Ahmadun Yosi Herfanda
Republika, 30 Maret 2008
Jalan-jalan ke Pulau Penyengat
Perginya pada hari Jumat
Apa gunanya pemimpin hebat
Kalau tidak dekat dengan rakyat
(Pantun politik Suryatati A Manan)
Datanglah sekali-kali ke Tanjungpinang, daerah yang kini disebut-sebut sebagai Negeri Pantun. Seakan berpacu dengan Malaysia, masyarakat di Pulau Bintan itu kini beramai-ramai memuliakan pantun. Tiap perhelatan berhias pantun, Pilkada bertabur pantun, dan anak-anak sekolah pun kini sibuk belajar berpantun.
Sekali-kali tengok pula acara-acara sastra di Negeri Jiran, selalu bertabur pantun. Begitu juga di daerah-daerah lain yang beribu budaya Melayu, seperti Pekanbaru, Bangka Belitung, Aceh, Padang, dan hampir seluruh kawasan Sumatera serta semenanjung Malaka; pantun makin mentradisi kembali di masyarakat. Bahkan, juga di kawasan-kawasan lain di Nusantara, dengan bahasa daerah masing-masing.
Namun, yang paling tampak bergairah merevitalisasi tradisi berpantun saat ini adalah masyarakat Tanjungpinang. Tradisi berpantun tidak hanya marak kembali secara alami, tapi ada upaya-upaya serius untuk menghidupkannya melalui pengajaran sastra di sekolah, sanggar-sanggar, pertunjukan, peraduan (lomba), pelatihan, dan berbagai festival. “Kami juga membentuk komunitas pantun. Anggotanya sejak anak-anak muda sampai orang tua. Pada hari-hari tententu kami berlatih bersama, dan beradu pantun di kafe pantun,” kata Tusiran Tanurejo, sastrawan Negeri Pantun.
Untuk mendukung revitalisasi tradisi berpantun yang dilakukannya, Tusiran bahkan mendirikan Rumah Pantun Madah Kelana. Berlokasi di Jl Bayangkara, di rumah pantun ini tiap Senin dan Kamis sore, komunitas pantun berkumpul untuk berlatih bersama Tusiran. Tak cukup dengan itu, tiap Ahad, latihan juga diadakan di Gedung Kesenian Tanjung Pinang, yang diasuh Teja Alhabsi. Pesertanya, sejak remaja hingga orang tua. Dan, merekalah yang pada malam hari suka berkumpul di Kafe Pantun, di Bintan Center, untuk bermain pantun bersama.
Hasilnya, tradisi berpantun kini sangat marak di Kota Tanjungpinang dan sekitarnya. “Pantun kini menjadi bagian dari keseharian masyarakat Tanjungpinang,” kata Suryatati A Manan, walikota Tanjungpinang, yang mendapat julukan sebagai ‘Ratu Negeri Pantun’. “Pilkada yang lalu pun bertabur pantun. Masing-masing kandidat beradu kemahiran berpantun. Spanduk-spanduk juga dihiasi pantun,” tambahnya dalam jumpa pers di kampung nelayan, Madung, Tanjungpinang, pekan lalu.
Menyongsong kegairahan berpantun di kalangan masyarakat Melayu itu, sebuah festival pantun internasional pun dipersiapkan untuk digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada 25-29 April 2008. Dengan tajuk Festival Pantun Serumpun, acara akan diisi peraduan pantun se Asia Tenggara, pencatatan rekor berpantun terlama MURI, eksebisi pentun para pejabat, cerdas cermat pantun, berpantun bersama Tusiran Seseno, kedai pantun untuk umum, orasi pantun, opera pantun, dan peluncuran buku Negeri Pantun. ‘’Juga deklarasi Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun,” kata Ketua Yayasan Panggung Melayu (YPM), Asrizal Nur, pelaksana festival.
Sebelumnya, tambah Suryatati, beberapa iven besar telah digelar di Tanjungpinang, seperti Peraduan Pantun Melayu Serumpun pada tahun 2001, 2003 dan 2004, serta peraduan pantun Melayu serumpun dalam Festival Budaya Melayu Internasional 2006.
Pantun gaul
Mulanya, pantun merupakan salah satu bentuk sastra Melayu lama yang bersifat anonim – tidak diketahui siapa penciptanya. Di kalangan masyarakat Melayu, pantun menjadi bagian dari tradisi sastra lisan yang hidup secara turun-temurun.
