Riwayat yang Dituturkan oleh Hembusan Angin

Muhammad Harya Ramdhoni
lampungpost.com

NAMAKU Sekeghumong. Dapunta Beliau Sekeghumong. Begitulah pujangga dan rakyat jelata menyebut namaku dengan takzim. Angin kering musim kemarau di Perbukitan Bedudu ini akan menceritakan kepadamu segala hal tentang diriku. Angin kering musim kemarau yang berkesiut di perbukitan ini, di mana jasadku kini ditanam, akan meriwayatkan kepadamu tentang segala kisah suka dan duka yang kualami sepanjang hidupku.

Aku dibesarkan oleh denting pedang dan lolongan kesakitan para prajurit. Serbuan anak panah dan lemparan tombak turut pula mengisi masa remajaku. Hingga aku pun tumbuh dewasa menjadi seorang perempuan bengis dan pemarah. Perwira muda kesatuan Tentara Darat Sekala Bgha manakah yang belum pernah kupatahkan tangannya dalam perkelahian satu lawan satu? Kutantang mereka dalam adu tanding tangan kosong. Akan sendiri hanya dapat mengelus dada apabila melihat kekejianku. Sementara Ibunda Ratu cuma bisa tersedu sambil tak henti merutuk: “Berapa banyak larangan dewata yang kulanggar kala mengandungmu, Putri Dalomku?”

Pada penggal pertama masa remajaku, peristiwa kecil namun bermakna terjadi atas diriku. Akan menganugerahkanku kalung emas berukir dua kepala harimau tepat di hari ketika datang bulan pertama mengunjungiku. Harimau dan kekuasaan agung Sekala Bgha. Lambang persekutuan kuno antara leluhur kami dan tentara harimau yang misterius. Sepasukan balatentara yang hidup dalam dunia ada dan tiada. Khayalan nenek moyang yang menobatkan diri seperti hidup dan bernyawa. Sebuah kerinduan pada sebuah masa tak berbilang. Sebuah kerinduan pada dunia gaib tak tergapai. Ketika diriku memilih seekor harimau raksasa sebagai tunggangan, lengkap sudah pewarisan khayalan nenek moyang atas diriku. Keakraban mistik dengan tentara harimau, pengawal kedaulatan wangsa kami yang suci dan mulia.
***

SEBUAH ramal serupa kutukan menyertai diriku tatkala mengunggah diri ke atas pepadun. “Engkaulah ratu terakhir dan terbesar bagi Negeri Sekala,” berkata Akan dengan kata-kata dilamatkan, “Takdir dewata tak menyertaimu lagi, Nak. Sekelompok lelaki pengecut dari utara akan merobohkan pokok suci Melasa Kepappang sesembahan kita, dan mendirikan kuasa dewa baru di atas negeri ini.”

“Siapakah mereka, Akan?”

“Entahlah…”

Beliau pun tak pasti siapakah lelaki-lelaki yang dimaksud dalam nujum leluhur.

Nujum dan ramal bagaikan minuman keras yang menyesatkan. Menyeret akal sehat ke dalam angan-angan yang tak pasti. Aku pun sempat terseret ke dalamnya. Membuat diriku semakin bengis dan pencuriga.

Hingga ketibaan orang-orang asing ke negeri pegunungan kami. Lima lelaki bertampang aneh dan ganjil. Seorang lelaki tua bersama empat anak lelakinya. Si bapak dan salah seorang anak lelakinya, yang kelak kutahu bernama Nyekhupa, pernah bekerja sebagai juru masak mendiang suamiku belasan tahun yang silam. Mereka berdua lari terbirit-birit setelah Nyekhupa meracuni lelakiku hingga tewas. Kini mereka kembali. Dengan lagak tak berdosa bagai utusan dewata dari ujung semesta.

Lima lelaki dari utara penyebab rubuhnya daulat Sekala Bgha dan Melasa Kepappang telah menampakkan batang hidungnya. Bagaimanakah aku mesti bersikap terhadap kenyataan ini?

