Dari Alif ke Amsal Mencari Tuhan?

Mihar Harahap
http://www.analisadaily.com/

AWAL bulan dan tahun 2012 ini, kebetulan atau kesengajaan, rasanya tepat sekali Redaktur menurunkan 3 cerpen yang berhasil menarik perhatian. Ada Eka Handayani Ginting, kali ini bercerita ‘Aku Ingin Melihat Kau Menangis, Ibu’. Disusul Sugeng Satya Dharma dengan judul singkat, ’Alif’. Kemudian, Ester Pandiangan yang diilhami ‘Amsal 30:17’. Menariknya, karena mengungkapakan bentuk kehidupan personal seseorang yang enak untuk disimak.

Kalau Eka, sesuai judul cerpennya, ‘aku’ (Gemala) ingin melihat ibunya menangis lantaran tak pernah dilihatnya menangis. Belakangan, baru dia tahu, jika ibunya memang tak bisa menangis akibat efek samping pengobatan suatu penyakit. Sugeng pula, ketika hendak membaca hidup, baru menyadari kalau dia kehilangan alif. Diapun mencari ke mana- mana. Sementara itu, Ester mengisahkan bagaimana seorang anak (Lasma) melayani ibu kandungnya, Tiur, yang rentan hipertensi, stroke dan amnesia.

Menurut hemat saya, ketiga cerpen ini bermuara ke pelabuhan Tuhan. Manusia itu selain makhluk individu/sosial, juga makhluk Tuhan. Terbukti, cerpen Sugeng sarat dengan pencarian nilai-nilai ketuhanan. Cerpen Eka dan Ester merupakan lukisan dampak negatif bila jauh dari kehidupan bertuhan. Hanya bedanya, kalau Ester langsung mendera Marningot melanggar Amsal 30:17, sedang Eka mengekspresikan Gemala dan ayahnya cenderung melupakan kehadiran Tuhan.

Pencarian Alif Tak Sudah

Tokoh cerpen Sugeng ini bernama Sugeng. Kuat dugaan Sugeng mendeskripsikan pergulatan batinnya sendiri dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Terbukti ada ucapan: “Jika di hutan rambung nan sepi ini saja dia khawatir tersesat, bagaimana mungkin dia bisa leluasa menapaki hidup di tengah keramaian sebuah kota?”

Setahu saya, Sugeng pernah mandah ke Jakarta. Jadi, cerpen ini menjadi bagian pengakuan, gagal mencari alif di Jakarta kembali ke Medan, nun di Tanjung Morawa yang ramah lingkungan.

Di Afdeling III, perkebunan hutan rambung, mula-mula dia cari alif di dalam rumah di tumpukan buku, bawah kasur, kolong meja, balik karpet, lipatan baju, di kamar mandi, lubang sampah di depan rumah, bahkan ke balik sajadah musholla, tetap tak ada. Akan tetapi di mushola itu, ia bertemu dengan seseorang, 80 tahun, menurut saya adalah dirinya sendiri yang menguatkan pencarian itu.Kata orangtua itu:”Ingat anak muda, jika tak ada alif maka tak akan ada artinya hidup. Sia-sia.” Ia pun terus mencari alifnya yang hilang.

Kali ini Sugeng menapaki jalan kecil, licin, bebatuan, mentari menyengat. Setiba di simpang pertigaan, dia berhenti. Penat. Tak tahu ke arah mana lagi. Ah, dia benar-benar terpuruk, gamang, nol.

“Mungkinkah Tuhan memang sedang mempermainkanku. Atau Setan justru sedang menyusun siasat untuk semakin menyesatkanku,” pikirnya. Sayang, sohibnya Idris Pasaribu, Mihar Harahap, Jaya Arjuna tak di situ. Mungkin mereka lebih rasional merasakan yang mana permainan Tuhan dan yang mana siasat Setan. Dia hanya merasakan burung Jalak tiba-tiba berak tepat di kepala botaknya.

Mengingat matahari sudah mulai condong ke barat, alhasil dia bersikap melangkah lurus ke depan dengan mengundi nasib.

“Jika alifku ada di sana pastilah aku menemuinya. Jika tidak, mungkin itulah sudah peruntunganku,” pikirnya. Ternyata, dia kalah nasib. Dia berzikir panjang, pun tak menemukan alifnya.Dia temukan malah, seorang bocah lelaki, 10 tahun, menendang pantatnya. Dia terkejut, marah dan ingin menghajar bocah itu.Apa daya, seorang perempuan melindunginya.

“Apakah kalau alif-mu sudah kau temui maka anak-anakmu tak perlu makan nasi lagi? Apakah kalau alif-mu sudah ada di tanganmu, maka istri dan anak-anakmu tak perlu hidup di gubuk reyot ini? Omong kosong macam apa itu,” kata istrinya.

