Sofian Dwi
http://www.seputar-indonesia.com/
Sebagai salah satu warisan budaya yang sudah teramat langka, keberadaan Wayang Beber semakin terjepit. Padahal, sejarah wayang beber teramat panjang dan terkadang sarat mistik. Kondisi wayang beber di Indonesia memang kurang mendapat perhatian.
Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian wayang beber. Padahal, jika dirunut, sejarah panjang mengiringi kelahiran pertunjukan wayang beber. Wayang beber sendiri awal mulanya adalah wayang batu pada abad ke-9 atau wayang yang terukir pada dinding relief candi. Kemudian, sejak zaman Kerajaan Jenggala pada 1223 M, dimulai adanya perkembangan wayang beber.
Bentuk wayang pada tempo dulu masih berupa gambar yang diukir pada daun siwalan atau rontal (Lontar). Lalu pada 1244 M, ketika Raja Prabu Suryahamiluhur menjadi Raja Jenggala, ia memindahkan keraton ke Pajajaran. Cerita wayang purwa pun digoreskan pada kertas yang terbuat dari kulit kayu atau orang menyebutnya dlancang gedog.Pada masa inilah kertas mulai dipakai untuk wayang beber.
Gambar-gambar di atas kertas itu dibuat lebih besar dan lebih jelas,namun war-nanya masih hitam dan putih. Setiap masa berganti. Ketika Jaka Susuruh menjadi raja pada masa Majapahit atau sekitar tahun 1316 M, ada modifikasi pada pertunjukan ini. Gulungan kertas wayang tersebut di setiap ujungnya diberikan tongkat kayu panjang yang digunakan untuk menggulung atau memperlihatkan cerita selanjutnya.
Selanjutnya tongkat tersebut dapat dipegangi dengan tangan atau dimasukkan ke dalam lubang yang disiapkan ke kotak kayu tersebut. Mulai saat itulah nama wayang beber diberikan pada pertunjukan ini.Wayang beber artinya membentangkan dan juga menjelaskan. Pertunjukan wayang beber memang menggunakan gulungan gambar sebagai objek pertunjukkan.
Dengan cara ini, gambar-gambar yang dilukis pada selembar kertas itu dijelaskan adegan satu demi adegan lain, sesuai urutan narasi. Dalanglah yang menjelaskan setiap gambar yang ada dalam gulungan tersebut. Biasanya,dalam satu gulungan terdapat empat adegan. Sementara dalam satu pertunjukan, biasanya terdiri dari lima hingga enam gulungan. Soal cerita, wayang beber tradisional umumnya menceritakan tentang romantika cerita panji dan Dewi Sekartaji.
Konon cerita ini sering digelar kala zaman Mataram (Islam), tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura. Kala itu raja yang memerintah adalah Amangkurat II (1677–1703). Hal itu juga disebutkan dalam salah satu tembang kinanthi yang ada di Serat Centhini. Begitu juga cerita yang akan dibawakan oleh dalang wayang beber tradisi Rudhi Prasetyo pada pertunjukan yang digelar dalam pameran DolananWayang Beber di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 21–29 Maret 2012, di mana dalang akan menampilkan karakter tokoh Panji dan Dewi Sekartaji.
Rudhi menggambarkan bagaimana romantika asmara Patih Joko Kembang Kuning dengan Dewi Sekartaji, anak Prabu Brawijaya.Namun,Dewi Sekartaji hilang karena tahu akan dilamar oleh Raden Kelono. Dewi Sekartaji yang tidak suka dengan karakter dari Raden Kelono yang berewokan dan amburadul memilih mengasingkan diri. Prabu Brawijaya bingung, dan akhirnya mengadakan sayembara.
Barang siapa bisa menemukan Dewi Sekartaji, kalau laki-laki akan menjadi suaminya, kalau perempuan jadi saudaranya.Dan akhirnya, yang menemukan Joko Kembang Kuning. Raden Kelono pun marah dan mengajak perang. Dalam peperangan Raden Kelono kalah. Dewi Sekartaji pun nikah dengan Patih Joko Kembang Kuning.
Lakon yang dipentaskan pada Rabu (21/3) di BBJ itu mengambil lakon Joko Kembang Kuning. Pada pertunjukannya, Rudhi memakai cara tradisi, dari gaya bertutur, pemakaian kata,semuanya sama.
25 March 2012