Ngarto Februana
http://www.ruangbaca.com/
Dibesarkan dalam kemiskinan, berjaya sebagai sastrawan, dan meninggal dalam kebangkrutan.
Jasad sastrawan Prancis, Alexandre Dumas, sudah dikubur lebih dari seabad silam, tapi kini ia kembali diperbincangkan. Ia meninggalkan karya yang belum selesai ditulis ketika ia meninggal pada 1870. Le Chevalier de Sainte-Hermine (The Last Cavalier), novel sejarah karya terakhir Dumas itu, sempat hilang dan ditemukan oleh Claude Schopp, ilmuwan terkemuka Prancis yang ahli mengenai Dumas.
Schopp menemukan The Last Cavalier di Perpustakaan Nasional Prancis pada Juni 2005. Karya ini pertama terbit sebagai cerita bersambung di sebuah surat kabar Prancis, tapi tidak selesai karena Dumas keburu meninggal. Setelah ditemukan, Schopp melengkapinya dengan menambahkan dua setengah bab terakhir pada novel itu berdasarkan catatan-catatan yang pernah ditulis Dumas.
Seperti diungkapkan Hugh Schofield, salah seorang pengagum Dumas, di BBC baru-baru ini, “Novel tersebut, saya suka katakan, adalah panen anggur Dumas, mungkin bukan bentuk sangat sempurna, tapi penuh dengan segala yang kita sukai: alur, kematian dan kehormatan, kejahatan, peperangan, dan sejarah.”
Sebagaimana karya-karya Dumas sebelumnya, The Last Cavalier juga bercerita tentang orang-orang dengan karakter yang ada di dalam sejarah dan latar peristiwa yang nyata. Dalam novel itu, Dumas menggambarkan Peperangan Trafalgar (Battle of Trafalgar) yang menggambarkan kematian Lord Nelson.
***
Dumas dikenal sebagai penulis naskah drama, roman populer, dan novel sejarah. Di antara karyanya yang terkenal itu adalah The Three Musketeers dan The Count of Monte Cristo. Selain itu, sastrawan yang telah menulis lebih dari 200 karya ini dikenal juga sebagai seorang aktivis Republiken dan penikmat perjalanan serta ahli mencicipi makanan.
Lahir dan dibesarkan di lembah kemiskinan, menuai masa kejayaan, dan akhirnya meninggal dalam kebangkrutan. Itulah perjalanan kehidupan Alexandre Dumas (Senior), yang sangat berwarna-warni. Di Villers-Cotterets, sebuah desa di Aisne, timur laut Paris, Prancis, Dumas dilahirkan pada 18 Juli 1802. Dilihat dari silsilahnya, dalam tubuhnya mengalir darah campuran: bangsawan sekaligus budak; kulit putih sekaligus hitam.
Kakek dari garis ayah, Marquis Alexandre-Antoine Davy de la Pailleterie, adalah seorang bangsawan dan komisaris jenderal di kesatuan artileri di negeri jajahan Prancis, Saint-Domingue (sekarang Haiti). Sementara itu, neneknya, Marie-Cesette Dumas, bekas budak berdarah Afrika-Karibia.
Pasangan ini mempunyai anak laki-laki, Thomas-Alexandre Dumas yang menikah dengan Marie-Louise Elisabeth Labouret, anak seorang pengurus restoran. Dari pasangan suami-istri inilah Alexandre Dumas lahir.
Thomas-Alexandre Dumas adalah seorang jenderal dalam tentara Napoleon. Ketika Alexandre Dumas baru berusia tiga setengah tahun pada 1806, sang ayah meninggal. Sejak saat itu, Dumas muda hidup di dalam keluarga yang kehilangan segala impian tentang kemakmuran.
Ibunya yang janda harus berjuang untuk memberinya pendidikan yang pantas. Sayang, karena kemiskinan Marie-Louise tak bisa menyekolahkan Alexandre sampai perguruan tinggi. Walau demikian, itu bukan rintangan bagi Alexandre untuk mencintai buku dan ia gemar membaca apa saja yang bisa diperolehnya.
Bagaimanapun, Dumas masih beruntung. Walau hampir tak pernah mengenal sosok sang ayah, ia masih punya ibu yang mencintainya. Ketika dalam masa pertumbuhan, dari mulut ibunya meluncurlah cerita-cerita tentang sang ayah. Cerita sang ibu bukan hanya mengenalkan Alexandre pada sosok ayah–walau hanya melalui kata. Tapi, lebih dari itu. Keberanian sang ayah–dalam tuturan Marie-Louise–sebagai tentara selama masa kejayaan Napoleon I telah membangun imajinasinya tentang petualangan dan kepahlawanan. Kelak imajinasi itu mewujud dalam karya-karyanya dan juga dalam kehidupannya.
