Wingit dan Jarjit

Han Gagas *

Wingit menguliti bangkai anjing itu. Gerombolan belatung ia caruk dengan tangan dan mengumpulkannya di piring plastik. Sambil menunggu api kayu bakar stabil, ia mengambil kecap.

Perutnya telah keroncongan sejak kemarin. Tiga malam, empat siang, tak secuilpun makanan masuk perutnya. Kini menatap daging anjing yang terbakar dengan baunya yang gurih, nafsu makannya tak terbendung lagi. Segera ia semprotkan kecap itu ke belatung mentah sebagai lalapan.

Hidangan telah siap. Daging anjing yang empuk beserta belatung kecap yang menggugah selera, Uihh.

Belatung yang berwarna putih kekuning-kuningan itu terasa nyeplos. Ada cairan yang meletus dari dalam perut belatung yang rasanya sangat nendang di rongga mulut Wingit. Itulah seni rasanya, sungguh nikmat!

Daging anjing busuk adalah makanan yang paling istimewa buat Wingit, karena biasanya ia hanya makan ayam busuk. Sejak dulu Wingit memang suka makan bangkai. Ayam mati dari tetangga selalu ia terima dengan senang hati, apalagi yang sudah berbau busuk, uhhh, langsung membuat air liurnya menetes.

Perilakunya itu tak membuat para tetangganya merasa jijik atau marah. Itu lumrah, siapapun berhak atas apa yang dia makan. Justru dengan adanya Wingit, membuat para tetangga merasa dimudahkan karena anjing atau ayam yang mati tak perlu dikubur, dibuang ke kali, atau dibakar, cukup dikasihkan ke Wingit.
***

Beda dengan Wingit, Jarjit suka makan ayam mentah, maksudnya, ayam hidup. Jika hendak makan ayam yang hidup, ia hunjam leher ayam itu dengan pisau maka darah memuncrat mengenai wajah dan dadanya. Melihat segarnya darah, Jarjit senang bukan main. Bau anyir sangat ia suka karena jarang ada bau seperti itu. Ia telah bosan dengan bau sehari-hari seperti apak, wangi, busuk, amis, atau tawar alias tak berbau apapun. Bau anyir hanya bisa ia hirup ketika darah segar muncrat dari pembuluhnya.

Saat tubuh ayam berkelojotan, Jarjit segera mencabuti bulu ayam itu lalu setelah semuanya bersih, dengan pisaunya yang tajam ia gurat perut ayam itu dengan arah vertikal yang tegas. Setiap darah dari urat nadi memuncrat ke bajunya membuat Jarjit berteriak kegirangan.

Lalu dengan lahapnya ia makan satu per satu bagian tubuh ayam itu. Kaki ia patahkan dengan kedua tangannya, lalu segera ia lahap dengan rakus. Leher kepala ia tarik dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang kedua sayap maka ’bress’, leher telah copot dan ia santap juga.

Yang paling tidak ia suka segera dibuangnya yaitu kepala dan usus (karena ada tahi ayam). Yang lainnya, ia maniak, terutama bagian leher yang darahnya masih segar, merah kehitaman dan kental, dan hati jeroan yang berwarna kemerah-merahan.

Serupa dengan Wingit yang menyukai perut belatung yang nyeplos di mulut, darah dari urat nadi juga nyeplos di dalam rongga mulut Jarjit, rasanya sungguh mantab!

Walau selera kedua orang itu berbeda tapi mereka sahabat karib. Dua manusia yang berupaya terus memahami satu sama lain, dan tentu saja selalu membantu dan menemani di kala satunya susah.
***

Kini, Wingit sedang senang-senangnya, sedangkan Jarjit sedang sedih-sedihnya. Wingit sedang lahap-lahapnya, kekenyangan terus, tubuhnya jadi sangat gemuk. Sedangkan Jarjit sangat menderita, kurus, dan amat kuyu, tubuhnya amat lemas karena berhari-hari perutnya kelaparan.

Di rumah Wingit menggunung bangkai ayam. Di rumah Jarjit tak ada satupun ayam hidup. Di kandang tetangga pun tidak, kabarnya semua ayam mati terserang flu, Jarjit meraung karena kelaparan yang tak tertahankan.

Wingit di siang bolong tiba-tiba datang dengan wajah jatuh kasihan, ia menenteng lima ayam busuk di tangannya yang dikerubuti lalat-lalat. Lalu ia menawarkannya pada Jarjit.

”Aku tak suka ayam mati, aku suka ayam hidup, mestinya kau tahu!” ucap Jarjit ketus.

”Ayam ini walau mati tapi masih segar, coba cium baunya pasti tak terlalu busuk, tubuhnya masih sedikit hangat. Aku tahu seleramu. Di tubuh ayam ini, darah masih bisa menyembur.”

Jarjit hanya diam.

”Aku ingin menolongmu saja… Wajahmu sangat pucat,” tambah Wingit dengan suara yang lirih.

