TADARUS JARAN GOYANG
membuka sebuah kitab dan merapalnya
dalam tanda-tanda
pada jalan gaib yang diselimuti kabut-kabut waktu
bermula dari bisikan hasrat
dalam satu ruang keramat
kau tiupkan ruhmu
pada hati yang kemarin beku
di muara sepi dan sunyi
sajakmu
maka seperti kutub terbakar matahari
aku menghilir nafas ke sungaimu
dan menenggelamkan segala keakuanku:
di mataku hanya ada kau dan kata-katamu
…
Lamongan, Maret 2012
PERCIK BATU
lupakan saja kata-kata yang aku bisikkan
di daun-daun hatimu kemarin,
kata-kata yang kuukir dengan api
dari percikan batu yang kau lempar padaku
pagi itu
maka jangan biarkan panas membakar
menjadikan tubuhmu hangus dalam abu
adlah ini kesempurnaan
yang tak dapat aku abaikan di atas tanah,
berjalan bersama bara
dalam jantung tak berarah
maka sabar adalah jawaban
dan perhitungan jadi perhatian ucapan:
“air yang kau tumpahkan di rahim istrimu
tak kan jauh dari alir sungaimu”
Lamongan, Pebruari 2012
MEMUNGUT SAJAK DALAM GELOMBANG
pungutlah sajak-sajakku
di tengah samudra
dalam diam gelombang
dalam bening air yang tak asin
inilah hujan yang dijanjikan
membasahgemburkan tanahmu
dan memberi nafas
pada jentik-jentik di dasar sungaimu
yang sempat kering oleh panas waktu
namun, jangan biarkan rahimnya menjadi bah
oleh sebutir picis yang erat tergenggam di tanganmu
sebab wajahnya hanya sebatas jalan yang tak harus ditinggalkan
maka melangkah pada tiap ruasnya
adalah seberkas keniscayaan
seperti darah yang membawa hawa
dalam panas wajah
Lamongan, Pebruari 2012
DI SISI GEDUNG LAMONGANKU
malam yang berselimut mendung waktu itu
kini tak lagi menampakkan wajahnya
hanya sesabit bulan tertanggal di mataku
dalam sunyi nyaris membatu
tak ada lambaian paling puitis
yang dapat aku tulis di lembar hatiku
ketimbang lenggang jari penjual nasi boran
yang bercerita tentang lapar, perjuangan, dan pengorbanan
sepanjang malam
sejauh batas trotoar
kau berjajar di ambang penantian
dalam sepi, dalam sunyi
dalam cerita buah hati
ada yang terurai dari kisahmu;
lelap dan usiamu
masih setia di ujung waktu
di sisi gedung lamonganku
…?
Lamongan, Oktober 2011
GEGER PINANGAN
: Laras-Liris
dari bisikan ayam jago
yang mengelana langkahmu
sampai pada tanah singgah
hingga terukir sejarah
tentang tradisi
tentang lelaki dan seorang putri
dalam ikatan suci
ada persembahan mengalir dalam nadi
membiarkan hati larut terpasung mimpi;
andansari merajut janji
setapak demi setapak membawa sembah sendiri,
wirosobo sebagai fajar meniti
seperti sepi ditelan petir
lamongan-kediri terendam banjir;
luka, darah, dan wibawah
jadi tumbal prahara yuda
kala janji tercabik lati
tak dipuji
Lamongan, Oktober 2011
KISAH WAKTU
: Maskarebet
sigro milir
sang getek sinonggo bajol
sekawandoso kang nyanggeni
ngarso tuwin ing bungkur*
semilir angin dan ricik sungai mengiring tembangmu
membawa kisah waktu
tentang luka, tanah, dan ketenangan jiwa
ada yang tertahan;
batinmu
dalam sengketa
dalam perang buaya
di atas rakit
dari maghrib hingga masyrik
kau memasung riuh air
jiwamu
menyujudkan musuh
sebagai isyarah laku
dan kau temukan tanah istirahmu
di muara waktu;
kusapa dalam pahatan batu
pringgoboyo dan nisanmu
Lamongan, Oktober 2011
SYAHADAH
bagaimana aku
bisa membagi-bagikan syahwatku
selain kepadamu
dan bagaimana caranya, kau
sanggup ajarkan aku
merapal syahadat cinta untukmu;
hanya namamu
dan aku
harus dengan apa aku
merayumu, agar muhammad
kau lahirkan kembali dari rahim hatiku;
shalatku
zakatku
puasaku
segalanya telah kupersembahkan untukmu
sementara kau hanya melempar senyum sinis
di wajahku
membiarkan luka rindu
menghimpit batinku
dadaku sesak
hanya untaian nafas terpenggal
dalam gerimis tangisku yang masih tersisa,
ingin rasanya kuteguk secawan demi secawan air mataku
biar tak ada lagi duka di bening telagaku
tak ada lagi kegaiban mataku
dan aku terbangun
dari malam-malam jahilku
setelah sekian lama meringkuk
dalam selimut tahmidku
samar aku melihat jari-jari manismu
perlahan memainkan hasrat
menyalakan lilin di tanah gelap
aku pun bangkit
dari sajadah kumalku
merangkak, menguntit cahayamu
berkata dalam kealpaan nyaris membatu;
jangankan shalat, syahadat pun aku tak mampu
bagaimana caranya, kau
sanggup ajarkan aku
merapal syahadat cinta untukmu;
hanya namamu
dan aku
Lamongan, Ramadhan 2009
__________________
Imamuddin SA, lahir di Kendalkemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia. Bertepatan pada tanggal 13 Maret 1986. Penulis bernama lengkap Imam Syaiful Aziz. Saat ini ia menjadi pengajar di SMA NU 1 Model, PP. Tanwirul Qulub Sungelebak dan MA. Matholi’ul Anwar Simo. Bergiat dalam Komunitas Sastra Teater Lamongan (Kostela), Forum Sastra Lamongan, Komunitas Teater Jati, dan Pustaka Pujangga. Karya-karyanya sempat terpublikasi di beberapa media, di antaranya: Majalah Gelanggang Unisda Lamongan, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dan Majalah Indupati. Terantologi dalam antologi bersama Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya Dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, dan Sehelai Waktu. Sempat menjadi juara ke-3 lomba menulis esai sastra tingkat nasional tahun 2010. Kini tinggal di RT 005, RW 003, Ds. Balun, Kec. Turi, Kab. Lamongan. Phone; 085731999259. Email: imamsyaifulaziz@gmail.com