: SEBUAH KRITIK SASTRA MARXIS TERHADAP PUISI ACEP ZAMZAM NOOR “KAU PUN TAHU”
Dian Nurahman *
http://www.sunangunungdjati.com/
Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra selalu berhubungan dengan dua hal, yaitu nilai seni dan nilai kehidupan. Hal ini diperkuat oleh Matthew Arnold, salah seorang penyair besar Inggris zaman Victoria, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang jelas antara “the literature we read and the life we lead” (dalam Reaske, 1986: 10). Hal ini mengindikasikan bahwa manusia dapat sampai pada pemahaman yang lebih besar tentang kehidupannya sendiri atau tentang realitas sosial masyarakat dengan memahami puisi. Tentu, sebagai karya tulis yang memiliki nilai artistik, pembaca juga harus dapat memahami dulu apa yang menjadikan karya tulis itu disebut sebagai puisi.
Seperti yang telah diungkapkan, sarana kebahasaan (struktur tekstual) di dalam sebuah puisi harus dipahami dulu dalam jalinan antar unsurnya, sehingga akan didapat sebuah penandaan dan pemaknaan yang padu dan menyeluruh. Dari sana kita dapat langsung bergerak pada aspek-aspek dari jalinan struktur kontekstual (termasuk di dalamnya realitas sosial-budaya, struktur politis, aspek religiusitas, dan lain-lain) yang dimediasi oleh pandangan dunia pengarang.
Konsep di atas merupakan gambaran umum sosiologi sastra dari pespektif Marxis yang selalu ingin menunjukan bahwa realitas tekstual selalu memiliki kaitan yang erat dengan realitas kontekstual. Ini pula yang ingin coba penulis tunjukkan dalam membahas salah satu puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul “Kau pun Tahu”. Dalam puisi ini, Acep mengeksplorasi kata cinta menjadi sebentuk realitas ultima yang harus dipahami dalam hubungannya dengan realitas sosial. Dengan kata lain, ada semacam transformasi makna dalam kata ‘cinta’ itu sendiri menjadi sebuah kritik sosial. Untuk lebih memperjelas pembahasan ini, penulis kutipkan sajak tersebut seperti di bawah ini.
Kau pun Tahu
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam pengembaraanku
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam setiap ucapanku
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam puisi-puisiku
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak
Tak jelas maunya apa
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam doa-doaku
Aku sembahyang di comberan
Menjalani hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang kupuja
Seperti juga para pemimpin itu –
Semuanya tak bisa dipercaya
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Di negeriku yang busuk ini
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga tertawa dan menangis
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya pada kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan
Dalam puisi di atas, terdapat lima pengulangan kata ‘cinta’ yang diawali frase ‘tak ada lagi’ sebagai bentuk penegasian sempurna. Ini tentunya menyiratkan penekanan bahwa ‘cinta’ sebagai suatu konsep abstrak dimaknai sebagai suatu fakta kongkrit yang tadinya ada dan hadir dalam realitas sosial, kini telah hilang karena berbagai masalah yang melingkupi realitas itu. Penulis kemudian menemukan empat realitas yang dikategorikan bermasalah karena hilangnya ‘cinta’: realitas alam (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam pengembaraanku—bait pertama); realitas bahasa (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam setiap ucapanku—bait kedua) dan (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam puisi-puisiku—bait ketiga); realitas keagamaan/religiusitas (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam doa-doaku—bait keempat); dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Di negeriku yang busuk ini—bait kelima). Masalah-masalah yang dihadirkan pun begitu rumit, mulai dari hilangnya keperawanan yang dimiliki alam di bait pertama, sampai pada rusaknya kehidupan bangsa di bait terakhir. Rupanya, Acep Zamzam sengaja memilih diksi ‘cinta’ yang dapat dimaknai sebagai bentuk ideologi tandingan, yang seharusnya ada dan selalu hadir dalam setiap realitas.
Dalam perspektif Marxis, hal ini menunjukan adanya hubungan yang realistis antara teks dengan konteks, karena “the best literature involves characters that have a realistic individuality while at the same time incarnating larger historical forces” (Booker, 1996: 75). Kita lihat misalnya di bait pertama, penggunaan diksi kongkrit justru memunculkan penafsiran metaforis tentang rusaknya alam: kata ‘jurang’ merupakan metafor dari kematian/kerusakan. Di bait kedua dan ketiga, kita juga di suguhi unsur metafor yang justru berasal dari diksi kongkrit, i.e. kata-kata ……./ Seperti bunyi senapan; maklumat-maklumat yang ditulis ……../ Dengan kasar, yang menunjukan bahwa ‘cinta’ (sopan-santun) dalam berbahasa sudah hilang.
Puncak transformasi makna ‘cinta’ menjadi sebuah kritik sosial dapat dilihat pada bait keempat. Ini karena penulis melihat bahwa ada relevansi yang jelas antara Acep Zamzam sebagai seorang penyair yang notabene putera seorang ulama besar dengan konsep keagamaan yang dia yakini, atau yang dalam perspektif Marxis disebut authorial ideology. Istilah ini dicetuskan oleh Eagleton sebagai “the author’s specific mode of biographical insertion: a mode of insertion overdetermined by a series of distinct factors: social class, sex, nationality, religion, and so on (Eagleton, 1985: 58). Dalam bait keempat, kita bisa melihat kritik sosial yang bernuansa relijius—yang ditransformasi dari authorial ideology-nya Acep Zamzam—bahwa ternyata hilangnya ‘cinta’ (toleransi dan kedamaian) membuat agama sudah kehilangan arah, karena tidak ada lagi keyakinan dan teladan yang dapat diikuti: Aku sembahyang di comberan/ Menjalani hidup tanpa keyakinan ………. Seperti juga pemimpin-pemimpin itu/ Semuanya tak bisa dipercaya.
Pada bait kelima, makna ‘cinta’ kemudian ditransformasikan menjadi prinsip politik yang luhur (demokrasi, kejujuran). Namun, keluhuran ini sudah terkikis habis karena kejujuran sudah tidak menjadi dasar murni politik: Pidato dan kentut sulit dibedakan ……., sehingga yang muncul kemudian adalah para badut politik yang ingin disebut pahlawan, padahal mereka tertidur lelap dalam kebusukan mereka sendiri. Bait inilah yang kemudian dapat disebut sebagai antiklimaks; sebuah proses transformasi makna ‘cinta’ melalui frase ‘tak ada lagi cinta’, yang semuanya berujung pada makna kehancuran dan kerusakan realitas sosial. Dilihat dari perspektif Marxis, di sini sekali lagi Acep Zamzam mencoba menghadirkan ‘cinta’ sebagai ‘ideologi’ yang menandingi ideologi bangsa yang sudah carut marut. Eagleton menyatakan bahwa “ideology signifies the imaginary ways in which men experience the real world, which is, of course, the kind of experience literature gives us too—what it feels like to live in particular condition” (Egleton, 1976: 18). Dalam hal ini, puisi Acep Zamzam di atas layak disebut puisi ideologis, yang menghadirkan wacana dan makna kata ‘cinta’ sebagai sebuah ideologi untuk mengkritik realitas sosial yang ada. Dan untuk konteks sekarang, Indonesia memang sudah kehilangan makna kata ‘cinta’ yang sebenar-benarnya.
*) Dian Nurrachman, Dosen Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Dijumput dari: http://www.sunangunungdjati.com/blog/?p=10033