Merapi: Daya hidup, Daya Kreasi, dan Energi Kreatif

R Toto Sugiharto
http://www.thewindowofyogyakarta.com/

Sementara itu, sekarang ini warga yang mengalami akibat langsung dari erupsi Merapi masih dalam proses recovery pascaerupsi. Artinya, masyarakat di Provinsi Jateng dan khususnya Provinsi DIY masih dalam masa penyembuhanduka lara. Namun, belum lama berselang, masyarakat Provinsi DIY kembali didera “huru hara” yang memasuki ranah politis. Ya, apalagi kalau bukan persoalan status keistimewaan Yogyakarta. Sehingga, muncul penafsiran makna secara mistis, bahwa ancaman sosok gaib terhadap Keraton Yogyakarta terbukti adanya. Yaitu, melalui pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memicu kontroversial, perihal penghapusan sistem monarkhi dalam negara demokrasi.

Dalam tafsir mistisnya: sosok gaib itu seakan-akan memberikan firasat perihal akan datangnya upaya politis negara (Presiden SBY sebagai penguasa, bukan pemimpin – RTS) terhadap eksistensi Keraton Yogyakarta. Atau, dapat dikategorikan sebagai tanda-tanda perihal akan terjadinya peristiwa alam atau soaial. Sebaliknya, peristiwa alam yang telah terjadi menjadi tanda-tanda kemungkinan keterkaitannya dengan tata sosial dan perubahan peradaban.

Keberadaan Gunung merapi menurut Prof Dr Suminto A Sayuti, memang potensial untuk ditafsirkan dari berbagai perspektif. Mulai dari mitologis, sosio-antropologis, sampai geologis. Bahkan, yang mitologis pun sebenarnya bersifat logis. Karena, ada unsur yang dikeramatkan atau ditabukan maka masyarakat mengemasnya secara simbolis.

“Bicara Merapi bisa dari banyak sisi. Dalam Al Quran banyak ayat tentang gunung. Musa menerima Wahyu juga di gunung Sinai. Gunung sebagai ayat Tuhan yang harus dibaca. Tak ada kleniknya. Merapi bisa dipahami secara geologis dan diinterpretasi secara mitologis. Semua bisa terintegrasi, “tutur guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Konkretnya Merapi sebagai sumber kehidupan. Baik dalam konteks kultur pertanian dan sosial budaya maupun pengetahuan empiris-ilmiah. Bukan sebaliknya, sebagai sumber kematian dan bencana. Api adalah bagian dari unsur hidup, di samping air, tanah, dan udara. Bila salah satu unsur hidup tidak lengkap maka kehidupan menjadi tidak seimbang. Karenanya, Merapi tidak akan mati. Selamanya seperti itu. Dalam keadaan seperti itu, maka manusia yang hidup di lereng Merapi harus mampu beradaptasi dengan sabar, iklas dan bersyukur.

“Bisa dilihat kelak sepuluh tahun setelah erupsi. Pasti keadaan sekitar gemah ripah loh jinawi. Selama itu pula manusia dituntut bekerja. Jangan mengeluh. Hidup membalik tanah, kata Rendra dalam Sajak Orang Tua di Bawah Pohon, “Ucap mantan Dekan FBSUNY yang juga penyair.

Secara kebetulan, lanjut Suminto, ia baru saja memberi kata pengantar manuskrip antologi puisi “Merapi Gugat.” Ada 13 penyair memberikan kesaksian mereka pada Merapi dan umumnya mengenai bencana dan aspek kemanusiaan. Salah satu puisi ditulis Boedi Ismanto SA sebagai kesaksian penyair terhadap Merapi, “di barak pengungsian, relawan membagi kebutuhan/sementara Merapi, tengah diselesaikan Tuhan”. Demikian pula Sutiman Eka Ardana ataupun Rini Intama, Nia Samsihono, Nunung Susanti, dan penyair lainnya, banyak berkisah tentang Merapi suasana hidup penuh ironi maupun ketragisan. Mereka memaknai hidup sebagai proses matamorfosis.

