Firman Venayaksa *
Kehadiran perpustakaan sebagai tempat untuk mencari ilmu dan menggali informasi tentang pelbagai hal nampaknya memang tidak bisa disingkirkan dalam peradaban kehidupan manusia yang semakin pesat berkembang. Namun perpustakaan yang selama ini hadir ternyata hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita. Tidak menjadi barang skunder apalagi primer. Pada akhirnya buku menjadi barang lapuk dan rapuh, sendiri, sepi, dan tak banyak yang menggauli. Pertanyaan kemudian hadir, ada apa dengan masyarakat kita? Pertanyaan yang lebih ekstrim bergulir, ada apa dengan konsep perpustakaan kita?Dua pertanyaan di atas agaknya penting untuk kita kaji, sebagai bahan untuk melejitkan pemahaman kita tentang masyarakat sebagai subjek yang seharusnya menggauli buku dan perpustakaan sebagai objek yang menyediakan buku. Penting untuk mengingatkan kembali bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berititiktolak pada wacana-wacana lisan atau yang kita kenal dengan konsep aliterat, mereka bisa membaca tetapi tidak dijadikan kebiasaan dalam kehidupan keseharian. Pentingnya membaca tidak berkorelasi dengan pentingnya mencari uang misalnya, yang pada akhirnya membaca hanyalah menjadi penting bagi orang-orang yang ingin membunuh waktu.
Selanjutnya mari kita sedikit membincangkan stereo type perpustakaan di Indonesia. Kecenderungan perpustakaan sebagai tempat yang horor alias angker seperti kuburan sudah menjadi epidemik tersendiri bagi orang-orang yang mau mengunjungi perpustakaan. Buku-buku lapuk, rak-rak yang bisu, meja dan kursi yang kaku, pelayan perpustakaan yang mengunci rapat-rapat mulutnya untuk sekadar tersenyum nampaknya telah menjadi bagian ortodoks yang sulit untuk diubah.
Mengapa harus selalu seperti itu?
Mengapa tidak kita ciptakan sebuah lingkungan perpustakaan yang memiliki aura warna-warni dan berseri alias funky and sexy?
Subjek yang belum menjadikan buku sebagai konsumsi keseharian dan objek yang tak juga membuka diri dengan keadaan nampaknya betul-betul telah mengakibatkan terlahirnya jurang yang sangat dalam dan terjal.
Bagaimanakah menjembatani jurang tersebut?
Berdasarkan penguraian di atas, setidaknya kita bisa meramu hal-hal yang bisa kita perbuat. Membuat masyarakat yang terbiasa tidak terbiasa membaca menjadi terbiasa dan membiasakan membaca memang bukan pekerjaan yang mudah. Perlu banyak waktu untuk mengubah kebudayaan tersebut.
Hal yang paling radikal untuk mendesak agar masyarakat kita nantinya menjadikan membaca sebagai salah satu kebiasaan dalam menjalani kehidupan, menanamkan betapa pentingnya sebuah buku adalah dengan melaksanakan konsep ¡§potong generasi¡¨.
Konsep ini berarti kita harus berani membetot (membagi dua) dari satu tubuh kehidupan manusia, mencari fase mana yang lebih mudah untuk didoktrin dan disodorkan sebuah bentuk kebaruan-kebaruan. Katakanlah setelah kita bagi dua; kita menemukan 2 fase yaitu generasi tua dan generasi muda. Generasi tualah yang lebih condong membudidayakan dunia aliterat karena memang sudah menjadi budaya yang begitu lekat. Lingkungan sudah memaksa mereka untuk tumbuh dan berkembang yang diadaptasi dari generasi sebelum mereka, dan efek domino ini yang mesti kita hentikan, harus ada yang memotong generasi agar kelak tidak terjadi keberlangsungan yang tak kita inginkan dan pada akhirnya kita sesali kelak.
