Jusuf An
kompasiana.com/jusuf_an
Siapapun bisa memulai usaha warung kelontong meski dengan modal sedikit. Sungguh gampang. Kerjanya cuma kulakan ke pasar, menunggu dan melayani pembeli, dan bisa membuka dan menutup warung sesuka hati. Cukup buka warungnya, layani pembeli dengan santun, tetap tersenyum meski dagangan diutang, maka usaha kita akan dapat bertahan lama. Ya, siapa pun bisa melakukannya. Tetapi di kampung kecil macam ini, ada saja yang tega membuka warung baru persis di sebelah warung yang telah sepuluh tahun lamanya berdiri.
“Dasar tidak tahu malu! Harusnya mikir, kalau di sebelahnya sudah ada warung, kenapa harus buka warung juga?!” Istriku seketika menggerutu waktu melihat warung Mujib dibuka untuk pertama kalinya.
“Ssstttt! Tembok rumah kita tipis, tidak enak kalau didengar orang lewat,” kataku dengan suara mendesis.
“Biarkan saja semua orang tahu kalau Mujib memang tidak tahu malu!”
“Sudahlah, sayang! Sabar! Rezeki ‘kan sudah diatur, jadi tak perlu kuatir. Di pasar, bukankah berderet-deret orang jualan pakaian, berderet orang jual buah, jual daging, jual bumbu, jual VCD, tetapi semuanya laku, dan tidak ada yang menggerutu,” kataku mencoba menenangkannya.
“Tapi di sini kampung, Mas. Bukan pasar. Apa begitu cara mencari rezeki di kampung?”
Aku tidak berkomentar lagi setelah sadar kalau mata istriku terlihat merah merangah. Akan sulit rasanya menasehati orang yang sedang dikuasai amarah. Baru ketika maghrib menjelang dan warung kututup (biasanya aku menutup warung pukul sembilan malam), lalu kami duduk bersama di ruang tengah aku mulai kembali mencoba menenangkannya. Pelan dan hati-hati aku bicara, tak ingin menyinggung perasaannya yang lembut.
Aku sangat paham apa yang dirisaukan oleh istriku. Pastilah ia sangat mengkhawatirkan akan kehilangan pelanggan. Kalau warung sepi, sepi pula hatinya. Rencana untuk membeli kalung emas bulan depan akan batal. Aku sendiri mencemaskan biaya sekolah Ratna dan Hilda, yang baru masuk SMP dan SMA belum lama. “Bagaimanapun kita harus optimis, warung kita tetap akan laris,” ucapku dengan tangan mengepal. Sejenak setelah aku mengatakan itu, istriku menarik napas dalam-dalam, menatapku tajam, sembari mengepalkan tangan.
***
Pikiran untuk membuka warung mendadak saja aku temukan, dulu, sepuluh tahun silam, di tengah kebingunganku sebagai kepala keluarga yang baru di PHK dari sebuah perusahaan di Jakarta. Aku bawa istriku, Hilda dan Ratna pulang kampung di pedalaman Tuban. Oleh orang tuaku, kami disuruh menempati sebuah rumah kayu, rumah mendiang kakekku, yang sudah setahun dibiarkan kosong. Rumah itu terletak persis di pertigaan, menghadap ke jalan yang memanjang ke arah utara. Persis di depan rumah itu adalah jalan utama kampung yang berbatu-batu memanjang ke timur dan ke barat.
Pertigaan itu, sungguh merupakan tempat yang strategis untuk membuka warung. Tepat di depan sebelah kiri rumahku terdapat sebuah gardu yang dibangun oleh ABRI tahun 1994. Gardu itu, meskipun kini tidak lagi memiliki daun pintu dan jendela, tetapi lantainya selalu bersih. Di sanalah anak-anak muda sering menghabiskan waktu dengan bermain karambol, kartu, atau duduk-duduk di kursi panjang dari kayu di depan gardu itu. Di sana pula tukang ojeg sering terlihat lesu menunggu penumpang yang dari hari ke hari kian langka, karena kian banyak warga yang membeli sepeda motor. Gardu itu tidak pernah digunakan untuk ronda, kecuali ketika bulan puasa, karena biasanya banyak maling pada saat-saat itu. Dan ketika Lebaran tiba, gardu itu dijadikan tempat jualan bakso dan mie ayam. Aku beruntung karena memiliki kakek yang mewariskan rumah di tempat yang sangat strategis untuk membuka warung.
Warung yang sangat sederhana. Pintu dan dua jendela ruang tamu aku buka, dan dari tiga lubang itulah rezeki keluargaku mengalir. Aliran rezeki itu aku tampung di laci almari, sampai dua tahun kemudian aku dapat merubah rumah kayu peninggalan kakekku dengan rumah berdirinding bata serta membuat sebuah ruangan khusus untuk warung, dapat menyekolahkan anak-anak dan membeli sebuah sepeda motor. Modal awal warungku adalah kalung istriku yang kami beli dengan uang tabungan selama lima tahun. Dengan mata berkaca-kaca, istriku rela menjual kalungnya setelah terlebih dulu aku berjanji akan membelikannya lagi. Begitulah, setelah sepuluh tahun usaha warung kami berjalan istriku menagih janjiku, membelikan kalung. Sungguh, sampai sekarang aku tak tahu, kenapa perempuan begitu mencintai perhiasan.
