Seniman dan Kenyataan di Depan Mata

Hang Kafrawi
Riau Pos, 12 Feb 2012

PERISTIWA yang terhampar di alam ini merupakan ruh karya seni. Bukankah seniman “pembajak” yang handal menjadikan hamparan peristiwa “taman bunga” tempat pikiran manusia lainnya bermain? Di “taman bunga” itulah manusia diharapkan menafsirkan peristiwa yang terjadi dengan hati nurani, sehingga bermunculan “bunga kesadaran” untuk mengenal diri lebih dekat lagi. Inilah hakikat karya seni; dapat menjadi penyuluh bagi manusia.

Pada hari ini, seniman seakan kehilangan “ruh” untuk menukangi karya seni dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Maka bermunculanlah karya seni yang “menjauh” dari keadaan masyarakat. Dalam karya seni, seniman hanya bercerita tentang keluh-kesah pribadi; tersebab putus cinta (sebagai salah satu contoh). Karya seni bukan menjadi keluh kesah universal, tapi lebih banyak kegelisahan individu sang seniman. Karya seni tak menyentuh hati orang banyak, dia berjalan sendiri dengan “kelukaan” yang maha sunyi.

Mungkinkah peristiwa yang terjadi di negeri kita pada hari ini melebihi perasaan sensitif para seniman? Kita setiap hari disuguhi peristiwa yang mengiris hati nurani; seorang nenek mencuri kakau diganjar hukuman lima tahun penjara. Seorang anak mengambil sandal jepit “dipelasah” dengan hukum penjara. Penegak hukum dengan perkasanya menghabisi nyawa tahanan yang tergolong muda. Pihak keamanan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan leluasa melepaskan tembakan ke rakyat kecil. Seorang ibu dituduh mencuri enam buah piring majikannya dan dihukum penjara selama 140 hari. Peristiwa perih ini, nyata adanya dan orang banyak tidak memerlukan tafsiran seperti menafsirkan karya seni.

Hati nurani manusia mendiami negeri ini senantiasa diusik dengan peristiwa-peristiwa perih yang terus menikam keibaan. Gelombang kelukaan semakin besar menghempas ke tebing hati, namun kita tetap berdiri dengan kesedihan yang datang sesaat saja. Semakin jauh peristiwa perih itu berlalu, semakin lupa kita dengan peristiwa itu. Kita pun dihadapkan dengan peristiwa nyata yang lain pula.

Sebagai seniman, yang katanya diberi perasaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya, seharusnya peristiwa nyata itu diabadikan dalam karya seni. Karya seni yang mampu terus menggoyang hati nurani manusia negeri ini untuk selalu ingat dengan peristiwa nyata itu. Dengan demikian, rasa kasih sayang sesama manusia negeri ini terus menyala, sehingga sedikit banyak karya seni dapat membakar perasaan manusia untuk mengenal akan dirinya. Punca dari segala peristiwa di muka bumi ini, berawal dari diri manusia itu sendiri. Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, Pasal 1, bait 4 mengatakan, “Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan yang bahari.”

Seniman melalui karya seninya, membawa kebenaran-kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Karya seni tidak berpihak kepada siapapun, tetapi karya seni berpihak kepada kesadaran akan pentingnya kemaslahatan manusia. Dengan kesadaran bahwa manusia saling mengerti satu dengan lainnya, maka terciptalah keharmonisan, keseimbangan hidup manusia. Nilai keindahan dalam karya seni adalah ketika karya seni itu memiliki faedah atau manfaat bagi setiap manusia.

Dengan demikian, karya seni mengambil posisi sebagai penetral keadaan. Karya seni tidak berpihak pada kaum tertindas dan tidak juga menyebelah kepada yang menindas. Bagi kaum tertindas, karya seni menjadi pembangkit semangat untuk tetap berusaha lepas dari penindasan. Menyadarkan diri bahwa ketertindasan harus tetap dilawan; hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai. Karya seni memberikan cahaya ke hati tertindas sementara bagi kaum penindas karya seni dapat dijadikan penunjuk jalan untuk tidak melakukan penindasan. Bukankah manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sama di mata-Nya? Karya sastra membongkar kesadaran kebersamaan itu.