“Mereka sebagai penyair melihat Merapi dari berbagai sisi dan memperkaya makna. Bencana juga untuk proses keseimbangan. Faktor pemicunya mungkin akibat ulah manusia yang serakah,” ujar Sumanto yang bersama keluarganya sempat mengungsi selama lima pekan akibat kawasan tempat tingganya di Balong, Pakembinangun, Pakem, Sleman yang berjarak 12 km dari puncak Merapi itu mengalami hujan kerikil dan abu Vulkanik.

Menurut Suminto, bagi seniman, Merapi menjadi pusat energi kreatif. Ia mengingat sejumlah seniman dan budayawan yang kerap mendaki Merapi. Almarhum penyair Linus Suryadi AG yang juga suka mandi di sendang di lereng Merapi. Penyair Munawar Syamsudin juga suka mengendarai sepeda motor sendirian dan selalu menyempatkan mampir di rumah Suminto. Demikian pula penyair kawakan Sitor Situmorang juga pernah ke Merapi meski tidak pernah mampir ke rumah Suminto. Suminto ingat pada sajak Sitor tentang Merapi, berjudul Mendaki Puncak Merapi. Dan, seorang lagi, “almarhum” Ragil Suwarno Pragolapati juga suka mendaki hingga ke Plawangan.

Maka, muncul puisi, prosa, lukisan tentang atau yang terinspirasi dari eksistensi Merapi. Sebuah karya tari Gelung Gulung karya Raskito dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya yang menempuh program S-2 di ISI Surakarta belum lama ini juga terilhami dari keberadaan Merapi. Dalam khazanah simbolik, Merapi tentu banyak memberi inspirasi danaenegi kreatif. Sedangkan dalam kenyataannya, terjadi eksploitasi besar-besaran di sekeliling Merapi. Walhasil, penduduk setempat terganggu arus kapitalisasi yang mencengkeram mereka. Pasar tradisional digusur, bisnis mesum merebak, area sabuk hijau dikuasai konglomerat. Bahkan, mata air pun dikuasai sepihak yang bermodalbesar hingga mengalir ke pos-pos sumber bisnis di pinggiran selatan, daerah perbatasan Sleman Yogyakarta. Akibatnya bila kemarau, sumur-sumur di Pakem kering. Warga di kawasan sekitar tidak dapat menikmati. Timbul kesenjangan ekonomi dan soaial. Akibatnya menimbulkan atmosfer kemarahan.

Novelis Budi Sardjono pun menempatkan Merapi sebagaisumber inspirasi bagi proses kreatif penulis. Salah satu novelnya, Kabut dan Mimpi (2005) juga mengambil setting di kawasan lereng Merapi. Kisahnya menyindir rezim Orba yang berkuasa dan ditumbangkan rakyat. Inspirasinya dari hasil pengamatannya di kawasan Kali Boyong yang pernah krisis material vulkanik, pasir dan batu habis dikeruk, tapi penambang nekat mengeruk lahan hingga ke tebing-tebing perbukitan.

Menurut novelis yang juga populer dengan nama pena Agnes Yani Sardjono ini, manusia seharusnya mengambil jarak terhadap Merapi. Artinya, membatasi dalam mengelola sumber daya alamnya, bukan dengan cara kolewat eksploitatif. Tapi yang terjadi, manusia justru semakin merangsek hendak menguasai Merapi. Sungai-sungai di sekitar lereng Merapi mestinya juga diberi hak hidup tapi malah dikebiri, dikeruk pasir dan batunya hingga tebing-tebingnya yang terjal sehingga berakibat tandus di sekeliling perbukitan. Lalu, pembangunan rumah merangsek kawasan wedhi kengser yang rawan dari bencana banjir. Secara akumulatif akhirnya terjadi penuntutan balik dari Merapi atas haknya yang dirampas manusia.

Secara supranatural misalnya, ada kepercayaan adanya Nyai Gadhung Mlati yang menjaga hutan. Orang yang tidak percaya akan nekat membabati pohon dan menggunduli hutan. Hak Merapi dirampas manusia. Akhirnya, terjadi ketidakseimbangan alam. Ketika terjadi erupsi maka berdampak pada bencana yang meluas.

