Mathori A Elwa
http://teraspolitik.com/
Pada tulisan saya sebelumnya, “Tentang Seniman Miskin”, Kamis (8/3/2012), saya menjelaskan duduk perkara hubungan antara seniman dengan kekayaan (material) atau sebutlah itu penghasilan uang.
Ada yang sepakat, ada yang tidak. Hal itu sudah saya sadari dan saya pahami sebelumnya. Bagi saya yang terpenting adalah menyampaikan pendapat itu secara obyektif. Adapun jika ada yang tersinggung, saya sekali lagi, maaf lahir-batin.
Apa yang saya sampaikan semata karena pengetahuan yang saya miliki dan tentu kebutuhan untuk menyatakan pendapat di ruang publik secara bebas.
Sekarang saya tertarik bicara tentang seniman kaya. Maksudnya,membuka wacana hubungan antara seniman dengan kekayaan. Perihal ada seniman yang kaya (materi), itu jelas fakta. Adapun yang kemarin saya ungkap sebagai seniman miskin juga banyak.
Seniman kaya, sebagaimana manusia pada umumnya, biasanya dikondisikan oleh beberapa sebab. Pertama, harta warisan. Kedua, karena mampu mengomodifikasikan hasil karyanya yang idealis itu kearah komersialisasi atau karena karyanya ditakdirkan memiliki pulung komersial. Ketiga, karena sang seniman itu punya sambilan usaha, artinya sebagai seniman sekaligus sebagai wirausahawan.
Perihal harta warisan, jelas tidak menarik dikaji mengingat itu mudah terjadi pada siapapun. Tetapi padahal yang kedua danketiga, agaknya memang patut dibahas.
Karya seni, entah lukisan, sastra, atau yang lain,biasanya bertahan pada aspek independensi atau kemurnian. Atau bahasa gaul anak aktivis, sebagai karya idealis. Artinya karya itupada proses penciptaannya tidak diniati atau diseting sebagai karya komersial.
Sekalipun mutunya setinggi langit kadang tak bernilai secara materi. Tidak bernilainya karya itu secara materi bisa disebabkan beberapa hal; di antaranya tidak ada konsumen yang tertarik atau karena bisa jadi sang seniman tidak mahir menjual kepada segmen yang membutuhkannya. Tinggal tunggu waktu. Ironisnya, karya demikian seringkali menemukan momentum komersialnya justru setelah sang seniman pergi meninggalkan kadonyan menuju kehidupan spiritual yang abadi yang secara tradisi kita sebut “mati”.
Adapun seniman yang sering meraup materi dari hasil kreasi idealisnya biasanya peka bermarket-ria, atau mahir berhubungan denganjejaring “konsumen seni” sehingga produk idealismenya menghasilkan materi.
Perihal yang ketiga ialah karena sang seniman mahir berwirausaha atau pandai menjalin hubungan dengan wirausahawan, minimal EO atau person/lembaga yang cakap menraup untung dari karya kreatif. Seniman seperti ini biasanya menjaga karyanya sebagai bentuk pencapaian kepuasaan batin murni.
Karena ia sadar, bertahan pada idealism seperti ini tidak memungkinkan untuk hidup makmur dengan hasil karyanya, ia membagi waktu dan pikiran untuk mencari kebutuhan materinya sebagai wirausahawan atau menjalin silaturahim dengan individu atau lembaga yang memiliki potensi market. Dengan kata lain ia memerankan dirinya menjadi setengah seniman, setengah wirausahawan.
Mujurnya yang bisa doble gardan seperti ini, terkadang karya seninya bisa terjual sejalan ia melakukan kegiatan bisnisnya. Kedua hal tersebut merupakan pembagian kategori. Pastinya Anda tertarik memilih salahsatunya bukan?
Bagaimana caranya?
Itu yang mudah diwicarakan, tetapi sulit setengah mati dilakukan. Tak bisa direncanakan seketika, melainkan butuh proses panjang sejalan panjangnya melakoni hidup. Sekalipun sulit, bukan berarti hal itu sesuatu yang mustahil. Bisa dan boleh direncanakan. Syaratnya ialah konsistensi, kemauan, kerjakeras dan tentu sikap tabah. Ya, sekali lagi, konsistensi, kemauan, kerjakeras, dantabah, “vitamin langka” yang kini agak susah kita temukan pada diri seniman zaman serba instan dan cepat ini.
Pertanyaannya kini, mengapa kini muncul anak-anak muda genius tanpa terlebih dahulu susah payah “mengonsumsi vitamin langka” yang saya sebut tadi?
