Emha Ainun Nadjib
__Harian SURYA/2004
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatupun yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. ***
(PadhangmBulanNetDok)
Dijumput dari: http://sudisman.blogspot.com/2009/11/peringatan-dan-amarah.html