Stilistika sebagai Sarana Estetik Sastra

Inung Setyami
Riau Pos, 11 Maret 2012

KARYA sastra merupakan luapan perasaan pengarang yang dicurahkan dalam bentuk tulisan, menggunakan kata-kata yang disusun sedemikian rupa. Dalam penciptaan karya sastra, unsur keindahan merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan. Karena itu, dalam penciptaan karya sastra tak pernah terlepas dari penggunaan stilistik atau ilmu tentang gaya bahasa. Mengapa? Ini karena medium utama sastra adalah bahasa. Sastra tercipta dari rangkaian kata-kata dan kata-kata itu sendiri merupakan bagian dari bahasa. Sangat mustahil bila sebuah karya sastra lahir tanpa adanya keterlibatan atau keterkaitan dengan penggunaan gaya bahasa. Sehingga semakin pekat penggunaan gaya bahasa dalam sastra, semakin terasa pula nilai astetik yang terkandung di dalamnya.

Peranan gaya dalam penciptaan karya sastra menjadi aspek utama. Adanya gaya bahasa, seorang pengarang mampu ‘’mencapai cita-cita’’ dalam mewujudkan apa yang diinginkannya. Dengan penggunaan gaya bahasa itu pula, pengarang dapat memperlihatkan estetika identitasnya, kedalaman imajinatifnya, serta pesan pada pembaca. Selanjutnya, ilmu yang berkaitan dengan gaya bahasa dalam sastra selama ini dikenal dengan stilistika.

Penggunaan gaya bahasa/stilistika dapat ditemui pada genre sastra baik genre sastra modern (puisi, prosa, drama) maupun genre sastra klasik (geguritan dan gancaran). Medium utama sastra adalah bahasa, karena itu objek kajian akan didasarkan pada penggunaan bahasa yang ada dalam sastra. Sastra klasik merupakan sastra yang ditulis menggunakan bahasa daerah. Dengan demikian, gaya bahasa yang terdapat dalam karya tersebut berkaitan dengan stilistika lama. Sedang sastra baru atau modern merupakan karya sastra yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia sehingga stilistik yang digunakan yaitu stilistik baru atau modern.

Perkembangan stilistika di Indonesia, dapat dilihat dari terbitnya buku-buku yang di dalamnya menyinggung tentang gaya bahasa. Buku mengenai stilistika di Indonesia pertama kali ditulis Slamet Muljana, yakni Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956). Buku ini menjadi awal lahirnya studi ilmu tentang gaya bahasa di Indonesia. Selanjutnya, Teeuw menulis Tergantung pada Kata (1980). Buku ini menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair terkenal yang mewakili ciri-ciri pemakaian bahasa dan kekhasan personalitas sebagai estetika identitas pengarangnya. Selang tujuh tahun kemudian, Rachmat Djoko Pradopo menulis buku Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik (1987). Baru kemudian pada 1989, muncul buku Stilistika Satu Pengantar yang ditulis Umar Junus.

Pada dasarnya penciptaan karya sastra merupakan pencapaian estetik. Karena itu, dalam penciptaan karya sastra tak pernah terlepas dari penggunaan stilistik atau ilmu tentang gaya bahasa. Ini berarti, tiap pengarang dalam melahirkan karya pun tak terlepas dari estetika identitas kepengarangannya yang ditunjukkan melalui penggunaan bahasa. Singkatnya dapat dikatakan, setiap karya sastra yang ditulis pengarang yang berbeda pastilah memiliki karakteristik tersendiri dari beberapa karya yang dihasilkan oleh pengarang yang berbeda, baik novel, cerpen maupun puisi.

Aplikasi stilistika dalam kancah sastra Indonesia dapat dilihat misalnya pada kekhasan penggunaan bahasa pada puisi Remy Silado yang terkenal dengan puisi mbeling-nya. Pada karya Sutardji Calzoum Bachri terkenal dengan puisi mantranya. Sutardji telah melakukan pemberontakan semantik dalam bahasa sehingga terlihat sekali melakukan penyimpangan terhadap penggunaan bahasa dalam sajak-sajaknya, misalnya dalam kumpulan sajaknya O Amuk Kapak. Penyimpangan yang dilakukan Sutardji memang sangat ekstrem yakni berupa eksperimen pembebasan kata dari makna sekaligus penyederhanaan terhadap fungsi kata-kata yang telah dibekukan oleh makna dan arti. Ini dapat dilihat pada kutipan sajak berikut:

Hai kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
Izukalizu/Mapakazaba Itasatali/tutulita
Papaliko arukabazaku ladega zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam logotokoco

Melihat sajak di atas, tampak bahwa Sutardji telah memperlakukan kata sebagai mantra dengan lebih memprioritaskan bunyi daripada arti. Bunyi-bunyi pada sederetan kata (kecuali baris 1 dan 2) yang terdapat pada penggalan sajak Sutardji tersebut tak ada rujukannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Agaknya Sutardji memang telah menolak jika kata dalam sastra mesti selalu baku, kata tak boleh kehilangan kemerdekaan sebagai medium sastra.