“Kami menawarkan Jalan Yang Lurus sebagai penebus segala dosa dan kesalahan, wahai Yang Mulai Dapunta Beliau Sekeghumong,” berkata lelaki tua dengan aura tubuh yang condongkan keangkuhannya.

“Telah lupakah engkau pada dosa anakmu meracuni lelakiku?” diriku pun tak kalah angkuh.

Lelaki tua tak tahu diri itu berujar ia sedia menghukum anaknya dengan nyawanya sendiri.

“Bahkan nyawa kalian berlima pun tak cukup melunaskan dendamku kehilangan lelakiku, suami sekaligus abang sepupuku sendiri!” Sungguh tak dapat kuredam bara kesumatku.

Terbitnya dendam yang telah berpinak menjadi kesumat diperhebat oleh kelakukan Sindi, putri kesayanganku yang diam-diam bersekutu dengan para pendurhaka itu. Ia bukan saja mengkhianatiku selaku ibu dan ratunya tetapi juga telah menjalin cinta terlarang dengan Belunguh, salah seorang anak dari lelaki tua keparat itu. Adakah pendurhakaan yang paling keji dibanding apa yang telah diperbuat Sindi kepada ibu, wangsa dan kedaulatan negerinya?
***

DEMI menuruti ancaman Sindi yang akan menghujamkan keris ke lehernya sendiri aku pun bersalin keyakinan. Sekaligus pula hendak kugagalkan nujum para puyang tentang akhir sejarah Sekala Bgha.

“Baiklah. Kuimani Allah Yang Tunggal, dan lelaki mulia dan terpuji sebagai utusan-Nya!”

Akan tetapi kesaksianku atas keberadaan Allah dan Nabi-Nya tak mengakhiri persengketaan di antara kami. Lima lelaki tak tahu diri itu menuntut dirubuhkannya Melasa Kepappang, simbol kedewaan kami selama 1.300 tahun terakhir. Namun yang lebih menyakitkan hatiku adalah tuntutan mereka agar aku turun dari pepadun dan menyerahkan kuasa daulat Sekala Bgha kepada mereka!

“Ajaran jalan yang lurus tak membenarkan perempuan sebagai pemimpin!” ujar lelaki tua itu dengan kesombongan yang tak berkurang sedikit pun.

Aku terhina. Betapa jatuh harga diriku dipermalukan di depan rakyat dan wangsaku sendiri. Haruskah kupertahankan maruahku dengan leherku sendiri?

Keputusan telah diambil. Kata-kata telah diucapkan dengan perwira. Tak kubiarkan lima lelaki terkutuk itu mendepakku dari atas pepadun. Ini bukan lagi pertikaian antara penyembah Allah dengan penyembah berhala. Ini medan tikai antara penguasa yang sah dengan para pemberontak asing tak tahu malu!

Hanya kepada Allah saja aku berserah diri!
***

PERTEMPURAN itu telah merampas apa yang kami punya. Menghanguskan seluruh kekayaan negeri Sekala yang dikumpulkan para puyang kami sejak ribuan tahun silam. Terlambat kusadari semua ini kala kejayaan kami harus berakhir dengan sedih dan muram. Ketika api terakhir meranggas kayu penghabisan lamban dalomku yang tercinta, nujum leluhur mewujudkan dirinya dengan sempurna. Namun bukan watak Dapunta Beliau Sekeghumong jika harus menyerah dan membungkuk memohon ampun! Akan kusudahi perang saudara ini dengan nyawaku sendiri!

Di tanganku Sangga Langit meliuk-liuk menerobos pertahanan salah seorang lelaki muda dari utara. Tajamnya belati bernafsu menembus kulit dan merobek jantungnya.

“Langkahi mayatku, jika kau berhasrat merebut takhtaku!”

Lelaki muda dari utara sunggingkan senyum meremehkan.

Kubalas senyumnya dengan tawa terkeji.

