Perihal Kreatifitas Sastra

Kampus Usu dan Media Massa

Bambang Riyanto *
analisadaily.com

Belakangan nama Universitas Sumatera Utara (USU) dalam konteks memajukan Sastra Indonesia menjadi bahan diskusi yang cukup hangat. Pertama kali oleh Yulhasni, dosen Sastra Indonesia UMSU yang juga merupakan alumni Sastra Indonesia USU ini, menulis artikel dengan judul Kampus Padang Bulan, Sepi Kreatifitas Sastra.

Dalam artikelnya, beliau mengulas tentang minimnya mahasiswa USU khususnya jurusan Sastra Indonesia membuat sebuah karya sastra yang dipublikasikan ke media massa, bila dibandingkan dengan mahasiswa dari UMSU dan UNIMED.

Berikutnya beberapa waktu lalu oleh Ria Ristiana Dewi dalam artikelnya Era Menulis Diregut Kekuasaan Kapital yang juga tertarik untuk mengambil bagian menyinggung persoalan yang sama. Beliau pun turut menambahkan praduga, mahasiswa di USU lebih senang berbelanja dan melihat-lihat ramainya arus global, sehingga tak hendak kembali menjadi pahlawan sastra Bangsa Indonesia.

Ya, faktanya, mahasiswa USU kurang ambil bagian dalam gemerlap sastra di media massa, memang harus diakui. Terlebih bila memang dibandingkan dengan beberapa karya-karya dari mahasiswa UMSU atau UNIMED, dengan hingar bingar komunitas penulisnya, USU tertinggal. Bukan berarti tak berbuat, mati suri atau hanya mengedepankan perilaku hedonis belaka.

Meskipun tidak mendapat dukungan yang penuh dari birokrasi kampus, namun beberapa mahasiswa USU masih tetap eksis dalam menelurkan kreatifitas kesusastraannya.

Penulis masih menyimpan dua buku antalogi cerpen dan puisi yang dibuat oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia se-Sumatera Utara yang berjudul Suara Peri dan Mimpi (kumpulan puisi) dan Cermin (kumpulan cerpen). Dalam buku-buku itu, karya mahasiswa USU termaktub didalamnya. Bahkan cukup mendominasi. Belakangan anak-anak Teater O USU akan meluncurkan bulletin O-file sebagai wadah untuk menampung sekaligus mengasah kreatifitas mahasiswa dalam bidang kepenulisan sastra.

Panggung-panggung pembacaan puisi pun masih berdiri di gedung Pagelaran FIB USU, bahkan hampir rutin setiap bulan diadakan, belum lagi ditambah meriahnya musikalisasi puisi yang turut meramaikan kegiatan-kegiatan yang bernuansa nyastra itu. Seminar yang berkaitan dengan ilmu kesusastraan juga masih turut di lestarikan oleh Keluarga Besar Bahasa dan Sastra Indonesia jurusan Sastra Indonesia USU. Fakultas lain pun tak pernah absent untuk mengadakan perlombaan menulis puisi dan cerpen tingkat mahasiswa dan pelajar.

Dalam dunia sastra media massa, mahasiswa USU pun tak sepenuhnya berdiam diri. Sophia Mastura, Joko Saputra, Yulaika, Arie A Nasution dan Tika Anggraini, adalah beberapa nama yang pernah menghiasi kolom cerpen dan puisi di beberapa media massa lokal.

Terakhir, sekaligus yang patut dibanggakan adalah pembuatan situs Letterater.com yang khusus dibuat untuk mewadahi penulis dunia maya dalam menumpahkan kreatifitas sastranya. Mahasiswa USU yang terdiri dari beberapa latar belakang disiplin itu adalah Palit Hanafi Lubis, Saswanda Bambang Harahap, Rodhiah, dan kawan-kawan. Situs ini sedang menjadi pembicaraan di beberapa media massa, karena jumlah membernya yang terus meningkat.

Penjabaran kegiatan-kegiatan kreatifitas sastra yang dibuat oleh beberapa mahasiswa USU di atas, bukanlah dimaksudkan untuk gagah-gagahan atau sarana untuk tinggi hati. Penulis perlu menyampaikan dan menekankan kepada pembaca khususnya, sastra di media massa bukanlah tolak ukur yang sepadan untuk menuding dan memberikan penilaian terhadap kerja kreatifitas sastra di USU.

Karenanya terkesan begitu naïf bila kemudian Kampus Padang Bulan-USU dianggap tak berbuat banyak dalam mengkreatifitaskan dunia kesusastraan Indonesia. Penilaian yang terlalu dini dan sama sekali tidak mendasar pula, apabila kemudian mensejajarkan dan membandingkan antara penggiat kreatifitas sastra di USU dengan penggiat kreatifitas sastra di kampus lain. Apalagi hanya dengan melihat dari segi banyaknya karya sastra yang dimuat di media massa.

Apakah ada yang berani menjamin, karya sastra yang kemudian dimuat adalah murni karena karya sastranya layak muat? Atau hanya karena adanya kedekatan antara penulis dengan redakturnya? Mungkin hanya karena tidak ada lagi pilihan lain?

Sastra media massa, memang merupakan salah satu sarana untuk menumpahkan kreatifitas sastra, namun perlu diingat, itu bukan satu-satunya. Kreatifitas sastra terlalu kecil bila hanya disempitkan dengan tulisan-tulisan yang ada di kolom-kolom media massa, apalagi di media yang tidak dikhususkan untuk bidang sastra dengan standarisasi kesubyektifitasan redaktur.

Bahkan banyak tulisan-tulisan yang sejujurnya tidak terkategori ke dalam sastra. Ada seharusnya yang masuk ke dalam kolom tenlit/remaja, hiburan, atau picisan, atau entah ke mana lagi. Tulisan-tulisan tersebut yang sebetulnya tidak dapat dimasukkan ke dalam kolom sastra, yang karena keadaan-keadaan tertentu terpaksa dianggap masuk ke kolom sastra.

Media massa pun tidak bisa dilepaskan dari persoalan industri yang muaranya adalah pertimbangan ekonomi. Ada selera pasar di sana, bukan murni selera estetis.

Kreatifitas sastra yang dimuat di media massa, bukanlah tolak ukur dari sebuah karya sastra yang ‘baik’ secara mutlak atau pun ‘buruk’. Proses pencapaian nilai estetis dalam berkarya sastra bukan hanya didasarkan pada ada atau tidaknya tulisan di media massa. Kreatifitas sastra sebagai proses pencapaian nilai estetis pun tidak harus menghamba pada industri media. Kreatifitas sastra harus didasarkan pada ketulusan hati dan berpegang pada idealisme kesusastraannya.

Eka Kurniawan seorang kritikus sastra nasional dalam catatan kuratornya di buku Bunga Rampai Cerpen Panggung Sastra Komunitas terbitan Dewan Kesenian Jakarta mengatakan, “…Tentu saja media bukan satu-satunya faktor yang memberi bahan bakar untuk kesusasteraan. Media massa merupakan suatu wilayah yang terbatas, yang seringkali tak cukup untuk menampung ledakan kreativitas ini. Harus ada ruang-ruang lain yang sanggup mewadahi keberlimpahan kreativitas…”

Karenanya paradigma yang beranggapan, media massa merupakan representasi kualitas karya sastra dan tolak ukur satu-satunya pencapaian nilai estetis berkreatifitas sastra harus segera diluruskan.

_______11 Sep 2011
*) Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU & Mantan Ketua Umum T ‘O’

Bahasa »