari harapan, memetik bintang mimpinya sebagai oktor tersohor atas ganjarannya membuka ruang hati seluas-luasnya.
Kalbu membuka, menyibak ladang kemungkinan, sehingga yang diragukan misalkan tiadanya catatan mengenai dirinya menerima bayaran atas karyanya. Petikan kata indah, hasil karyaannya tiada pada surat wasiat; tak mengurangi nilai kehidupan sang aktor yang melangkah seperti gembel jalanan. Bathinnya sudah sedemikian kaya, pada keluarganya kekayaan tersebut diwariskan, atau lewat kaca mata lain; kekayaan pada karyanya adalah nilai dunia yang diharuskan pada turunannya untuk mencari sendiri sebagaimana dirinya. Begitu warisan abadi, lelaku pencarian pengetahuan nan bertarung dengan jamannya, Shakespeare memulai perikehidupannya.
Tonggak kokoh itu mematangkan gurat tulisannya tercurah sedari jemari terus menari. Dan apa yang dituangkan seakan bukan dari dirinya semata, oleh serapan di bawah sadar selepas senggolang, berkecup hangat realitas sosial. Maka kekaryaanya daya dinaya kumpulan suara hiruk-pikuk, dipilih satu-satu dalam perenungan malam-malam, serta pekik angin daerah-daerah disinggahi.
Mungkin ini sedikit mengurangi yang diragukan warga Inggris, dunia sastra pada umumnya, khususnya Brunel University di London. Atau patut menyimak ulang gugurnya Brigadir Jenderal Mallaby, di sini orang Jawa menerima orang besar yang datang sedari kalangan bawah, Ken Angrok dan Gajah Mada misalnya. Sebab penelitian tak sekadar mendasar juga menukik ke dalam; mencurigai kelemahan, kepahitan, kemalangan sang aktor. Ini dapat diawali meneliti kehidupan Sir Derek Jacobi, Mark Rylance sendiri! Sebelum menengok ke cermin besar kehidupan William Shakespeare. Mungkin juga perlu melihat gaya hidup Mark Twain, Orson Welles, Sir John Gielgud, Charlie Chaplin, selain jua Christopher Marlowe, Edward de Vere, Francis Bacon demi masuki pola hidup sang aktor dengan sketsa yang seimbang.
***
Baca Derrida, menjalarkan saya menyimak kritikus Christopher Norris pada bukunya “Deconstruction: Theory and Practice” Methuen & Co. Ltd., 1982 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE, diterjemahkan Inyiak Ridwan Muzir, Penerbit Ar-Ruzz Jogjakarta, 2003 “Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.” Komentar singkat saya, anda tidak cukup ‘gila,’ belum cukup ‘waras’ atau belum sangat ‘sehat’ menghadapi mereka -‘sport jantung’- membaca teks-teks Derrida, sampai mempersoalkan di balik proses penulisan lewat menyarankan bermain billiard seperti Home. Yang terurai tak terdengar, serupa halaman masih kosong yang patut anda pijak sendiri. Derrida memang bunuh diri, tetapi teksnya sengaja diabadikan ‘ritual’ tersebut, yang mengusik dan menyiutkan nyali sehingga ‘kebeningan kosong’ tampak di lelembar-buku anda. Ataukah sebagai filsuf tangguh, anda belum cukup siap?
Dan lewat musik “Queen” yang menyuarakan “We Will Rock You” atas karangan Brian May, saya baca teks “Hamlet.” Takdir ini belum dibayangkan Shakespeare pula Derrida.
“Hamlet:…Bersumpahlah.” Bermusiklah, keraskan suaramu sekalimat sumpah serapa. Telah menjadi takdirmu bersumpah, pantul sejauh kemampuanmu sanggup memberkati hidupmu sebagai orang-orang bersumpah. Takdir yang jauh tampak dekat, sedekat hentakan musik dalam jiwamu, debaran perasaan engkau tunggu datangnya. Sejajarkan kumandang sejantung nyawa, dan tak perlu mengelaknya atau menghindar, sebab nasib merestuimu. Kini menyentuh tepat ubun-ubunmu!