“Apa kau ingin, istrimu ini diremehkkan setiap kali arisan?” tanya istriku ketika aku bermaksud menunda membelikan kalung karena biaya sekolah Hilda dan Ratna sangat besar. “Bu Elok, Bu Ratih, Mbak Sri, dan hampir semua wanita di kampung ini memakai kalung. Apa kau tega melihat leher istrimu polos seperti laki-laki?”
Aku takut dengan istriku. Aku takut ia tidak bahagia, sedih, kecewa, dan merasa rendah di hadapan orang lain. Maka, aku tegaskan janjiku, bahwa bulan depan, aku akan membelikannya kalung. Tapi rencana itu terancam batal sekarang. Setiap orang memang telah diberi jatah rezeki, tetapi bagaimanapun warung Mujib tetaplah mengancam usaha dagangku. Pikiran itu, membuatku tidak dapat menghitung belanjaan pembeli dengan lancar sehingga memaksaku selalu menggunakan kalkulator.
Mujib telah menyulap ruangan yang sedianya di siapkan sebagai garasi mobil sebagai warung. Sungguh hebat warungnya. Seperti toko. Lebar. Pintunya besi. Lantainya keramik. Tiga lemari kaca berderet di bagian depan. Catnya merah buah saga dengan selingan kuning dan biru muda. Indah. Isinya selengkap warungku dan Haji Tholib, jual pulsa dan bensin segala, dan belakangan juga menerima tambal ban sepeda.
Antara warungku dengan warungnya Mujib hanya berjarak dua meter, dibatasi oleh gang kecil yang memisahkan tembok rumah kami. Warung Mujib persis menghadap gardu di seberang jalan, sedang warungku menghadap jalan yang memanjang ke utara. Ketika pagi masih remang dan orang-orang masih jarang yang keluar dari rumah, aku dan Mujib sering bertatap muka. Ia menyapu jalan di depan warungnya, aku menyapu jalan di depan warungku. Ia selalu menyapaku lebih dulu dengan suara yang mantap. Tak nampak garis-garis malu di wajahnya, seolah ia tidak merasa telah berusaha membunuh mata pencaharianku. Mungkin ia menganggap bahwa keputusannya membuka warung di sebelah warung adalah wajar di jaman yang sulit mencari pekerjaan seperti sekarang, entahlah.
Beberapa Minggu setelah Mujib membuka warungnya, nyaris tidak ada masalah pelik yang aku hadapi, kecuali satu pertanyaan yang tidak juga menemukan jawaban: di mana Mujib menaruh hatinya? Untunglah warungku lebih strategis ketimbang warung Mujib, sehingga warungku masih lebih laris meskipun para pemuda dan tukang ojeg mulai jarang membeli rokok dan minuman suplemen di warungku. Setelah aku perhatikan selama beberapa Minggu ini, ternyata para pembelilah yang justru sering tidak enak hati, sembunyi-sembunyi dari Mujib ketika membeli di warungku dan sembunyi-sembunyi dari aku dan istriku ketika membeli di warung Mujib. Aku merasa kalau larisnya warungku disebabkan karena para pembeli yang datang dari arah utara dan timur akan sungkan ketika melintas di depan warungku tetapi memilih membeli di warung Mujib. Alhasil, rencana membelikan kalung emas untuk istriku dapat terlaksana juga.
Kalung emas 10 gram, dengan liontin merah delima berkilatan di leher istriku. Sudah kusuruh ia agar memakai kalung itu pada acara-acara tertentu saja, tetapi ia menolak. Sejak keluar dari toko emas, kalung itu tak dapat dipisahkan dari leher istriku; menemaninya tidur, mencuci pakaian, arisan, kondangan, ta’ziyah, dan melayani pembeli. Ia bilang, kalung dibeli untuk dipakai bukan disimpan. Setengah berbisik ia juga mengatakan, kalau dirinya sengaja membakar mata Bu Elok, Bu Ratih, Mbak Sri dan ibu-ibu lain yang dulu senang memamerkan perhiasannya. Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar kejujurannya. Sampai tibalah sebuah subuh di mana aku dibangunkan oleh lolongan panjang istriku.
“Kepalaku, kepalaku, sakit sekali kepalaku! Aduuuuh!” Dua tangan istriku mencengkram dan menjambaki rambut kepalanya sendiri. Segera masuk warung melalui pintu dalam, mengambil obat sakit kepala yang biasa ia minum. Begitu saja istriku menelan tablet pahit itu ketika aku sedang menuju ruang belakang mengambilakan segelas air.