Karena sudah sangat lapar, Jarjit segera menerima lima ayam itu, lalu tanpa babibu langsung menghunjamkan pisaunya ke leher ayam, darah merembes ke punggung tangannya. Ia menjerit senang, lalu tanpa sungkan-sungkan segera dimakannya ayam itu dengan lahap. Sejumlah pembuluh atau urat nadi ayam ia betot dengan mulutnya sehingga darah membasahi celah bibir dan dagunya. Jarjit sangat menikmati hidangan itu.

Tapi tidak dengan Wingit, ia menatap dengan jijik, dan serasa mau muntah. Perutnya mual, dan karena tak kuat melihat Jarjit makan, ia pergi tanpa pamit.
***

Lima ekor ayam pemberian Wingit dihabiskan Jarjit dalam sehari. Karena jika lewat hari, ayam itu terlanjur lebih busuk dan darah tak berbau anyir lagi, jika demikian Jarjit tak doyan, perutnya akan mual dan muntah, jijik. Telah menghabiskan lima ekor ayam itu, Jarjit jadi kekenyangan.

Sehari-dua hari perut Jarjit masih terganjal, namun setelah hari ketiga ia mulai lapar lagi. Mulai menahan rasa ingin makan dengan sedikit gelisah. Namun setelah hari keempat, kepalanya mulai pusing, tubuhnya lemas, dan wajahnya pucat.

Jarjit mengunjungi sahabatnya Wingit, kalau-kalau ada ayam mati yang masih segar dan sedikit hangat tubuhnya.

Ia berjalan ke rumah Wingit, sekonyong hidungnya diserbu bau busuk yang sangat menyengat, ribuan lalat menggerayangi setiap sudut rumah Wingit. Jarjit menutup hidungnya rapat-rapat.

Jarjit masuk dan matanya linglung menatap onggokan bangkai ayam yang membukit disertai ribuan belatung putih yang menggeliat-geliat. Ia undur lagi, tak tahan memandang itu.

”Wingit, masihkah ada ayam untukku seperti kemarin,” teriak Jarjit dengan suara parau dari luar.

Wingit tergopoh-gopoh ke luar, dia ternyata baru mengumpulkan kayu untuk bahan bakar.

”Tampaknya sudah tiada lagi Jarjit. Semuanya sudah begitu busuk,” jawab Wingit.

Jarjit jadi loyo, perutnya makin keroncongan. Ia terduduk di bawah pohon beringin di halaman rumah Wingit, bersandar, tubuhnya mulai membiru.

Wingit mendatangi Jarjit lalu duduk di sampingnya.

”Entah sedang ada apa alam ini, Jarjit. Hujan di Bulan Juli. Ayam-ayam mati. Semua hewan ternak mati, anjing-anjing semuanya lenyap. Bahkan hewan alas seperti celeng, ular, ajak, monyet semua pergi. Padi puso. Yang bernama binatang hanya tersisa wereng dan ulat, lainnya lenyap tak berjejak. Apakah kau tak bisa mengubah seleramu, menyesuaikan dengan alam ini? Orang-orang bisa makan ketela dan sayuran, tanpa daging. Kau tentu bisa seperti mereka?“

Jarjit seolah menatap sesuatu tapi matanya seperti tak melihat sesuatu, suwung.

”Kita berbeda, Wingit.”
”Ya, aku tahu.”

”Betapa tak mungkin mengubah apa yang telah kita jalani puluhan tahun dengan seketika.”

Mereka lantas diam. Matahari sedang terbakar di barat sana. Menyapukan terik pada kulit, dan mengeluarkan hawa panas yang menyengat dari dalam bumi.

”Betapa baik orang-orang karena tak pernah marah pada selera kita.”

”Ya, Jarjit. Syukurlah orang-orang tak pernah menganggap selera kita sebagai persoalan.”

Wingit menatap tubuh tetangganya itu dengan mata tak biasa. Bibir Jarjit pucat, matanya kerontang. Bukan kelaparan biasa. Tubuh Jarjit makin biru.

”Maukah kau bercerita tentang jalan kematian Wingit? Semalam aku bermimpi belatung-belatungmu mengeroyokku, dan aku hanya diam saja, tubuhku tak bisa bergerak, serasa mati, lalu aku seperti melayang-layang di udara.”

”Jangan menyerah, Jarjit.”

”Kesinilah, mendekatlah padaku. Peluklah aku…”

Wingit mendekat lalu memeluk tubuh sahabatnya itu yang terasa beku. Dinginnya tubuh Jarjit mengingatkan Wingit pada tubuh bangkai ayam. Persis. Wingit memencet nadi Jarjit, sangat lemah, dan memfokuskan matanya pada tengkuk Jarjit.

Ada: ning nung nang… aura kematian yang membayang.

Kematian telah dekat, batin Wingit.

