Tiga Penyair (Tua) Menguak TIM

Arif Zulkifli
http://majalah.tempointeraktif.com/

Penyair “mabuk” itu datang lagi. Masih dengan misai yang terjulur dan rambut yang tak disisir. Ketika layar diangkat, ia bergelayutan dari langit-langit. Panggung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), yang luas, malam itu tak mampu menampung aksinya. Ia berguling, meraung, dan berdendang sambil sesekali menenggak air jahe. Tidak ada upacara minum bir. Tidak ada kapak dan daging sapi yang digantung seperti 20 tahun lalu. Tapi Sutardji Calzoum Bachri, sang penyair, tetap menyengat, satiris, dan mampu menjadikan puisi yang ia bacakan menjadi barang serius sekaligus sebuah “upacara” main-main.

Aksi Tardji, Selasa pekan lalu, bersama Taufiq Ismail dan Rendra, merupakan rangkaian pertunjukan dalam rangka Festival November, sebuah perayaan ulang tahun TIM yang ke-30. Dan karena yang tampil tiga sekawan penyair senior, penonton membeludak.

Tardji membuka penampilannya dengan Kucing, puisi yang dibuatnya pada 1973. dia meraung dia menge-/rang hei berapa tuhan yang kalian punya beri aku satu seke-/dar pemuas kucingku hari ini.

Inilah kredo lain puisi Tardji di tahun 1970-an. Ia bukan hanya menggagas perlunya kata dibebaskan dari makna. Ia juga menyembunyikan, secara subtil, kerinduannya kepada Tuhan. Dengan gaya pendekar mabuk, terhuyung-huyung, dan diselingi senandung Hello Darling yang diiringi dentingan piano, Tardji mengaduk-aduk soal gawat tentang Tuhan dengan sikap yang bermain-main. Tardji edan? Penonton tergelak oleh aksi Tardji, tapi dari serak suaranya yang sesekali hilang, Tardji sebetulnya tampak sedang murung.

Dalam puisi-puisi baru beraroma reformasi yang ia bacakan malam itu, kesan itu juga tetap kuat. kau jadi dari duka kami/ yang kaujadikan kuda kau/kau jadi dari hati kami/yang kauniatkan sukasuka kau. Itulah kelebihan lain penyair yang baru saja meraih anugerah Chairil Anwar dari Dewan Kesenian Jakarta ini. Meski menyuarakan protes, Tardji masih menyimpan wilayah puitis yang gelapada niat untuk memain-mainkan bunyi. Aspek gelap dan permainan itu mampu memelihara puisi Tardji menjadi tetap awet dan memiliki kekuatan untuk memaksa orang menguak dan menguaknya lagi.

Kalaupun mau dibedakan dengan puisinya di masa “puncak” kepenyairannya di tahun 1970-an, puisi-puisi Tardji yang dibacakan malam itu memang tidak sepenuhnya setia kepada kredo pembebasan kata atas makna. Puisi baru Tardji memiliki elemen naratif. “Setelah seorang penyair sampai ke puncak, ia harus mulai dari bawah lagi,” kata Tardji suatu ketika.

Berbeda dengan Tardji yang eksploratif, Taufiq Ismail, yang tampil sebelum Tardji, membacakan puisi naratif dengan gaya yang datar dan tertib. Taufiq tetap setia dengan puisi yang mudah dikunyah, seperti puisi-puisi lamanya dalam kumpulan Benteng dan Tirani. Ada puisi Disumpahi Jabatan, yang berkisah tentang penyesalan seorang bekas pejabat atas korupsi yang telah dilakukannya. Ada juga puisi jenaka tentang tradisi komisi. Tapi, secara keseluruhan, puisi yang dibacakan Taufiq berkembang lebih baik ketimbang beberapa puisi reformasinya yang belakangan ini banyak dimuat di media massa. Dengan demikian, paling tidak, penampilan Taufiq itu berhasil menghapus kesan bahwa ia telah menjelma menjadi penyair pamflet.

Si burung merak Rendra tampil sebagai penutup pertunjukan yang mengecewakan. Ia belum bisa mengulang kekuatan puisi-puisinya seperti dulu. Dari substansi puisi barunyaseperti pada pantun-pantun reformasiRendra bahkan berkesan seperti lesu darah. Sampai dengan periode kumpulan puisi Orang-Orang Rangkasbitung, pada 1993, karya Rendra memang masih prima. Ia masih mampu membungkus idenya tentang perlunya penyair berpihak kepada rakyat kecil, dengan memainkan analog dan metafora dengan setting Rangkasbitung. Yang masih dipertahankan Rendra adalah vokalnya yang masih nyaring.

Pada akhirnya, pembacaan puisi malam itu memang menempatkan Tardji sebagai bintang. Dan yang paling penting, inilah sebuah pembacaan puisi “the three tenors” yang langka.

01 Desember 1998