“Hantu [di bawah]: Bersumpahlah.” Hantu berderap naik, menanjak seolah membungkus ruhnya dengan jasad atas asap menebar pada panggung. Secara sadar atau tidak, berangsur berdaging, dimulai dari kepala pelahan sampai ujung kaki. Meski dalam batas di luar logika, Hantu mengedarkan penalarannya, mengikuti ucapkan Hamlet. Dia balikkan seruan memantulkan perintah, atau bersumpah butuh kebersamaan jiwa-raga, kesaksian purna tak hanya panggilan juga ungkapan dasar hati, tapi dimaklumatkan dalam tekad suara. Sisi lain; ‘bersaksilah,’ kini berada di panggung lebih besar nan terang lampunya, dialog nyambung sama-sama berkesegaran, gairah harus diuntahkan, sebelum para penyusup mengacaukan. Tiada pertanyaan, tak membutuhkan komentar atau penyangkalan. Ini bukan kekacauan, tetapi takdirnya sudah datang, dan tiada waktu lagi untuk dibenahi, kecuali melakukan kegilaan sepadan.
Hamlet sadar ada Hantu di bawah, Hantu pahami Hamlet mengajak bersumpah, memerintah dengan paksaan, barangkali suara Hantu sekadar pantulan suara Hamlet di ruangan. Ataukah ini suara terdalam Hamlet? Tidak! Hantu hadir beserta suaranya, serupa keriuh-ramaian penggemar ‘Queen’ sedang mengikuti lagu “We Will Rock You.” Meski di sekitar keremangan cahaya, penonton itu ada dan lengkingnya menyibak nada-nada musik keras sedari atas panggung. Bagaimana kata kerja perintah, ‘Bersumpahlah’ meneror dunia, mendesak menggencet otak hingga semua orang harus turun tangan, jalan kaki ke dalam gelanggang. Kerumunan perjelas di depan, walau terompet kiamat sudah dikumandangkan. Apa lagi yang akan terbit, selepas musik berakhirnya sejarah?
[Mereka bersumpah] Bersepakat sekesatuan bulat, seirama garis kurva menaikkan lengkingannya, suatu barisan mengungguli tafsir diperkirakannya. Ada, -yang diperkuat kesadaran-nya; kerja; “suatu upaya menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh” Valery, “ruh dari ruh” itu kerja” Derrida. Hentakan keras memaku kayu-kayu dijadikan kursi dan meja, menggergaji bilah-bilah ditancapkan perkokoh dialog. Bukan kata benda ‘sumpah’ atau ‘jadi,’ tetapi ‘bersumpahlah,’ ‘jadilah’, kewajiban tak boleh ditangguhkan, sebab sudah menunggu sekian lama hingga kesemutan membatu. Hantu telah menanti Hamlet dalam kegelisahannya amat sangat, Marx mengetahui takdir hari depannya, Sartre menolak Nobel Sastra, Yukio Mishima menjemput mautnya. Manusia berakal Hamlet, mencetuskan kata sumpah dengan perintah kepada Hantu yang mengikuti patuh, atau sekadar menyenangkan di balik yang tak dilihat Hamlet, setidaknya pada kejadian tersebut bersepaham.
