Hasif Amini
Kompas, 26 Maret 2006
Ia barangkali bisa disebut penyair modern paling serius. ”Serius” di sini tak sekadar mengacu pada ketinggian mutu karya, tetapi juga merujuk pada kesungguhan diri dan karyanya dalam menghadapi dunia. Nyaris tak ada ironi atau sikap bermain-main dalam sajaknya. Yang tergelar dari kata-katanya adalah sebuah alam batin yang terus mencari kesejatian di tengah dunia benda yang tampak menyimpan misteri dan kedahsyatan. Potret-potret dirinya, yang hampir tak pernah memperlihatkan wajah tersenyum atau tertawa, adalah sebuah pesan lain tentang sikap tak main-main itu.
Rainer Maria Rilke, yang lahir di Praha dengan nama René Karl Wilhelm Johann Josef Rilke pada tahun 1875 itu, sejak awal telah didera oleh pertanyaan tentang siapa gerangan dirinya. Orangtuanya adalah sepasang migran asal Austria di tanah Ceko. Ibunya memanggil Rainer kecil dengan nama ”Sophia”, dan mengenakan padanya pakaian perempuan, untuk melipur rasa kehilangan akan seorang anak perempuannya yang mati di usia bayi. Di kemudian hari Rilke menjadi seorang penyair pengembara yang hinggap dari satu kota ke kota lain di Eropa, senantiasa menyiapkan diri bagi hadirnya puisi yang akan ia terakan ke atas lembar-lembar catatannya.
Mula-mula ia menulis puisi lirik dalam gaya romantik Heinrich Heine. Buku pertamanya, Hidup dan Nyanyian (1894), terbit ketika ia berusia 19. Perjalanan ke Rusia pada tahun 1899 dan 1900 bersama Lou Andreas-Salomé, kekasihnya yang 14 tahun lebih tua darinya, menerbitkan ilham religius yang terekam dalam kumpulan prosa Kisah-kisah tentang Tuhan (1904) dan kumpulan puisi Buku Saat (1905). Padang tundra yang menghampar jauh, gaung genta gereja di udara dingin Moskwa, sebuah pertemuan dengan Leo Tolstoy, agaknya membuka jalan pencarian ke arah ufuk rohani yang jauh dari hiruk pikuk dunia keseharian—sebuah tema yang kelak sering ia ulang dalam beragam variasinya.
Namun, ada semacam tegangan atau bahkan paradoks dalam kepenyairan Rilke. Ia berusaha menemukan sebentuk kesejatian di luar dunia penampakan, dan karena itu ia seakan terbelah antara menatap atau memalingkan muka dari dunia. Demikianlah, dalam dua jilid Sajak-sajak Baru (1907-1908) ia melahirkan sajak-sajak penuh pemerian hidup tentang pelbagai obyek yang ditemuinya: macan kumbang, kijang, angsa, penari flamenco, orang buta, nisan, …. Dinggedicht, atau ”puisi benda”—demikianlah ia menyebut jenis sajak terbarunya itu. Sebuah baitnya yang termasyhur berasal dari kurun ini, dari sajak ”Torso Purba Apollo”: Atau batu ini akan tampak cedera/ di bawah liuk pundak tembus cahaya/ dan tak akan berkilau bagai bulu hewan buas:// tak akan berpendar dari semua sisinya/ bagai sebutir bintang: sebab di sini tak ada tempat/ yang tak melihatmu. Kau harus mengubah hidupmu.
Sejauh apa pun ia coba mencari ”pencerahan” batiniah di kedalaman puisi, dunia rupa begitu kuat meresapkan pengaruhnya dalam karya Rilke. Lukisan Paul Cézanne atau patung Auguste Rodin begitu memukaunya; tetapi tampaknya ia lebih mengagumi kerja keras, ketekunan, dan konsentrasi panjang kedua seniman itu dalam menggarap renik pelik karya mereka. Ia tak percaya pada inspirasi sesaat; ia seakan terus bergerak sekaligus menunggu, dalam gelisah dan sabar, tumbuhnya puisi dalam dirinya. Tetapi mungkin ada semacam paradoks juga di sini. Elegi Duino (1923)—karya utamanya yang terdiri dari 10 sajak bebas berangkai yang merenungi kefanaan dan kebakaan, yang wadag dan yang gaib, teror, cinta, dan keindahan—membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk menyelesaikannya, dengan interval kosong yang panjang. Sementara bagian pertama Soneta untuk Orfeus (1923), yang seluruhnya berjumlah 55 sajak, ia gubah di tengah jeda penulisan sejumlah elegi (Duino) terakhir, dan rampung hanya dalam waktu beberapa hari.
Atau, barangkali, penantian bertahun-tahun adalah bentuk luar sebuah kerja keras juga.
Dijumput dari: http://hasifamini.blogspot.com/2008/09/rilke.html