Reputasi sang ayah dan hubungan kebangsawanan merupakan warisan berharga bagi keluarga itu. Pada 1823, setelah pemulihan monarki, Dumas yang baru berusia dua puluh tahun itu hijrah ke Paris untuk mencari kerja. Di sana ia mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di kantor d’Orleans di Palais Royal.
Sambil bekerja, Dumas mulai menulis artikel untuk majalah serta menulis naskah drama untuk dipentaskan. Ia tertarik pada karya-karya Shakespeare dan Sir Walter Scott serta karya-karya para penulis Prancis. Pada 1829 naskah drama pertama, Henry III and his Court, dipentaskan dan mendapat sambutan besar dari penonton. Tahun berikutnya, naskah lakon kedua, Christine, juga sama-sama populer. Dan, sebagai berkahnya, secara keuangan ia kemudian bisa bekerja full time sebagai penulis.
Dumas tak cuma menulis tapi juga terjun ke kancah revolusi. Pada 1830, ia bergabung dalam gerakan menumbangkan Raja Charles X dan menggeser tahtanya untuk selanjutnya ditempati oleh mantan majikannya, d’Orleans, yang memerintah sebagai Louis-Philippe.
Sampai pertengahan 1830-an, kehidupan di Prancis masih tidak menentu dengan kerusuhan yang sporadis akibat ketidakpuasan kaum Republiken dan kaum buruh rudin perkotaan yang menuntut perubahan. Ketika kehidupan pelan-pelan kembali normal, bangsa Prancis mulai memasuki industrialisasi dengan perbaikan ekonomi yang dipadukan dengan diakhirnya penyensoran media. Masa itu memberikan kesempatan besar bagi Dumas untuk mengasah keterampilannya sebagai penulis.
Setelah sukses menulis naskah lakon, dia berusaha menulis novel. Ia tak melewatkan peluang ketika ada permintaan yang tinggi dari surat kabar terhadap novel serial. Dicabutnya sensor pers pada 1930-an telah meningkatkan pertumbuhan surat kabar secara cepat. Para editor mulai memberikan hiburan kepada pembaca berupa novel serial. Setiap orang membacanya, dari kaum bangsawan, borjuis, muda dan tua, laki-laki dan perempuan.
Pada 1838, Dumas menulis ulang naskah drama untuk dijadikan novel serial berjudul Le Capitaine Paul. Novel ini ditujukan untuk pembaca perempuan dan menambah lima ribu pelanggan bagi Le Siecle ketika koran itu memuat Le Capitaine Paul secara bersambung.
Selama 1839 sampai 1841, dengan dibantu beberapa koleganya, Dumas merangkai Celebrated Crimes, sebuah kumpulan esai tentang dunia kriminal terkenal dalam sejarah Eropa, termasuk esai tentang kasus eksekusi tersangka pembunuh Karl Ludwig Sand dan Antoine Francois Desrues.
Proses kreatif Dumas memang tak lepas dari para pembantunya, bahkan bisa dikatakan secara ekstensif dia menggunakan bantuan sejumlah teman. Ia menulis sekitar 250 buku dengan dibantu 73 asisten dan kolaborator.
Salah satu yang terkenal adalah Auguste Maquet, seorang guru sejarah. Dalam penulisan The Count of Monte Cristo, Maquetlah yang membuat garis besar alurnya. Maquet pula yang memberikan sumbangan substansial untuk The Three Musketeers dan sekuelnya serta beberapa novel Dumas yang lain. Ketika bekerja bersama, Maquet mengusulkan alur dan menulis draft, seraya Dumas menambahkan detail, dialog, dan bab-bab terakhir.
The Three Musketeers merupakan karyanya yang paling terkenal dan pernah difilmkan dengan judul Les Trois Mousquetaires pada 1993. Novel ini bercerita tentang petualangan d’Artagnan dan tiga sahabatnya, Athos, Porthos dan Aramis. Di Indonesia novel tersebut diterjemahkan sebagai Tiga Panglima Perang oleh Balai Pustaka pada 1922.
Sebagai novel sejarah, The Three Musketeers bercerita tentang tokoh-tokoh yang terdapat dalam sejarah Prancis, dengan intepretasi Dumas, seperti Kardinal Richelieu dan Ratu Anne dari Austria yang digambarkan sangat mencintai Raja Louis XIII. Tak lupa, selain action, novel Dumas ini diwarnai dengan intrik pejabat istana.
Karyanya yang lain, yang difilmkan pada 1998 oleh sutradara Randall Wallace, The Man in the Iron Mask, yang merupakan bagian terakhir dari buku The Vicomte de Bragelonne, juga bercerita tentang D’Artagnan.