”Kurasa aku keracunan, Wingit. Aku digariskan makan binatang hidup, empat hari lalu aku menghabiskan lima ayam pemberianmu sekaligus. Aku tak kuasa menahan keinginan makanku. Kau jangan merasa bersalah, ini sudah jalanku, Wingit. Tolong temani aku, ceritakanlah padaku tentang tanda kematian itu.” Sudut mata Jarjit menggenang bulir air yang nyaris terjatuh.

”Apa yang kau katakan?!” sela Wingit.

”Aku tahu Wingit. Setidaknya aku juga ada sedikit kemampuan sepertimu, bukankah jalanku hampir menyeberang. Jangan kau membantahnya hanya untuk membuat hatiku senang, Wingit. Tuntunlah aku ke lorong terang itu. Terangkan jalanku dengan tanda kematian itu…”

”Teman, jangan kau risau, kematian bukan hal yang mengerikan.”

”Aku hendak berserah diri, Wingit.”

Jarjit membaringkan tubuhnya, menangkupkan kedua tangannya menjadi satu di atas bidang dadanya. Wingit memegang kedua bahu Jarjit dengan lembut.

”Terangkan padaku tentang tanda kematian itu, teman…”

Terdengar tembang macapat yang mengalun perlahan begitu sendu.

Kepala Wingit mendekat, mulutnya berbisik lirih ke kuping Jarjit.

”Belatung mendatangimu, itu artinya salah satu dari tiga tanda kematian telah berkunjung.”

Kepala Jarjit miring hendak meludah tapi hanya udara kering dan suara dengus yang keluar dari tenggorokannya.

Wingit melepas tangannya, berlari cepat ke rumah mengambil air dalam gentong.

”Kau harus minum dulu, teman,” kata Wingit sambil mengangkat kepala Jarjit.

Jarjit menengguk air itu. Dua teguk, 3, 4, 5, 6, 7.

Wingit mengguyurkan sisa air dalam gentong ke seluruh tubuh Jarjit.

”… biar kau segar, teman. Biarlah kematian menjemputmu dalam keadaan yang segar, tampak sehat, dan gembira menyongsongnya.”

Jarjit tersenyum beku. Bibirnya basah, rambutnya tampak berkilau dengan air yang menetes. Kulitnya yang membiru memang tampak lebih segar. Keningnya paling biru. Muka, dada, lengan, kaki, semuanya makin biru kecuali tengkuk itu yang mencorong sinar ungu.

”Terangkan padaku lagi tanda yang lain.”

Kepala Jarjit kembali miring, menatap arah barat yang sangat merah. Matanya menatap ke horison yang jauh, ada air yang menggeliat-geliat di sana, fatamorgana, ditingkahi kepak burung kuntul putih yang mengembang, berombongan membelah angkasa. Menyeberang, menusuk lintasan mendung terjauh, mungkin bermigrasi mencari ladang makan yang baru.

Burung-burung kuntul terjauh yang hidup semakin menjauh dari desa ranggas ini.

”Sudahkan kau didatangi oleh leluhur-leluhurmu, ayah-ibumu, dan kakek-kakekmu?” ucap Wingit.

Jarjit tersenyum kecut. Kelopak matanya kini menangkup, turun perlahan, dan rapat. Air menggelinding dari sudut matanya bercampur dengan air gentong tadi. Kupingnya mendengar bunyi rebab yang digesek demikian menyayat-yayat.

”Dan, sudahkah kau dikunjungi saudara sejatimu? Kakang kawah adi ariari, yang bermuka sama denganmu, saudara jiwa yang manunggal.”

Mata Jarjit terpejam. Jiwanya terasa terang dan ringan, melayang seperti kapas tersapu angin.

”Kau akan menaiki sebuah perahu yang membelah lautan cahaya mahacahaya diiringi oleh belatung-belatung di sekujur tubuhmu, leluhur-leluhurmu di depan-belakangmu, dan kau akan dipeluk oleh saudara sejatimu.”

Wingit tahu Jarjit mulai berbelok lalu menyeberang memasuki sisi yang lain: lapisan gelap yang panjang dan maha luas lalu disusul lorong cahaya.

Jarjit mulai memasuki lautan maha cahaya. Ribuan belatung putih bergelayut di sekujur tubuhnya namun di situ sudah tiada lagi bau busuk. Wangi swargaloka menguasai indera Jarjit. Wangi yang sama dengan segarnya anyir darah ayam yang amat ia sukai selama hidup di dunia.

Solo, 9 Nopember 2011

*) Han Gagas, Pengarang cerita pendek dan novel. Novel pertamanya Tembang Tolak Bala [LKiS, 2011]. Manuskrip novelnya yang kedua menjadi salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jawa Tengah [DKJT]. Cerpen-cerpennya yang dimuat sejumlah media massa seperti Kompas, Republika, Seputar Indonesia, Suara Karya, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Lampungpost, dll sebagian besar terangkum dalam kumpulan cerpen Ritual [Gembring, 2012]. Novelnya: Bengawan Solo, segera terbit. http://han-gagas.blogspot.com/

Bahasa »