Maka, realitas yang terjadi di negeri ini, sepahit apapun, sepilu bagaimanapun, tetap menjadi sumber seniman untuk ikut andil menciptakan “kebahagiaan” bersama melalui karya seni. Seniman tidak harus lari dari kenyataan yang sedang melanda negeri ini. Seniman ikut bertanggung jawab mengubah keburukan menjadi kebaikan, bukan sebaliknya, seniman menambah “kekacuan” dengan menanam kebencian antar manusia yang mendiami negeri ini. Di tangan seniman diharapkan realitas yang melanda negeri ini menjadi pelajaran berharga bagi kelangsungan kehidupan.

Bukan zamannya seniman berlagak dengan karya yang hanya mempopulerkan dirinya sendiri; menjauhkan karya mereka dengan keadaan yang terjadi di negeri ini. Agar mereka (seniman) terlihat hebat, beramai-ramailah seniman mengokah realitas negeri asing menjadi sumber mereka. Para seniman pun membusungkan dada bahwa mereka pengusung globalisasi dengan menyerap kebudayaan asing. Mereka merasa tidak modern apabila gagasan datang dari kenyataan yang terjadi di negeri ini.

Inilah permasalahan yang dihadapi dunia seni di negeri ini. Selalu menganggap kehidupan nyata yang berhubungan dengan orang banyak tidak penting lagi dirangkai menjadi karya seni yang berkualitas. Padahal seniman selalu ditunggu untuk menghasilkan karya yang mampu “membaca” peristiwa yang terjadi dengan mengedepankan kejernihan. Dari kejernihan inilah, manusia meneguk kesegaran untuk berbuat lebih baik lagi. Kalaulah dapat diibaratkan, karya seni itu seperti baut penting di sebuah mesin, tanpa baut tersebut, mesin tidak bisa dihidupkan.

Mungkin saja disebabkan faktor globalisasi membuat seniman “membanting setir”; seniman harus menghasilkan karya seni yang instan dan berbau pop. Mereka tak mampu bertahan dari godaan kaum kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan. Seniman juga dipaksa untuk menghasilkan karya seni hanya untuk hiburan, tanpa memikirkan makna yang lebih dalam. Karya seni diukur seberapa banyak orang senang dan berapa duit yang didapatkan dari karya seni itu. Masalah sosial dikesampingkan karena tidak menarik untuk dijual.

Bukan “mengharamkan” budaya populer, tetapi kemaslahatan orang ramai perlu dikedepankan. Apalah arti sebuah karya seni apabila hanya sesaat karya seni itu berarti. Seharusnya karya seni itu bertahan dari segala waktu, berbuah di sembarang musim, bermanfaat kapan saja. Inilah karya seni seharusnya.

Kembali pada peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang terasa berat rasanya seniman mengokah realitas tersebut menjadi karya seni yang mampu melantas ke hati setiap orang. Namun demikian, bukan berarti seniman harus menyerah dan menyelewengkan hati nurani dengan membiarkan realitas itu terkapar tak berdaya.

Memang perlu kerja keras bagi seniman membungkus peristiwa pilu hari ini menjadi karya seni. Mari kita lawan godaan kapitalisme dengan mengajak mereka berpikir bahwa kesenian bukan hanya mementingkan hiburan, tapi lebih dari itu, kesenian menjadi kekuatan menjunjung kemanusiaan lebih tinggi lagi. Peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang memilukan, kita perlu meresponnya dengan karya seni, sehingga perasaan halus setiap orang tersentuh untuk tidak berbuat semena-mena lagi. Maju terus untuk berkarya.

Hang Kafrawi, nama pena dari Muhammad Kafrawi seorang sastrawan Riau. Selain bergelut di dunia sastra, ia juga aktif membina teater di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Bermastautin di Pekanbaru.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/02/seniman-dan-kenyataan-di-depan-mata.html

Bahasa ยป