Sementara itu, dalam novel petualangan The Count Of Monte Cristo, Dumas bercerita tentang dendam dengan latar tempat Prancis, Italia, pulau-pulau di Mediterania dan Levant serta latar peristiwa sejarah periode 1815-1838. Novel Dumas yang diselesaikan pada 1944 ini merupakan karyanya yang terpopuler dan dianggap setara dengan The Three Musketeers.
The Count Of Monte Cristo bercerita tentang Edmond Dantes, 19 tahun, seorang pelaut di kapal dagang Le Pharaon (Firaun), yang pulang ke Marseille untuk berkumpul kembali dengan keluarga dan teman-temannya serta menikahi tunangannya, Mercedes.
Dumas juga berkolaborasi dengan jago anggar Augustin Grisier pada 1840 ketika menulis novel The Fencing Master. Kisah ini ditulis berdasarkan cerita Grisier tatkala dia menyaksikan revolusi Desember yang gagal di Rusia pada 1825. Novel ini bahkan dilarang di Rusia oleh Tsar Nicholas I, yang menyebabkan Dumas dilarang berkunjung ke Rusia hingga Tsar meninggal. Grisier juga disebut-sebut mendapat penghargaan besar di dalam The Count of Monte Cristo dan The Corsican Brothers serta memoar Dumas.
***
Di luar kehidupannya sebagai penulis dan aktivis Republiken, sisi lain kehidupan Dumas cukup “nyeleneh”, khususnya tentang perempuan. Ia menikahi seorang aktris, Ida Ferrier, pada 1 Februari 1840. Tapi, pernikahan tak merintangi kegiatannya berhubungan dengan wanita-wanita lain. Bahkan, Dumas adalah ayah dari empat anak haram.
Satu di antara anak-anak haramnya itu adalah seorang anak laki-laki yang lahir dari wanita bernama Marie-Laure-Catherine Labay, seorang pembuat baju. Sang anak kelak mengikuti jejak Dumas menjadi novelis dan dramawan yang sukses. Karena nama dan pekerjaannya sama, untuk membedakan ayah dan anak itu, sang ayah dikenal sebagai Alexandre Dumas senior (pere) dan si anak Alexandre Dumas yunior (fils).
Ketiga anak Dumas yang lain adalah Marie-Alexandrine Dumas, yang lahir pada 1831 dari ibu Belle Krelsamer; kemudian Micaella-Clelie-Josepha-Elisabeth Cordier, terlahir dari Emelie Cordier; dan Henry Bauer, lahir dari seorang ibu yang tidak diketahui.
Tulisan-tulisannya, terutama novel-novel sejarah, membawa keberuntungan secara finansial bagi Dumas. Boleh dikata semua itu telah mendatangkan uang banyak baginya. Hitungan kasar saja, ia memperoleh rata-rata 200 ribu franc per karya dan per tahun ia menerima 63 ribu franc dari koran La Presse dan Constitutionel. Sayangnya, Dumas sering terlilit utang sebagai akibat dari gaya hidupnya yang boros terhadap perempuan. Ia bisa menghabiskan uang lebih cepat daripada ketika mendapatkannya.
Ketika Raja Louis-Philippe dilengserkan dalam sebuah revolusi, Dumas tidak merasa diuntungkan oleh presiden terpilih yang baru, Louis-Napoleon Bonaparte. Pada 1851 Dumas minggat ke Brussel, Belgia, dan lari dari para pemberi utang. Dari sana ia melakukan perjalanan ke Rusia. Prancis merupakan bahasa kedua di Rusia dan Dumas sangat terkenal di sana. Dua tahun Dumas menghabiskan waktunya di Rusia sebelum pindah untuk mencari petualangan dan bahan bagi cerita-ceritanya.
Pada Maret 1861, kerajaan Italia diproklamasikan dengan Victor Emmanuel II sebagai rajanya. Selama tiga tahun, Alexandre Dumas terlibat dalam perjuangan untuk kesatuan Italia, mendirikan dan memimpin sebuah surat kabar bernama Indipendente dan kembali ke Paris pada 1864.
Meskipun kesuksesan Alexandre Dumas dan hubungan kebangsawanan, darah campuran yang mengalir di tubuhnya ternyata berdampak pada keseluruhan kehidupannya. Pada 1843, ia menulis sebuah cerita pendek, Georges, yang dialamatkan pada isu rasial dan dampak penjajahan.
Tentang masalah ini, Dumas menulis: “Benar. Ayahku seorang peranakan negro dengan kulit putih, nenekku seorang negro, dan buyutku monyet. Pendek kata, tuan, asal-muasalku bermula di tempat kalian berakhir.”
Alexandre Dumas senior akhirnya meninggal di rumah anaknya, Alexandre Dumas yunior, pada 5 Desember 1870, dalam usia 68 tahun. (berbagai sumber)
31 Agustus 2008