Lain lagi dengan puisi Joko Pinurbo yang cenderung pada persoalan ketubuhan (lihat kumpulan sajak ‘’di Bawah Kibaran Sarung’’). Walaupun anggota tubuh mendapat sorotan utama, Jokpin tak hendak mencari efek porno melainkan untuk memenuhi aspek keindahan dalam berkarya. Buktinya tubuh bukan hanya berarti tubuh semata yang menghadirkan sensitivitas erotis melainkan sebagai medium pesan yang diolah secara metaforis. Tampak pada kutipan sebagai berikut: Lama ia tak mandi. Tapi sekali mandi/ia langsung mencopot tubuhnya yang usang/dan menggantinya dengan yang baru/yang mutakhir modelnya/dan tentu saja, tahan lama. (dalam sajak ‘’Pulang Mandi’’)

Sementara itu, gaya bahasa yang khas juga terdapat pada karya Seno Gumira Adjidarma. Seno sangat akrab dengan kata senja pada cerpen-cerpennya. Hampir keseluruhan cerpen yang dihasilkannya tak pernah tidak terdapat kata senja. Seno begitu lihai memain-mainkan senja. Misalnya pada cerpennya yang terkenal ‘’Sepotong Senja untuk Pacarku’’. Dalam cerpen ini, ‘’senja’’ terasa menjadi sesuatu yang kentara kehadirannya. ‘’Senja’’ menjadi pokok penceritaan. Demikian halnya bahasa sastra yang digunakan pengarang perempuan Djenar dan NH Dini. Walau keduanya mengusung cerita-cerita seputar persoalan perempuan, cinta dan seks, namun bahasa sastra yang mereka gunakan tidaklah sama. Dalam pengambaran seksisme, NH Dini tampak lebih sopan. Beda dengan Djenar yang lebih terbuka dan karena itu ia mampu mengeksploitasi habis-habisan tanpa sungkan mengenai ‘’organ vital’’ (baca novel Nayla, kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet, Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek). Nuansa seksual yang dibangun Djenar, yaitu mulai dari adegan seksual erotis, penyimpangan seksual, dialog seksual dan edukasi seksual, hingga wacana gerakan feminis radikalnya.

Lain pula penggunaan bahasa sastra pada karya-karya Putu Wijaya yang cenderung melakukan teror mental pada pembacanya. Tampak beberapa judul karyanya menggunakan tak lebih dari satu kata sebagai judul (‘’Pabrik’’, ‘’Stasiun’’, ‘’Telegram’’). Hal demikian juga merupakan kekhasan karya-karyanya. Pada karya-karya Karya Dewi Lestari misalnya, terkenal dengan nuansa bahasa sains dan dunia maya dalam internet, dapat dilihat pada ketiga novelnya (Putri dan Bintang Jatuh, Supernova, Akar dan Petir). Sementara itu, pada novel-novel populer Mira W sangat kental nuansa bahasa kedokteran. Iwan Simatupang dengan novel Ziarah-nya yang cenderung abstrak dan penuh simbolisme. Novel Ziarah Iwan pernah gencar dibicarakan kritikus sastra karena keunikannya dalam penggunaan bahasa yang absurd dan penghadiran tokoh-tokoh yang tanpa nama.

Penggunaan bahasa sastra dengan pilihan diksi bernuansa Kejawen berupa penggambaran priyayi, abangan, serta transformasi dunia pewayangan dapat dijumpai pada karya-karya Kuntowijoyo, Umar Kayam dan Bakdi Soemanto (lihat Para Priyayi, Nyidam, Bawuk, Sri Sumarah). Pada akhirnya, dapat dikatakan, salah satu letak keindahan sastra adalah bagaimana kelihaian pengarang mempermainkan bahasa sebagai medium sastra. Bagaimana seorang pengarang mampu mencari keunikan-kaunikan pada karyanya melalui bahasa, bukan sekadar meniru-niru yang sudah ada sehingga sastra (seakan-akan) statis dan mendekati homogen.
***

*) Inung Setyami, Mahasiswi S-2 Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Tinggal di Jogjakarta.

Bahasa »