Ini bukan mendangkanlan firman Tuhan; “Jadilah, maka jadilah ia.” Namun meluruskan paham yang keliru pada kalimat, “Jadi, lantas jadilah!”. “Jadilah,” maka jadilah ia” adalah dua kata kerja perintah menghidupi alam-alam terkandung di dalamnya, dan hanya Tuhan lebih mengetahui, sedang para ahli tafsir berupaya mendekatkan firman-Nya melalui jalur rujukan menjurus atasnya. Sebuah firman tunggal dari Sang Maha Esa, keagungan luhur tak dapat diwakilkan siapa pun juga meski oleh manusia utama. Sedang bentuk lain yang rendah dekat kerumpilan, bobot alam maya mengisi dunia, mencoba “menciptakan ruh dari ruh” ciptaan ingin merakit, insan berhasrat memeriahkan hidup dengan dialog kerja di atas kesangsiannya, hingga harus dan nyata perlu mengundang hantu, ini tepat dalam ajaran Marxisme. Hamlet di hadapan Derrida tidak percayai adanya tuhan atau menyebut tuhan sekadar sampiran pengganjal, dalam meleburkan yang ‘masih di cari’ di sisi luar kesadaranya. Agama adalah candu yang tumbuh dari mitos jikalau perihal itu terlanjur menjangkiti tubuh Marx. Pun Hamlet-nya Shakespeare, dan Faust-nya Goethe, lebih mempercayai hantu daripada tuhan. Lebih sadari yang bergentayangan terjangkau meski dekat kesangsian wajar, atau dianggapnya norma?
Marx, Derrida, lebih condong pada bayangannya yang menghantui hidupnya, mencintai hantu muncul dari kematiannya. Sebab setiap tubuh napasnya ditempakan cahaya pusat langit tidak membentuk bayangannya sama sekali, mereka jadi deladapan. Kesaksian pada pancaran selain kepribadiannya disangsikannya, ditolaknya mentah, dianggap kosong, tak melihat bayangannya di kaki-kakinya, padahal bayangan bergetar, tak kuat menanggung keraguan mereka. Lantas menyulutkan kata kerja ‘bersumpahlah’ menjadi pegangan, serupa kemungkinan asap mengepul di atas panggung teater mewujudkan hantu berjasad, dan bersuara seperti yang sudah disuarakan manusia Hamlet. Yang berpegang teguh nalar, lebih meyakini bayangannya, percayai hantu. Di bidang lain berarti ketakutan-ketakutan yang diakrapinya, daripada Tuhan Yang Esa.
Saya tak bisa bayangkan jika ini yang terjadi; SCB percayai adanya tuhan dengan catatan berkompromi, mengikuti pandangannya yang takjubi dunia sulapan. Saya harap itu hanya kehilafan, atau menginsyafi yang sudah, demi kembali memahami sebenar-benarnya. Tidak balik seigauan sajak-sajaknya, seperti yang bertitel “Orang Yang Tuhan” misalnya. Atau perlu menyimak karya para ulama, khususnya tegurannya keras Ibnu Taimiyah, jikalau masih suka-ria menebar kesalah-kaprahan! Sebab kata-kata bertuah, bukan lantaran alunan suaranya, tapi makna terkandung di kedalamannya. Begitulah mantra / puisi mantra, seperti mantra-mantra diambil dari Al Qur’an ialah doa, yang menghidupi kemantaran berbahasa Jawa maknanya. Suara biasa berbeda, tetapi dinaya makna mendorong menjadikan mantra bekerja: ruh dari ruh” (Valery), “ruh dari ruh” adalah kerja” (Derrida).
Shakespeare melalui mulut Hamlet, tak langsung mengatakan kata-kata sumpah, kalimat tersebut ditundanya. Kenapa? Atau disimpan lalu disusupkan ke dalam pengertian lain. Ada apa? Ia berkata, “Tenang” berarti ruh, hantu, atau pengisi ruangan sangat berisik, mungkin berjubel “Hantu-hantu Marx.” Ini situasi tak diperkirakan Hamlet, sebab kata ‘tenang’ bukan dimuka kata ‘bersumpahlah’ tapi setelahnya. Ada sesuatu yang dipaksa, hingga tidak jadi tenang dengan munculnya kata ‘bersumpahlah’, ada yang tidak setuju, tak sependapat, atau kaget? Kenapa harus bersumpah? Bisa terjadi, ungkapan Hantu mengikuti kata Hamlet sejenis keterlepasan baru disadarinya, setelah kata mencelat sedari mulutnya. Volume tinggi, kondisional tergencet suhu panas, menjadi mereka gerah menyusupi segenap penjuru.