“Merapi sebagai gunung suci semakin dieksploitasi untuk kepentingan bisnis dengan mengabaikan etika, menjamurnya bisnis penginapan yang permisif terhadap praktik mesum. Situasi itu jelas menganggu karena itu erupsi sebagai proses pemberdihan energi kotor disekitarnya,” ucapnya.

Saat ini, lanjut Budi, masyarakat membutuhkan sosok kharismatis atau tokoh dari pemerintahan yang mampu menjelaskan kemungkinan Merapi tengah merenovasi lingkungannya. Konsekuensinya, ada bagian alam yang dibongkar. Sehingga, bagi mereka yang keras kepala akan dilindas. Masyarakat harus percaya pada hasil pemetaan tentang daerah bahaya dan harus paham sejarah masa lalu, bagaimana Merapi mampu menenggelamkan candi-candi peninggalan Mataram kuno dan paham siklus erupsi Merapi berikut dampaknya yang berakibat fatal. Kesadaran tersebut bagian darikepedulian terhadap alam.

“kalau cerita istri Ponimin bisa tidak dipercaya. Memang ada daerah gaib tapi bila dilebih-lebihkan seperti cerita istri Ponimin menjadi hiperbolik. Jadi ngawur. Ramalan Permadi yang mengatakan efek erupsi bisa menjangkau radius 60 kilometer juga ngawur meskipun dia mengaku menerima wisik, bisikan gaib. Masalahnya, kemarin orang-orang meremehkan isyarat alam. Padahal, sudah ada isyarat lewat kera-kera yang turundari puncak Merapi. Hewan lebih peka terhadap alam seharusnya bisa memahami logika alam tersebut. Lalu, status Merapi dinaikkan (oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian – RTS), sinkron dengan tanda-tanda alam,” Urai Budi.

Kawasan Perkebunan dan Industri Kreatif

Masyarakat di lereng lingkar Merapi masih menghadapi banyak tantangan. Penanganan recovery pascaerupsi membutuhkan tenaga dan biaya besar serta waktu lama. Namun yang lebih penting lagi adalah kesediaan mereka untuk berkobar. Yaitu, dengan cara mensterilisasikan kawasan beradius 10 km dari puncak Merapi dari permukiman manusia. Sebaliknya, kawasan tersebut sebaiknya dijadikan daerah perkebunan dan wisata gunung.

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Drs. Harimurti Subanar, MM menguraikan, tata kelola kawasan lereng Merapi idealnya tetap berpatokan pada prinsip kearifan lokal, bahwa eksistensi Merapi sebagai kawasan “Keraton” pula. Berikutnya, untuk tata kelola kawasan sungai, hendaknya disediakan pula area steril dengan ukuran lebar 72 meter dari garis tengahnya masing-masing di kiri dan kanan sungai. Sehingga, sepanjang sungai selebar 154 meter dilarang dieksploitasi. Untuk kawasan yang sudah steril dari hunian manusia itu selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai kawasan produktif bagi perkebunan.

Eksistensi Merapi dengan Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan, lanjut Harimurti yang juga Ketua Paguyuban Kawula Ingkang Ngayogyakarta Hadiningrat ini, merupakan poros imajiner yang mengutuhkan makna keberadaan jiwa Jawa. Artinya Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari ketiga unsur pembangunan simbol sosio-kultural itu. Ketiganya saling menguatkan dengan peran Keraton Yogyakarta sebagai pusat pemaknaannya.

“Seharusnya yang memimpin tata kelola merapi justru Keraton Yogyakarta. Tiga komponen di Yogyakarta (Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan –RTS) harus dikembalikan eksistensinya. Dalam rangka tatanan kehidupan utama, keselamatan, kepribadiaan manusia, makhluk hidup kesejahteraan masyarakat setempat, hubungan soaial antar manusia di lereng Merapi, dan hubungan dengan alam semesta,” Urai Harimurti.

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan dapat direalisasikan melalui budi daya lahan yang disterilisasikan dari hunian manusia. Di lahan tersebut dapat ditanami aneka macam bibit buah-buahan, seperti jambu belimbing, salak mangga, ataupun aneka macam bunga. Selain itu, di kawasan bawahnya dapat oula dikembangkan industri pengelolahan buah-buahan dan industri kreatif berupa pos-pos pembuatan cenderamata terkait Merapi seperti gantungan kunci t’shirt, tapi, asesoris pakaian, compact disk dokumenter, dan semacamnya berikut mitos-mitosnya serta manajemen wisata gunung.

