Idris Pasaribu
analisadaily.com
TAK SELAMANYA cabang seni berdiri sendiri dalam berbagai kegiatannya. Salah satu di antaranya, senirupa dan sastra sudah sejak tahun 2011 ini, selalu berkegiatan bersama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dengan Medan Seni Gallery Payung Teduh. Bukan itu saja, di Payung teduh Jalan Sei Bingei No. 1, sering pula dilakukan diskusi tentang berbagai cabang seni. Seperti diskusi Film yang diselenggarakan secara bersama antara KSI dan Payung Teduh, Diskusi Sastra juga diskusi senirupa. Yang hadir mengejutkan juga. Teman-teman yang bukan pekerja seni, bisa hadir di sana. Menariknya, mereka justru memberikan berbagai masukan kepada para pekerja seni di Medan dan masukan itu sangat berharga sekali.
Ada dokter umum, ada dokter spesialis bedah, ada akupunktur, ekonom, politisi dan berbagai profesi. Ketika terjadi debat, kelihatannya sangat menarik, kalau mereka yang bukan pekerja seni, menilai kinerja seniman di Medan dengan objektif. Ada pujian, ada saran bahkan ada kritik tajam.
Dari berbagai pertemuan yang dilakukan di Payung Teduh ternyata, selama ini mereka sebanranya menilai dan menikmati juga apa yang dilakukan oleh seniman. Mereka tahu, apa dan siapa seniman Medan yang karya-karya-nya pantat dibicarakan, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional. Mereka mengikuti perkembangan para seniman dan karya-karyanya.
Diskusi yang selalu dibatasi untuk 20 orang itu, semakin menarik ketika mereka yang bukan pekerja seni memberikan berbagai krtitik tajam. Mereka prihatin, karena seniman Medan kurang pengayoman dan tidak mendapatkan dukungan penuh dari pemerintahnya, bahkan dari masyarakatnya sendiri.
Kita sebagai pekerja seni terkejut juga, saat mereka mengatakan, kenapa orang-orang kaya di Medan dan pata pejabat yang berduit, lenbih bangga membeli lukisan orang-orang di Jawa dan Bali atau luar negeri, ketimbang karya orang Sumut sendiri? Padahal tidak semua lukisan orang yang bukan dari Medan lebih baik. Banyak lukisan orang Medan cukup baik. Sementara orang di Jawa Barat, Jateng, DIY Jogja, Bali, Jakarta, mereka bangga membeli karya seniman yang ada di proivinsi mereka dan memajangnya di dinding mereka.
Mari kita ke kantor pemerintahan di Jawa dan Bali juga di Jakarta. dinding kantor itu dihiasi oleh liukisan dari daerahnya sendiri. Sumatera Barat juga dinding kantor pemerintahannya dihiasi oleh lukisan pelukis provinsinya sendiri. Anehnya di Sumatera Utara, banyak kantor yang dindingnya tidak dihiasi oleh lukisan, padahal lukisan pasti membawa kesejukan bagi penikmatnya, terlebih di ruang tunggu. Demikian juga kalau kita memasuki rumah mewah yang ada di Medan, jarang sekali kita menemui dinding merteka dihiasi oleh lukisan.
Kita salut kepada mereka, ternyata mereka mampu mengamati juga sampai ke dinding perkantoran pemerintahan kiota, juga kantor perusahaan besar baik milik swasta maupun milik BUMN, juga rumah-rumah mewah yang ada di Medan. Ternyata kita tak boleh pandang enteng kepada mereka yang buka pekerja seni, karena mereka banyak tau tentang seni. Melihat kenyataan itu, di Payung Teduh pun semakin kita tingkatkan diskusi bulanan dengan berbagai pihak tentang banyak hal. Ketika diskusi sastra, lukisan tetap terpajang di dinding gallery Payung Teduh. Nyatanya, diskusi tetap berjalan, walau sesekali mata melirik juga melihat lukisan-lukisan yang terpajang disana. Diskusi jalan terus, dan usai diskusi mereka yang hadir pun mulai tanya sana-sini dan tawar menawar lukisan pun terjadi pula.
Pada jumat 14 Oktober nanti, Payung Teduh juga menjadi tuan rumah untuk peluncuran sebuah novel (pendek) berjudul AMANG PARSIUNAN (sang ayah), karya Lucya Chriz. Lucya Chriz belum setahun bergabung di KSI dan di Payung Teduh. Dia seorang yang gigih dan pekerja keras serta mau terus belajar dan belajar. Dia digojlok oleh para seniornya selama di KSI. Karya-karyanya dikritik keras oleh Sakinah Annisa Mariz, Julhenri Chaniago, Embar T Nugroho juga oleh teman-teman lainnya. Ternyata gojlokan itu, bukan melemahkan semangat Lucya Chriz, sebaliknya membuatny semakin semangat.
Sebagai sarjana psikologi yang baru diwisuda, karya-karyanya selalu bermuatan psikologi. Kali ini, Lucya Chriz, justru menyibak pergualan bathin secara psikologi orang Batak, jika suami isteri tidak melahirkan anak laki-laki. Pertentangan bathin itu demikian indahnya dilukisakan oleh Lucya Chriz, hingga pembacanya bisa ikut larut dalam pergulatan bathin itu. Plot-nya yang berjalan indah dan lancar, perasaan pembaca bisa dipermainkan olehnya.
Mau menikah kembali, agama melarangnya untuk berpoligami apalagi bercerai. Jika tidak menikah lagi untuk mendapatkan anak-laki-laki yang dituntut oleh adat dimana laki-laki adalah apenerus garis keturunan leluhur (Patrarchaat), apa yang harus dilakukan? Pertentangan itu demikian keras, hingaa terjadi bunuh diri dan pembunuhan serta korban-koran bathin lainnya diaduk oleh Lucya Chriz.
Peluncuran AMANG PARSINUAN ini pada 14 Oktobner 2011 pada pukul 15.00 WIB di Payung Teduh Jalan Sei Bingei No. 1 Medan itu, didukung oleh BT/BS. BIMA. Kali ini peluncuran buku ini naik ke permukaan, sebagai BT/BS BIMA, Perduli Sastra. dr. Robert Valentino Tarigan SPd yang bukan pekerja seni, tapi perduli pada seni, bahkan kali ini dia menyatakan; PERDULI SASTRA.
Irwansyah Hasibuan salah seorang yang banyak berkecimpung di dunia pertanian dan kemasyarakatan lainnya, dialah yang akan membahas AMANG PARSINUAN. Orang pertanian membahas sastra? Setelah membaca makalahnya, penulis justru terkesima. Makalahnya lebih tajam dari pisau sastra para sastrawan.
09 Okt 2011.