Hanya takdir, dan hanya takdir Allah semata, yang sanggup menghentikan pertempuran antara aku dan dirinya. Sungguh, aku tak berdaya menghadapi kelincahannya yang merangsek bagai ular berbisa. Menghadapi kemudaannya yang liar dan bernafsu membunuh. Sangga Langit pula akhirnya tak bermakna menghadapi belatinya yang menerbitkan aroma keramat itu. Belati yang sempat membuat diriku terperanjat takut sekaligus terpesona. “Kaukah yang dikirim Allah untuk menyudahi hidupku di dunia?” aku gemetar ketakutan.

Walaupun tubuhku dipenuhi luka tikaman senjata lelaki dari utara, tak sedetik pun terlintas dibenakku untuk menyerah takluk. Itu bukan sifatku! Itu bukan sikap perwira perempuan perkasa negeri pegunungan Sekala Bgha! Sumpah telah diucapkan! Pantang bagiku menyeruput ludah dan meratapi kekalahan!
***

KELAK, angin musim kemarau yang tak henti berkesiut di perbukitan Bedudu akan menjadi saksi bisu kisah kekalahanku yang perwira. Ia akan menjawab setiap pertanyaanmu dengan suaranya yang muram seraya menerbangkan jerebu, bebungaan dan reranting pokok kamboja.

Angin kering musim kemarau yang tak henti bertiup di atas perbukitan Bedudu ini juga akan terus mengulang-ngulang riwayat itu hingga kau bosan. Ia memang kutugaskan menyampaikan wasiat keramat ini kepada siapa pun yang bertandang kemari. Dengan dukacita ia akan bertutur tentang kekalahan pertempuranku melawan lelaki muda dari utara. Tentang leherku yang nyaris putus ditebas belati beraroma gaharu dan cendana. Tentang kemakzulan Sangga Langit oleh kedigdayaan dan keperkasaan belati ajaib dari bumi Blambangan.

Pada saat jiwaku hendak berpisah dengan raga, sempat kudengar ucapan maaf dan tangis penuh sesal Belunguh, menantuku tercinta. Diikuti pandangan haru dan penuh dosa dari ketiga saudaranya yang lain, termasuk lelaki muda yang dengan semena-mena telah mengoyak-koyak leherku hingga nyaris putus.

“Aku tak menabung dendam kepada kalian, wahai lelaki-lelaki penyebar jalan yang lurus,” ujarku dengan terbata-bata menahan sakitnya ajal, “Hanya kepada Allah aku menyerahkan raga dan jiwaku, dan hanya kepada-Nya pula aku memohon ampun atas segala dosa dan kesombonganku.”

“Kutitipkan putri kesayangku Sindi kepadamu, wahai Belunguh. Ajarkan kepadanya agar menjadi hamba Allah yang taat dan setia. Memang sudah takdirku mati dengan cara ditumpas. Demi Dia Yang Menguasai alam semesta, kutepiskan segala kesumat ini. Salam takzimku kepada ayah kalian, lelaki tua dari utara. Aku bersaksi bahwa Engkau Allah Tuhanku dan lelaki mulia dan terpuji sebagai kekasih-Mu….”

Kudengar suara canang bertalu-talu dari puncak Gunung Pesagi mengantar kepergianku. Mungkinkah arwah leluhur tak merestui diriku yang bersalin keyakinan? Ah, bukankah telah kuserahkan hidup dan matiku hanya kepada Allah semata? Tak perlu lagi kuungkit perihal segala dewa dan arwah leluhur Wangsa Sekala Bgha. Biarkan riwayat lama itu pudar bersama kesiut angin musim kemarau yang selalu tandang di Perbukitan Bedudu ini. Biarkan ia diganti oleh kisah keperwiraan diriku yang dikalahkan secara pengecut oleh segerombolan lelaki seiman dan seagama.

Kuala Lumpur-Kotakarang, 28 Januari 2012

Bahasa ยป