Kata ‘tenang’ dirasa kurang logis meski sudah diawali kata kerja sedurungnya (bersumpahlah), atau kata ‘tenang’ segambaran penekanan, demi menenangkan suasana setelah kata perintah dirasa mendadak. Kata ‘tenang’ pertama semacam menaruh lengan tangan di udara, suatu isyarat agar Hantu tenang, tapi dirasa belum cukup bekerja, dilanjutkan, ini menerangkan kata ‘tenang’ dimuka juga akibat kata ‘bersumpahlah.’ Maknanya, Hamlet memerintah Hantu ‘tenang’ menerima kata-kata sumpah, meski tidak cukup. Kenapa tidak? Karena paksaan sepantas di sisinya ada imbalan, ganjaran, namun Hamlet mencukupi bertanda seru, sejenis hardikan dalam pengucapan, terbayang warna ancaman. Jika ungkapan “Hamlet: Tenang, tenanglah Ruh yang terusik!” berkelembutan, maka terpancar wajah penuh wibawa, kharisma bisa menciutkan nyali, dengan sendirinya diterima meski ada kemungkinan ngedumel di dasar kedirian Hantu.
Di panggung berbeda, Hamlet seakan berkata ‘tenanglah Norris’, ‘tenanglah kritikus sastra’, “tenanglah Ruh yang terusik!” Derrida tinggal tengkoraknya, dan Nurel sekadar pengelana. Sumpah ini hanya meluruskan dari masa dimengslekan, waktu dipermak ke dalam persekutuan makna jahiliah. Kami cuma bersaksi di dalam lingkaran nyala api sendiri, mengambil bahan kalian yang tangguh sebagai rasa hormat, ternyata rapuh. Kami sekadar menunjukkan hukum-hukum pernah menimpai, kita di jalur jaman logis sampai lelingkup luaran, tertimpa berkali-kali, perang tidak habis selesai, pembantaian, manipulasi. Dan apa saja menjatuhkan buah kentil itu, berasal suara-suara sumbang, angin bikinan seperti hujan buatan, jelas tidak kondisikan alam lestari melalui penumbuhkan pohon-pohon. Tapi pohon plastik sekarang sudah menjelma penghijauan semu pada setiap kota-kota di kepala, yang tak memunculkan daya kekritisan, dinaya berontak atas fitrohnya sebagai insan merdeka; kemenjadian dipurnakan dari kasus-kasus untuk diselesaikan.
“Jadi Tuan-tuan, Dengan segala kasihku aku unjukkan diriku padamu;” Di belahan berbeda, Hamlet seolah unjukkan Derrida, lebih jauh dan atau kepada Hantu-hantu Marx. Di sebelahnya Nurel menggugat makna kata “Kun Fayakun” yang dijelmakan arti “Jadi, lantas jadilah!” Jadi Tuan-tuan, oleh segala keluguan saya, segenap ketumpulan pena ini. Di manakah jari-jemari biasa menari, apakah sebatas ‘kebeningan kosong’ Norris? Di bingkai lain, kenapa anda kurang bijaksana, tidak seperti suara-suara Sartre dalam pengantar bukunya Frantz Fanon “The Wretched of the Earth”? “Dan walau semiskin ini Hamlet” Keterbatasan Derrida, bubarnya Uni Soviet, “Menyatakan kasih dan handaiku padamu,” bahwa kemenangan global perekonomian pasar bebas, jika tanpa koreksi tajam, segera tergelincir ke jurang perbudakan, perang tidak bisa dihindari saat sekecil-kecilnya datang diabaikan?