Kunci jawabannya adalah, anak-anak muda genius itu tidak mendapatkan hadiah secara gratis begitu saja.
Orangtua, kakek/nenek, atau keluarga,dimana gen anak-anak itu bersemayam, jauh-jauh hari telah mengonsumsi kepahitan hidup dan tak pernah melepaskan diri dari perjuangannya mendapatkan “vitamin langka”.
Laku prihatinnya membekas dalam diri sang dzurriyyah, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Tibet, yang merupakan hasil dari berjalannya hukum sebab akibat, menitis kedalam diri anak-anak muda genius. Tak ada dalam sejarah, manusia genius, sukses atau katakanlah dinilai melebihi orang rata-rata tanpa peran leluhurnya melakoni duka-derita terlebih dahulu dalam meraih impiannya.
Sebaiknya seniman, terutama kepada seniman muda adik-adik saya, pemikiran di atas bisa Anda gunakan sebagai peta untuk meraih tujuan hidup di masa mendatang. Sebaik-baiknya seniman ialah mereka yang tidak berlaku ekstrem.
Menjaga kebutuhan spiritual (dalam hal ini dengan melakoni kesenian), sekaligus menjaga kebutuhan material adalah sesuatu yang wajar, manusiawi dan itu lebih baik ketimbang sok suci dari materi tetapi -mohon maaf lahir batin- bermalas-malasan bekerja dan baru menghasilkan karya yang belum seberapa bernilai, tapi gemar bermimpi rekeningnya kemasukan uang sebanyak Mafioso pajak.
Tapi, ngomong-ngomong, “setelah” kaya mau apa? Itu merupakan pertanyaan penting. Patut diajukan, terutama kepada seniman-seniman yang masuk golongan Orang Kaya Baru (OKB). Tak salah menjadi OKB. Justru kita selaku masyarakat turut bersyukur dan senang melihat banyaknya OKB, sehingga negara nggak usah turut memikirkan bagaimana mereka terentas dari kemiskinan sampai akhirnya para seniman ikut antre beras miskin.
Yang jadi soal adalah: lalu untuk apa? What next?
Titik tekannya bukan pada kayanya, akan tetapi saya member tanda petik pada kata setelah sebagai cara memaknai “proses menjalani hidup itu yang lebih utama, dan bukan pada hasil akhirnya.
Sebagai pelaku, kita hendaknya menyadari bahwa siklus kehidupan itumesti terus berlangsung entah sampai kapan.
Bahkan dalam terminologi Jawa, lakon itu punya arti khusus: subyek terpenting dalam peristiwa atau cerita.
Kita sebagai pelaku utama, subyek terpenting, hendaknya menghayati secara penuh apa yang kita perankan dan apa yang telah, tengah dan akan terjadi di lingkaran kehidupan ini. Bukankah berpikir, merenung, tafakur itu nilainya melebihi ibadah lainnya bahkan punya nilai tertinggi di hadapanTuhan?
Banyak di antara OKB di kalangan seniman tak memiliki konsep yang jelas untuk apa kekayaan yang mereka dapat, sehingga kehadiran sebagai OKB seakan sama artinya dengan saat sebelum menjadi OKB.
Lingkungan tak berubah, saudaranya yang miskin tetap, semua berjalan tanpa ada perubahan. Lebih celaka lagi, jika kehadiran OKB ini melah merepotkan banyak pihak, atau minimal menimbulkan tanda tanya tetangga.
Jika begitu, apa maknanya kekayaan yang tak punya daya mengubah? Bukankah kekayaan itu sarana, bukan tujuan?
Lebih repot lagi, jika sang OKB telah pergi meninggalkan semua yang dimilikinya. Masih “beruntung” jika sang OKB tidak menyaksikan ahli warisnya berantakan, kasak-kusuk berebut calon warisan dan hakcipta peninggalan calon almarhum.
Masih “beruntung” sang OKB tidak menyaksikan ahliwarisnya rapuh, tanpa pegangan spiritual, ngepil, mabok, melacur dan judi. Molimo. Kelak jika sang OKB telah tak bisa melakukan apa pun alias tewas, kisah atau sinetron yang mengerikan akan lebih seru, saru, bengis, dan memalukan kerap kita tonton atau perdengarkan bagai sebuah mahakarya kehidupan dunia yang memilukan. Karyanya agung, tapi ironisnya; sebagai manusia ia jatuh dan menyeret banyak orang ke jurang tragedi.
“Yang Maha Ironi” telah memperdayakannya hingga keliang kubur tanpa ampun! Semoga kita terhindar dari yang demikian.
Waspadalah !
Mathori A Elwa adalah Penyair dan Editor Buku