Menurut hemat saya, pencarian alif tak berkesudahan. Semestinya, pencarian dilakukan dengan jiwa yang bersih dan keyakinan yang dalam, bukan dengan keraguan dan kekosongan. Soal tuntutan hidup, seperti yang dituntut istri/anak, itu soal lain, meski merupakan kewajiban. Jadi, tak baik kalau dibenturkan, kecuali dihubungkan. Artinya, pencarian alif terus dilakukan, namun pencarian tuntutan hidup jangan ditinggalkan.

Alif itu adalah aksara arab pertama. Bentuknya tegak lurus ke atas menuju Sang Khalik. Saya teringat para wali, juga menafsirkan sama dan mensosialisasikannya melalui permainan anak, ‘main alif/p’. Seorang anak mengejar temannya. Bila berlindung pada alif (sebagai cendong) maka anak yang mengejar tak dapat menangkapnya.

Begitulah, kita sudah kehilangan alif/cendong/tempat berlindung. Anehnya, kita yang berasal dari-Nya, pasti kembali pada-Nya, tetapi berusaha untuk melupakan-Nya.

Pelanggaran Amsal Berakibat Fatal

Terus terang, saya suka cerpen Eka, karena sering mengejutkan. Ada hal-hal tak terduga, disampaikan menyentakkan. Contoh, ketika dia membuka cerpennya, mengakui Gemala, pelajar (entah sekolah apa) telah melakukan aborsi 3 kali serta dimutasikan dari sekolah (entah alasan apa). Anehnya, hal itu dilakukan Gemala hanya untuk melihat sang ibu menangis dan mengeluarkan air mata. Tentu sang ibu gemas dan marah, tetapi tetap tak menangis apalagi mencurahkan air mata.

Suatu kali, Gemala bermaksud menemui ayah yang lama berpisah. Dugaannya, ibu melarang, marah lalu menangis. Ternyata tidak, ibu malah mengizinkan. Bertemulah dia dengan ayahnya. Dari pengakuan ayah, baru diketahui kalau ibunya memang tidak bisa menangis dan menitiskan air mata. Sebabnya, ayah memukuli ibu (entah latar apa), hingga sakit bahkan pernah ingin membunuh Gemala (entah mengapa). Rupanya, ulah ayah, entah lebih/kurang/sama dengan anaknya. Sejak itulah, Gemala tahu diri, minta maaf pada ibu dan menyayangi sepenuh hati.

Cerpen ini begitu lancar, mengalir deras tanpa hambatan. Bila disisir secara cermat, ternyata fokus cerita terbelah dua. Satu, menyingkap kemisterian ibu yang tak bisa menangis, apalagi mengeluarkan air mata. Dua, membenarkan sikap dan kelakuan anarkhis anak (perbuatan dosa) untuk mengungkap kemisterian sang ibu. Akibatnya, timbul berbagai pertanyaan yang menuntut penjelasan/penegasan dari perbuatan dosa tersebut. Terlebih-lebih tidak terdapatnya hubungan signifikan antara ke dua belahan fokus cerita itu.

Ester berhasil mesdeskripsikan Tiur dan Lasma. Tiur, seorang janda tua, terkena amnesia,stroke, hipertensi. Terkadang menangis, tertawa, marah, pengingat, pelupa. Hidup butuh pertolongan. Lasma, seorang istri, beranak 1, hamil 5 bulan. Setia, sabar, penuh pengabdian mengurus keperluan hidup Tiur, emaknya. Tak terbayangkan, betapa lelah dan serba salah mengurus emak seperti ini. Emak, yang keras kepala itu hanya merindukan Marningot, anaknya yang jauh.

Marningot, tokoh bayangan, tampan, cerdas, namun berkelakuan buruk sejak kuliah. Tawuran, mencuri, berhutang (rumah terjual untuk membayar hutang), selingkuh dengan istri orang dan ayahnya meninggal terkena serangan jantung akibat kelakuan buruknya. Adik-adik dan keluarga memarahinya tetapi Tiur membela anak pertama lelakinya itu. Marningot mengaku salah, bertobat dan berdoa, namun begitu hidup mapan, dia lupa pada Tiur apalagi keluarga. Begitulah berulang kali. Terakhir dia bekerja ke Halmahera dan tak pernah pulang menjenguk Tiur yang merindukannya.

Cerpen ini selesai dengan membawa beban psikologis bagi Tiur dan Lasma hanya karena Ester tak berani terus terang. Sampai kapan Tiur harus memendam rindu? Sampai kapan Lasma memberitahu kalau Marningot/keluarga telah meninggal akibat flu burung? Padahal saya percaya, cerpen akan lebih merasuk bila kegelisahan psikologis itu dapat diungkap secara baik. Pemaknaan Amsal 30 : 17 makin menusuk ke jantung hati pembaca. Itulah hukuman anak yang menyia-nyiakan orangtua.

Penulis; Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan /11 Mar 2012