Sampai matahari menetas, cengkraman jari-jari tangan istriku masih belum lepas dari tempurung kepalanya. Perempuan dua anak itu menggigil, dibalut selimut tebal ia berbaring tak tentang di atas ranjang. “Rasanya seperti ditusuk-tusuk duri seribu,” desisnya di sela-sela gigil dan rintihan. Matanya yang bengkak memejam-membelalak, bibirnya meringis-ringis, wajahnya pucat, dan leher tempat kalung emasnya melingkar berleleran keringat.
Selama seminggu aku tidak membuka warung. Seluruh waktu aku gunakan untuk menunggui istriku di rumah sakit. Ketika dokter mengijinkan istriku di bawa pulang, dengan berat hati istriku merelakan kalungnya dijual untuk membayar biaya rumah sakit yang tak terkira mahalnya. Setibanya di rumah, sakit kepalanya kambuh lagi. Mulanya aku menduga kalau kambuhnya sakit kepala istriku disebabkan karena ia masih tidak rela dengan dijualnya kalungnya. Tetapi mungkin tidak. Ekspresi wajahnya, erangan, dan rintihannya sama seperti awal mula sakit kepalanya meledak.
Mendadak aku berpikir kalau sakit kepala istriku bukan sakit kepala biasa. Aku teringat dengan Maimun, Kepala Desa yang baru terpilih itu, belum lama ini juga mengalami sakit kepala dengan lolongan, dan ekspresi wajah seperti istriku dan baru sembuh setelah dibawa ke rumah Mbah Welas.
***
Mbah Welas tinggal di kampung sebelah, tetapi semua orang dikampungku sudah mengenalnya. Lelaki tua itu dikenal sanggup mengobati orang kesurupan jin dan terkena tenung. Aku tidak dapat memastikan penyakit apa yang diderita istriku, tetapi pada tengah malam yang berkabut aku memutuskan membawa istriku ke rumah Mbah Welas.
Seperti sudah lama menunggu, Mbah Welas membukakan pintu begitu motorku berhenti di depan rumahnya. Ia tersenyum menyambut kami, dan tanpa banyak kata-kata menyuruhku duduk di kursi tamu, lalu membawa istriku masuk ke sebuah kamar. Sesaat kemudian aku mendengar suara itu; rintihan dan erangan istriku yang panjang, melebihi rintihannya ketika melahirkan Ratna dan Hilda. Aku bangkit dari kursi, mendekati pintu di mana istriku dan Mbah Welas baru memasukinya. Rintihan dan erangan itu kian keras menghujam-hujam gendang telingaku. Aku tidak tega mendengarnya. Aku berjalan menjauh, menyalakan rokok, modar-mandir di ruang tamu, sampai rintihan itu hilang, di susul kemudian istriku dan Mbah Welas keluar dari kamar.
“Dunia memiliki banyak orang dengki dan jahat, karena itu berahati-hatilah,” kata Mbah Welas. Aku sudah tahu apa yang ia maksud. Tapi ketika aku tanyakan siapa orang jahat yang telah tega menyakiti istriku, Mbah Welas tidak mau menyebutkan. Ia hanya menyuruh agar kami, aku dan istriku, tidak lupa membaca Ayat Kursi tiga kali sebelum membuka warung, memakai perhiasan, dan ketika hendak beranjak tidur.
Mendengar kata warung dan perhiasan disebut aku dan istriku sejenak saling pandang. Apa yang terbersit di kepala istriku mungkin sama denganku: sesosok lelaki muda rumahnya bersebelahan denganku. Tetapi mungkin saja istriku membayangkan sosok lain. Mungkin sekali istriku lebih dapat menerka siapa yang tega berbuat jahat kepadanya. Sebab, kalau warung menjadi sebabnya, kenapa orang jahat itu tidak menenung aku saja?
“Buruk sangka hanya akan menjadi sampah pikiran,” kata Mbah Welas, seakan-akan telah dapat membaca isi kepala kami.
“Karena itu, Mbah, agar kami tidak berburuk sangka pada orang yang tidak tepat, alangkah baiknya Mbah katakan siapa orang jahat itu,” desak istriku.
“Lebih baik mengetahui keburukan diri sendiri ketimbang mengetahui borok orang lain,” balas Mbah Welas.
Malam itu kami pulang dengan membawa seribu pertanyaan. Di atas motor yang menembus kabut yang likat istriku mengatakan kalau Mbah Welas telah mencabuti paku-paku berkarat dari batok kepalanya. Aku merinding mendengarnya. Di kepalaku, Mujib muncul dengan wajah seperti monster dengan taring-taring panjang dan tajam. Mungkin istriku membayangkan wajah lain di kepalanya, atau mungkin juga ia sedang membayangkan kalungnya, aku tidak tahu.
25 November 2011