Sedangkan untuk menyikapi bencana sebenarnya sudah ada Sopnya (Standart Operational Procedure). Sehingga, yang dibutuhkan adalah kesiapan dan kewaspadaan masyarakat dalam menyikapi keberadaan Merapi. Secara agregat dan masif, budi daya lahan steril di lereng Merapi dapat menunjang kehidupan masyarakat setempat. Sedangkan secara natural, kawasan lereng Merapi dari radius kurang dari 10 km tentu bersuhu lebih dingin yang bisa berakibat kurang kondusif untuk dihuni manusia. Selain itu, kawasan di puncak dan lereng Merapi yang steril dari hunian manusia dapat dimanfaatkan bagi kehidupan satwa yang akan “berjasa” memberikan tanda-tanda alam terkait siklus erupsi Merapi.

“Ini tantanga pemerintah untuk memikirkan masa depan warganya. Tapi, prinsipnya bagaimana mengajak masyarakat menjadi lebih kreatif. Pertimbangan ekonomi untuk rakyat harus diwujudkan dengan kesejahteraan tapi dengan kepribadian yang selaras dengan alam semesta. Memang butuh cost of capital yang besar. Mungkin dengan bantuan kredit untuk rakyat dari bank bisa memperingan.”

Pada akhirnya semua dikembalikan kepada masyarakat di lereng Merapi. Diakui pula oleh Budi Sardjono, memang dilematis untuk penanganan korban bencana. Di situ sisi daerah lereng Merapi yang dinyatakan sebagai daerah berbahaya sudah semakin luas, tapi menetapkan kebijakkan bedol desa juga membutuhkan alasan kuat. Minimal didukung rekomendasi ilmiah dari BPPTK Yogyakarta. Di sisi lain dampak erupsi setelah sekian tahun kemudian justru menjadikan daerah di lereng Merapi lebih subur.

Rahim, Rumah dan Kafan

Tiga perspektif tersendiri dalam mendudukkan posisi Gunung Merapi dalam konstelasi kultural adalah sebagai rahim, rumah, dan kafan. Ketiga perspektif tersebut memang merupakan rumusan Elizabeth D. Inandiak di dalam buku berjudul Merapi Omahku (Babad Atas, Desember 2010) dengan ilustrasi dari perupa kondang Heri Dono. Jika menengok pada perspektif ketiga hal tersebut, maka secara kultural, masyarakat sekitar Merapi memang menganggap Merapi sebagai sebuah kampung halaman. Bisa saja kemudian ditafsirkan, ancaman apa pun yang mengelilingi kampung halamannya tentu akan dihadapi.

Dalam konteks itulah, maka yang terpenting kemudian adalah bagaimana kembali menumbuhkan daya hidup dan daya kreasi di tengah situasi recovery secara apa pun. Artinya, tidak hanya dalam sudut pandang yang melulu dengan perspektif geografis atau geologis, dalam sudut pandang daya hidup dan daya kreasi pun pemaknaan atas Merapi kini menjadi perlu ditimbang ulang. Bagaimana pun, kampung halaman adalah sebuah “jiwa”, yang sesungguhnya secara substantif tak dapat dipisahkan dari “raga” riilnya. Karena antara “jiwa” dan “raga” itu akan terbangun sinergi daya hidup dan daya kreasi yang luar biasa inovatifnya. Jika satu terlepas, lantas bagaimana mau berkarya nyata dalam kehidupan keseharian dengan lebih baik? Menjadi peladang yang inovasitif, menjadi petani yang inovatif, menjadi perajin yang inovatif dan sebagainya. Oleh sebab itulah, mengembalikan keseimbangan antara “jiwa” dan “raga” itu kini pastilah menjadi agenda yang tak kalah penting diperhitungkan solusinya.

R. Toto Sugiharto, jurnalis Freelance pemerhati budaya, tinggal di Yogyakarta @copyright ©2009 Taman Budaya Yogyakarta.

Bahasa »