Puisi pun Ditadaruskan

Benny Benke
suaramerdeka.com

SEBAGAIMANA menjadi permakluman umat muslim sedunia, bulan Ramadhan adalah saat dan tempat segala berkah dan kelimpahan cahaya atas cahaya bagi seluruh umat manusia; tanpa terkecuali. Di bulan itu -dalam terminologi Islam-, terdapat sebuah syariat yang bernama tadarus, membaca kitab suci Alquran sekerap mungkin. Dengan ikhtiar, mendapatkan kelimpahan ridho dan berkah-Nya.

Pada Selasa (11/11) malam lalu, bertempat di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menghimpun 11 penyair -beberapa di antaranya penyair terkemuka- di Tanah Air. Mereka diundang untuk menadaruskan puisi-puisinya. Itulah, dalam rangka menyelaraskan dengan bulan Ramadhan, sebuah hajat berjuluk ”Tadarus Puisi” telah menjadi media untuk saling mengapresiasikan puisi religius para penyair tersebut.

Dalam kesempatan itu, penyair Achmad Nurullah, Slamet Soekirnanto, Jamal D Rahman, Ahmadun Yossy Herfanda, Kurnia Effendi, Jefri Al-Katiri, Abdul Hadi WM, Agus R Sarjono, Leon Agusta, Acep Zamzam Noor, dan Taufik Ismail, berurut menadaruskan puisinya. Maka, rasakanlah nuansa malam itu, saat penyair senior Abdul Hadi WM -yang mengaku sempat sedikit gentar oleh kehadiran penyair muda yang tampil sebelumnya- dengan lirih mendeklamasikan sajak ”Barat dan Timur”. Berikut cuplikannya:

// Barat dan Timur adalah guruku/ walau kiblatku kota suci Mekah/ Muslim, Hindu, Kristen, Bhuda, pengikut Zen atau pun Tao, semua adalah guruku/ Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani rahasia cinta/ hakikat bara api jadi api berkobar/ dan tikar sembahyang menjadi pelana menuju arasnya//

Kerinduan Manusia

Memang, hampir semua puisi yang dideklamasikan atau dinyanyikan malam itu bernarasi tentang kerinduan manusia atas cintaNya. Namun tidak dengan puisi Agus R Sarjono, yang membacakan sajak ”Doa Iblis Suatu Malam”. Agus malah ”menggugat” kebaikan Tuhan, karena terlalu sayang kepada manusia atas segala kejahatan yang telah dipermaklumkannya di muka bumi. Coba resapi cuplikan ini:

//Sesungguhnya aku tak pernah bertuhankan selain Engkau, wahai yang Maha Tinggi, Maha Meliputi/ Seperti malaikat dan seluruh semesta raya kami pun bertasbih kepadaMu saja/ hanya kami tak rela kepada manusia/ Lumpur brengsek yang Kau bikin jadi mulia hanya karena mengenal bahasa dan nama-nama/ Lihatlah mereka tak putus-putus berkata-kata dan berbuat sengketa/ Mereka kenali nama-nama segala benda lalu mereka rusakkan/ Kau kenalkan mereka dengan DzatMu/ Tapi begitu lekas mereka lupakan// Tuhanku lihatlah, kami bujuk mereka menjauh dariMu sepuluh langkah/ Dan mereka berpacu menjauhimu berlaksa depa/ Kami bujuk mereka untuk berzina dengan tetangga/ Dan mereka zinahi anak dan ibunya sendiri//

Demikian pula dengan penyair dari Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor, yang tak lain adalah putra mantan Rois Am PBNU KH Ilyas Ruhyat. Penyair muda itu mendedikasikan puisi ”Qasidah Sunyi” untuk para koruptor. Coba cermati puisinya itu.

//Kepada sunyi jagalah napasku agar tidak berbunyi/ Peliharalah tubuhku agar tidak ikut pergi/ lemparkan aku ke lembah biarkan sendiri/ Tengelam dalam rindu biarkan mati/ Aku ingin tidur lelap dalam pelukan kasihmu/ tapi bayang-bayang kehidupan impian-impian masa depan selalu mengusik kantukku//

Sebagai puncak acara, penyair senior Taufik Ismail menutup tadarus puisi itu dengan membawakan sajak ”Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Penyair berpenampilan kalem yang pernah mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat, mengikuti festival penyair internasional di Rotterdam, menjadi peserta kongres penyair sedunia di Taipe, serta mengikuti festival seni Adelaide di Australia itu, mendapat aplaus hangat dari para apresian.

13 November 2003