Latif Nur Janah
http://www.kompasiana.com/Latif-Nur-Janah
Matahari mulai merangkak meniti cakrawala, sementara ia masih menenteng karung plastik yang menjadi temannya mengais secercah kehidupan. Dengan bekal sebotol air mineral yang tinggal separo, ia masih saja berputar berkeliling jalan raya, berharap ada seseorang yang akan memanggilnya dan membutuhkan jasanya. Dan ketika ia mulai merasa lelah, ia bersandar pada sebatang pohon di pinggir jalan dengan aroma got yang senantiasa menjadi pendamping kala ia menguap, merasakan kenyamanan sesaat.
Meski matanya tengah terpejam, ia masih bisa mendengar orang-orang yang berlalu-lalang yang tak jarang mengatainya sebagai pemulung, tukang sampah, atau apapun. Ia tak akan bereaksi untuk hal semacam itu. Jika ia mau, ia bisa saja memaki semua orang yang mengatainya, namun hatinya telah terbiasa dengan ujaran seperti itu. Toh apapun yang dikatakan orang memang benar adanya.
“Pak, saya punya barang bekas di warung.” wanita separo baya berdiri di hadapannya. Wanita itu menggamit tas berisi sayur mayur. Dari pasar, sepertinya. Ia lalu terbangun. Aroma got di sampingnya pun semakin menyeruak menyesakkan hidung.
“Mari, Pak ke warung saya di sebelah itu.” kata wanita itu sembari menunjuk tikungan yang masih terlihat di ujung gang. Ia dan wanita itu kemudian menyusuri gang sempit yang membelah menjadi dua di ujungnya. Mereka membelok ke kiri dan mendapati sebuah warung makan yang di depannya bertuliskan “Warteg”.
“Nama Bapak siapa?”
“Oh, saya Parmin, Bu.” jawabnya sambil memungut kardus-kardus bekas yang teronggok di pojok ruangan. Beberapa diantaranya sudah diikat dan tertata rapi.
“Bapak sudah lama bekerja seperti ini?”
“Dari saya masih muda, Bu.”
“Bapak tidak capek?”
“Ah, Ibu ini. Yang namanya bekerja ya sudah tentu capek. Kalau bekerja enak, pasti nggak ada orang yang nganggur.” wanita itu tertawa mendengar penjelasan Parmin.
“Yang di sana juga bisa sekalian dibawa, Pak.” wanita itu menunjuk kardus yang berserakan di depan pintu belakang. Ketika Parmin tengah mengemasi kardus itu, seorang pria muncul dari pintu depan. Parmin tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya perawakannya yang tinggi tegap masih dapat terlihat dari pintu belakang. Hari masih terlalu pagi jika pria itu bermaksud membeli makan siang, lagipula warteg masih tutup. Setelah Parmin menggeser posisi duduknya, barulah ia bisa melihat wajah pria tadi. Layaknya seorang pengusaha, ia mengenakan kemeja dan celana yang di setrika nlipis dengan dasi bermotif garis yang melingkar di lehernya. Ia hendak masuk, namun setelah beberapa saat, ia duduk di emperan warteg
“Maaf, Pak, ada yang bisa saya bantu? Warungnya belum buka, Pak.” wanita itu mendekat ke arah si pria, sedikit menunduk layaknya seorang pelayan yang menawari menu makanan.
“Oh, maaf, Bu. Saya hanya numpang sebentar. Saya sedang menunggui teman saya.” kata pria itu kemudian meletakkan tasnya di kursi yang ada di emper warung.
“Kalau begitu, saya tinggal ke dalam ya, Pak.” wanita pemilik warteg itu meninggalkannya di emperan. Sesekali pria itu memandang ke arah Parmin yang berada di dalam.
Setelah selesai mengemasi kardus-kardusnya, Parmin mengucapkan terima kasih ala kadarnya kemudian pamit.
“Bapak nggak ikut acara di lapangan itu?” tanya pria yang duduk di emperan itu ketika berpapasan dengan Parmin. Di dekat gang itu memang terdapat lapangan yang biasa di gunakan untuk bermain bola.
“Acara apa, Pak?”
“Ada pembagian sembako murah di sana.”
“Dari siapa, Pak?”
“Dari caleg yang akan naik ke pemilihan.”
“Saya nggak dapat undangan, Pak.”
“Siapa saja bebas datang ke sana, Pak. Kalau Bapak mau, Bapak datang saja ke sana.”
“Ah, tidak.”
“Kenapa? Lumayan loh Pak, bisa buat oleh-oleh Bapak kalau pulang nanti.”