“Insya Allah, tidak akan kekurangan:” Tidakkah akan sampai Presiden Barrack Obama berkunjungi ke Bali di bulan kemarin, Pemerintahan Republik Indonesia takkan menambah hutang lagi, jikalau para aparatnya sadar diri. Pertumbuhan ekonomi dihadapi berkesadaran mawas, bukan awas! atau ancaman seperti anak kecil tidak memiliki mainan tak dijadikan sekutu, atau menguasai pasar secara tidak sehat. “Marilah jalan bersama,” :kata Hamlet. Kebijakan terbuka, membuka diri seluas-luasnya sebagaimana kemungkinan rahmat Tuhan, tapi perlu menyempal dedahan pengganggu berakibat condongnya batang pohon kesatuan; kemanusiaan, selurus tegak nilai bersegenap kemungkinan indah menjulang ke puncak matahari kemerdekaan. Pertumbuhan alami dari pohon sungguhan, tidak plastik atau pun alibi! Yang digagas para pendahulu, tak lupa mengamati firasat Francis Fukuyama pula Derrida, atau Prabu Jayabaya, R. Ng. Ronggowarsito, Mpu Prapanca, Mpu Tantular, misalnya.
“Ndilalah kersa Allah, Begja bejane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada” (Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, bagaimana pun juga sebahagia-bahagia yang lupa diri, masih bahagia yang senantiasa ingat serta waspada). [Serat Kala Tida, Sinom VII, R. Ng. Ronggowarsito], “Dan letakkan jari-jarimu pada bibirmu, kumohon.” Sumpahnya mengajak jemari bekerja itu menyentuh bibirnya, agar merasai ludah basah sedari kata-kata sumpah; ingat dan waspada guna setiap lipadan rapi menandakan bulir-bulir air kesaksian. Atau Hamlet memerintah menyentuh bibir sebagai perlambang kesadaran, sumpah ini terjadi pada mulut yang ‘tersadar,’ rongga napas saat itu jua. Permohonan tulus tidak untuk dirinya sendiri, tapi mereka yang bersumpah pula melaksanakan kesaksian; luka-luka di kaki tak hanya diamati, tapi lebih sempurnahi diri perasaan, dielus-elus selaku keterlibatan, menjenguk tanda mata kasih sayang.
Bibir-bibir gemetar oleh pengucapan sumpah, merasai jemari sekujur tubuh menggigil panas dingin demam. Di ketinggian panggung, Hamlet peragakan jemarinya disentuhkan ke bibirnya, hawa udara sesak memanas, menjambak kulitnya mengucurkan air keringat, terus menyerukan kalimat. Dan para penonton ‘Queen’ bersorak-sorai khidmat di dalam sepaduan nada seimbang “We Will Rock You.” Tapi “Waktunya tidak nyambung: Oh jahanam terkutuk,” “Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun” (Jaman yang dilalui itu memang jaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila (menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti, tidak akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan. [Serat Kala Tida, Sinom VII, R. Ng. Ronggowarsito, di buku “Raden Ngabehi Ronggowarsito, apa yang terjadi?” Disusun Anjar Any, penerbit Aneka Ilmu, Semarang 2002]. Maka bacalah selepas sorak-sorai, keheningan suara-suara ganjil, tak dipatenkan berdiam diri, tetepi pembongkaran demi mendewasakan jenjang ingatan, ini pembetulan “Yang aku dilahirkan untuk membetulkannya.” Hamlet melanjutkan: “Tidak, ayolah, pergi bersama” [Keluar], melaksanakan sumpah, merasai kutukan Sartre, menebar ruh dari ruh Valeri, setindak kerja Derrida!
NB: “Serat Kala Tida” bagian VII di atas sengaja dibalik, setelah bersepakat dengan Beliau; R.Ng. Ronggowarsito.
Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad.
2 Replies to “Gugatan untuk MASTERA 2006 dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000 II*”
Comments are closed.