Ada beberapa jenis pantun klasik yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi miliki masyarakat. Umumnya bersifat didaktik, seperti pantun agama dan pantun nasihat. Ada pula pantun jenaka dan pantun berkasih (pantun cinta). Pantun-pantun klasik itu umumnya terdiri dari empat baris – dua sampiran dan dua isi. Contoh pantun nasihat yang paling populer adalah sbb.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Sedangkan pantun berkasih yang cukup terkenal adalah,
Layang-layang terbang ke mega
Jatuh ke laut melayang-layang
Siapa bilang abang tak cinta
Siang malam terbayang-bayang
Di luar pantun-pantun klasik yang sudah sangat dihafal dan menjadi milik masyarakat, berkembang pula pantun-pantun baru, yang bersifat spontan, sesuai kebutuhan. Pantun semacam ini jumlahnya bisa ribuan, jika semuanya dicatat. Sebab, siapapun dapat membuat pantun dan mengucapkannya pada acara-acara tertentu, saat menjadi pembawa acara, saat memberi sambutan, saat berpidato, saat beradu pantun, ataupun saat bercengkerama dengan kawan.
Di antara pantun-pantun baru, yang bersifat spontan, dan tidak tercatat itu, ada yang disebut pantun pergaulan. Pantun gaul ini umumnya terdiri dari dua baris – satu sampiran dan satu isi – sehingga sering disebut pantun kilat atau carmina. Pantun gaul inilah yang banyak berkembang di kalangan anak muda, termasuk di luar Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misalnya, di kalangan masyarakat Betawi. “Pantun jenis ini sekarang juga banyak menjadi sarana gaul anak-anak muda perkotaan,” ujar Asrizal, sastrawan Tanjungpinang yang lama mukim di Jakarta.
Pada pantun gaul itulah sering terselip kata-kata nakal untuk menimbulkan suasana lucu dan segar, atau agar lawan bicara yang disasar tidak marah, tapi sebaliknya malah tertawa. Para pemantun yang nakal kadang-kadang juga main hantam kromo saja dalam memilih baris sampiran, asal enak diucapkan. Misalnya, “ada bapak wudelnya bodong, minta rokoknya dong!” Maksud yang sama mestinya dapat disampaikan dengan sampiran yang lebih santun, misalnya, “buah papaya buah kedondong, minta rokoknya dong!”
Uniknya, di tengah maraknya pantun gaul ala carmina, menurut Suryatati A Manan, masyarakat Tanjungpinang masih tetap mempertahankan pantun empat baris dengan sampiran yang indah dan santun, baik untuk pergaulan, pengantan perhelatan, pemanis sambutan maupun pidato politik. “Ini yang menggembirakan kami,” katanya.
Dengan tradisi seperti itu, pantun makin mantap menjadi identitas budaya Tanjungpinang. Dan, karena itulah, Suryatati, para sastrawan setempat, dan masyarakat Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kepri), makin mantap untuk menyebut daerahnya sebagai Negeri Pantun.
Berpantun di Kafe Pantun
Malam itu, di Kafe Pantun, beberapa orang tampak asyik mengobrol ditemani makanan dan minuman ringan. Ada kopi hangat yang masih mengepulkan asap. Ada the manis. Ada pula pisang dan kentang goreng. Kadang tampak ada yang tegang, sesaat kemudian mereka tertawa. “Kami sedang beradu pantun,” kata Tusiran Suseno, sastrawan Tanjungpinang, yang malam itu ikut suntuk bermain pantun di kafe yang terletak di kawasan Bintan Center.
Nama kafe itu sebenarnya Nick Nack Cafe. Tapi, karena biasa untuk nongkrong para pecinta pantun untuk beradu pantun sambil melepas penat, maka orang pun menyebutnya sebagai Kafe Pantun. Di kafe itu pula para anggota Komunitas Pantun Tanjungpinang biasa berkumpul.
Untuk dapat ikut beradu pantun gampang-gampang susah. Diperlukan latihan dan pembiasaan diri secara terus-menerus agar dapat lincah berbalas pantun. Kekayaan kosa kata, pengetahuan lingkungan, kecerdasan, dan kemampuan spontanitas, sangat diperlukan agar dapat berjaya dalam peraduan pantun (lomba berbalas pantun).
Acara peraduan pantun dapat dikemas dengan menghadirkan semacam moderator sebagai penengah. Dialah yang mengatur “jual-beli” pantun dua kelompok yang berbalas pantun. Acara dimulai dengan mempersilakan salah satu kelompok untuk “menjual” pantun. Kelompok lawan akan membalas pantun itu, dan saling berbalas seterusnya.
Di ruang pergaulan, seperti di kafe, acara berpantung bias berlangsung tanpa moderator. Siapa saja boleh mulai melempar pantun, dan yang lain bisa berebut membalasnya, sehingga acara menjadi seru dan meriah. Sebab, kenakalan dan kejenakaan dapat muncul bebas untuk membuat suasana makin segar. ( ahmadun yh )
/30 Maret 2008
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UwNbVgAAXQxU