“Istri dan anak saya nggak pernah saya bawakan oleh-oleh, Pak. Lagipula saya juga nggak mau bawain oleh-oleh begituan.” kata Parmin setenngah bergidik.
“Lha kenapa, Pak?”
“Saya nggak kuat bayarnya.”
“Kan sudah saya bilang, sembako yang ini nggak bayar alias gratis.”
“Nah itu dia, Pak. Semakin gratis semakin nggak kuat bayarnya.”
Terdengar suara orang berlarian. Beberapa orang warga berbondong menuju lapangan.
“Ayo, Parmin kita ke lapangan.” teriak Rudin, teman Parmin yang bekerja sebagai tukang becak.
“Ngapain, Din?”
“Ada sembako gratis. Buruan!”
Parmin memandang pria yang bersamanya lalu seolah mengiyakan ucapan Rudin, pria itu tersenyum.
“Itu teman Bapak, kan? Kenapa bapak nggak ikut?”
“Saya nggak mau ikut Pak, soalnya itu cuma dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.”
“Ah, Kenapa Bapak bilang begitu?”
“Kalau memang mau ngasih sembako kenapa harus berebut seperti itu? Kan nggak sopan namanya.” Dalam hati, pria itu menertawakan ucapan Parmin. Jarang ada orang dari kalangan seperti Parmin yang masih memusingkan hal semacam itu dan terkesan menolak pemberian sembako, meski pria itu yakin bahwa Parmin sangatlah memerlukannya.
“Namanya juga rejeki, Pak. Siapa cepat dia dapat.”
“Usaha kan nggak mesti rebutan begitu, lagipula saya nggak mau hutang.” bantah Parmin.
“Kan udah saya bilang berkali-kali, Pak. Sembako itu gratis.”
“Saya ini nggak bodoh, Pak.” kata Parmin lagi.
“Yang bilang Bapak bodoh itu siapa?” pria itu semakin bingung.
“Hahahaha, saya cuma nggak mau hanya karena dapat sembako lantas saya harus menggadaikan hak pilih saya.”
Pria itu tertegun mendengar perkataan Parmin. Kali ini Parmin duduk di samping pria tersebut lalu memutar tutup botol air mineral, kemudian meminumnya beberapa teguk.
“Apalagi jika sembako itu dibagikan dengan cara seperti itu. Saya kok merasa jika saya dipermainkan. Lha, bagaimana tidak, Pak? Kalau memang niat ngasih, mbok ya di bagikan satu persatu. Emmm…tapi saya tetap tidak mau kalau harus menggadaikan hak pilih saya.”
“Wah, kalau begitu saya salah menemui orang.” ucap pria itu. Ia memasukkan beberapa lembar kertas yang dari tadi dipegangya.
“Lho, memangnya Bapak ini mau menemui siapa?”
“Tadinya, saya mau ngajakin Bapak buat milih orang ini.” Pria itu membuka tasnya lagi dan menunjukkan poster berukuran sedang yang di dalamnya terpampang sosok tak asing bagi Parmin. Sosok seorang calon petinggi rakyat.
“O… jadi Bapak petugas yang ada di lapangan itu?” Parmin manggut-manggut.
“Ah, saya pamiti, Pak. Sepertinya saya salah menemui orang. Permisi.”
“Silakan.” ucap Parmin sembari tersenyum melepas kepergian pria itu.
Orang-orang sudah kembali dari lapangan. Sebagian dari mereka membawa kantong-kantong plastik hitam berisi sembako, sebagian yang lain kembali dengan tangan kosong.
“Kalau tahu begini, mending tadi nggak usah ikutan.” ujar seorang warga.
“Haahahhaaha, kita kan emang bodo, dikibuli gitu mau-mau aja. Lha ini, saya cuma dapat minyak goreng satu botol kecil meski sudah berdesakan. Saya sampai mau kehabisan napas.” kata warga yang lain.
Parmin tertawa dalam hati. Ternyata masih ada orang lebih rendah darinya. Orang-orang yang mengemis kepada rakyat demi bertengger di puncak kejayaan dengan memberikan secuil penyumpal mulut. Ia memang sangat membutuhkan sembako dan kebutuhan yang lain, namun ia merasa terlalu baik jika dirinya harus menukarnya dengan kebebasan memilih. Ia yakin Tuhan masih membentangkan rejeki yang lapang jika ia mau berusaha. Kardus-kardus bekas masih lebih bernilai daripada menggadaikan hati nurani, bukan?
05 February 2012
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/02/05/kardus-kardus-penopang-kehidupan/