Mandelstam

Hasif Amini
Kompas, 02 Juli 2006

PENYAIR mati meninggalkan puisi. Tetapi akhir hayat Osip Mandelstam adalah juga semacam puisi, yang niscaya tak pernah diduga atau diangankan oleh si penyair sendiri: muram, berat, berlarat-larat. Ia mengawali kepenyairannya dengan sajak-sajak pendek yang merdu dan berwarna-warni, rangkaian imaji dari seorang pemuda yang terpesona oleh kisah-kisah dan perjalanan jauh: Romawi, Byzantium, Mesir, Yunani…. Ia mati di usia 47, setelah sakit-sakitan dan setengah gila, dalam pembuangan di kamp Gulag Siberia, dan dimakamkan di sebuah kuburan massal. Sajak-sajaknya tak ikut mati, dan meneruskan perjalanan jauh ke pelbagai penjuru dunia.

Lahir di tengah sebuah keluarga Yahudi diaspora di Warsawa, Polandia, pada tahun 1891, Osip Emilievich Mandelstam tumbuh mula-mula di Pavlovsk dan kemudian St Petersburg, Rusia. Pada usia 16 ia merantau ke Paris dan belajar sastra di Universitas Sorbonne. Setahun kemudian ia pindah ke Jerman dan mengikuti kuliah filsafat di Universitas Heidelberg. Ini pun hanya bertahan setahun, hingga 1910. Ia lalu kembali ke Rusia, dan selama 6 tahun berikutnya menekuni sejarah dan filologi di Universitas St Petersburg. Ia tak pernah mendapat gelar atau ijazah.

Di Paris, Mandelstam berkenalan dengan karya-karya kaum simbolis dan mulai menulis sajaknya sendiri, yang ia siarkan di sebuah jurnal bernama Apollon. Sekembalinya di St Petersburg ia bergabung dengan Nikolai Gumiliev dan Anna Akhmatova dalam “Gilda Penyair”. Mereka, lewat gerakan akmeisme (akme, diambil dari bahasa Yunani, berarti “puncak”), menyuarakan pentingnya bahasa yang jernih dan sederhana dalam puisi. Puisi bukanlah pameran sengkarut imaji atau sulapan bunyi, melainkan rangkaian sari bening kata yang disuling dari dunia sehari-hari—demikian kira-kira seruan mereka.

Baru pada tahun 1913 terbit kumpulan sajaknya yang pertama, Batu. Dalam kumpulan itu tampaklah Mandelstam sebagai seorang penyair yang baru bergerak dari rasa terpesona akan gelora simbolisme menuju puncak ketenangan akmeisme. Ada kerapian dan kejernihan di sana, tetapi larik-lariknya yang merdu kerap sarat mengandung bayangan makna yang berkelebatan. Puisinya sering penuh alusi dari pelbagai zaman dan negeri. Homeros, Safo, Ovid, Virgil, Dante, Villon, hingga Pushkin dan Lermontov—mereka hadir dalam selubung, dalam topeng bernama Mandelstam. Di kemudian hari ia merumuskan akmeisme sebagai “sebuah nostalgia akan belantara budaya dunia”.

Kumpulan sajaknya yang kedua, Tristia (1922), lebih jelas menunjukkan kecenderungan eklektik Mandelstam yang berpadu dengan semangat melakukan percobaan. Dalam metrum heksameter yang lazim dalam puisi Rusia, ia mencoba memasukkan pola-pola rima yang tak lazim. Di kali lain ia mencoba menggunakan sajak bebas, sambil terus menguji berapa banyak imaji dapat dipadatkan dalam larik-larik puisi. Di antara karya-karya kaum akmeis, agaknya memang puisi Mandelstam yang memiliki tekstur paling kompleks: sensibilitas klasik yang bertemu dengan gejolak eksperimental, di tengah latar yang tak menentu.

Memang ada unsur tak menentu di latar penciptaan itu. Dan dalam riwayat Mandelstam, ketakmenentuan itu datang dari politik represif yang menguasai negerinya di masa itu. Nikolai Gumiliev mati di depan regu tembak pada tahun 1921. Antara tahun 1926 hingga 1930 Mandelstam berdiam diri, sama sekali tak menulis puisi. Oleh sejumlah klik penulis radikal ia dituduh sebagai “orang pelarian di dalam negeri”. Persekusi terus berlanjut hingga ia bersama istrinya, Nadezhda Yakovlevna, mesti mengungsi selama 8 bulan di Armenia.

Sepulang dari Armenia, Mandelstam mulai menggubah puisi lagi. Kini ia menulis dalam larik-larik ringkas, lugas, bernas, seperti epigram. Sebuah sajaknya, bertitimangsa November 1933 dan belakangan dikenal sebagai “Epigram Stalin”, yang ia bacakan di hadapan sejumlah temannya (dan satu orang penyadap, ternyata), membuat ia ditangkap pada tanggal 13 Mei 1934—yang pertama di antara serangkaian penangkapan dan penyiksaan yang mengharu biru hidupnya hingga akhir. Dengan citraan yang nyaris sureal, sajak itu menggambarkan “orang gunung di Kremlin” dengan “sepasang kecoa ketawa di atas bibirnya” dan “jemari sepuluh ulat gemuk”, dikitari oleh “tuan-tuan berleher ayam”. Ia menyimpan perintah bagai mengulum buah beri di lidahnya. Di tengah kegilaan demikian, tulis Mandelstam, Hidup kita tak terasa lagi memijak bumi.

Dijumput dari: http://hasifamini.blogspot.com/2008/09/mandelstam.html

Bahasa »