Generasi anak-anak (sampai remaja) adalah fase yang mudah untuk dicekoki dengan ideologi kita yaitu ideologi kutu buku. Secara psikologis, masa anak-anak merupakan masa peniruan, serba ingin tahu dan ketika mereka melakukan proses tersebut, kita datang dan kita sodorkan buku. Ini buku. Bacalah!
Tentu saja proses ini tidak semudah yang kita bayangkan dan yang saya tuliskan dalam tulisan corat coret ini. Ada sebuah proses di mana niat kita untuk memotong generasi betul-betul diuji, termasuk kesabaran yang tak kunjung henti. Dan penting untuk dicatat bahwa konsep ini lebih dititikberatkan pada perpustakaan komunitas atau dalam istilah Pendidikan Luar Sekolah (PLS) kerap disebut Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Di Rumah Dunia, Gola Gong dan Tias Tatanka yang mencoba melakukan konsep ini. Mula-mula mereka menyediakan mainan-mainan selama 3 bulan. Setelah anak-anak familar dengan tempat tersebut, dan mainan sudah mulai habis, Gola Gong dan Tias Tatanka tidak langsung memberikan buku untuk dibaca. Mereka mencoba tidak terburu-buru, karena mereka sadar bahwa anak-anak di Ciloang (sebuah desa yang tidak ada dalam peta) tidak terbiasa dengan buku. Untuk ajakan awal, mereka disuruh mendengarkan sebuah dongeng yang diperagakan oleh Tias. Alhasil, setelah pembacaan dongeng selesai, maka pertanyaan-pertanyaan yang lugu dari anak-anak mulai keluar. Baru, di sinilah mereka mengeluarkan buku untuk dibaca, karena mereka tahu bahwa secara halus, mereka telah berhasil merangsang anak-anak agar ingin tahu.
Ketika berinteraksi dengan anak-anak, kita harus mencoba untuk berpikir gaya anak-anak. Jika kita mendekati anak-anak dan berpikir dengan gaya kita yang sudah sangat mahfum pentingya buku maka akan sulit untuk berdekatan dengan mereka.
Hal yang paling sering ditanyakan dalam benak kita adalah bagaimana membuat komunitas baca alternatif? Dari mana harus memulai? Dari mana mendapatkan buku? Dan bagaimana mengajak anak-anak untuk datang dan berinteraksi langsung dengan buku? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas akan terus bermunculan ketika kita hanya ongkang-ongkangan berpikir tanpa dibarengi dengan inisiatif berbuat sesuatu.
Di setiap tempat, proses penerapan biasanya tergantung dari lingkungan masing-masing. Ada sebuah local genius yang bisa kita pakai untung merangsang mereka. Di Banten, tentu saja penerapan seperti ini lebih mudah berhasil karena anak-anak di sana pada umumnya memang tidak terlalu disibukan dengan hiruk pikuk aktivitas. Berbeda lagi ketika kita mau membuat sebuah komunitas baca di daerah perkotaan yang secara fasilitas lebih baik dan didukung aktivitas yang padat.
Di Rumah Dunia, konsep perpustakaan tidak seperti lazimnya di perpustakaan-perpustakaan yang telah ada. Di tempat ini semua orang berhak untuk membaca, semua orang berhak juga untuk sekedar bermain-main, artinya selain pengunjung berhak mendapatkan edukasi dan informasi, mereka juga berhak mendapatkan sarana rekreatif.
Selain itu, di Rumah Dunia juga disediakan fasilitas lain untuk mengembangkan proses kreatif anak seperti bermain peran /wisata teater, wisata gambar, wisata suara dan wisata tulis. Untuk mewadahi remaja, Rumah Dunia melaksanakan kelas menulis terutama jurnalistik dan sastra, kelas teater dan membuat film indie berdasarakan skenario yang ditulis oleh mereka.
Menulis merupakan keberkaitan dari membaca, sementara berbicara berkaitan dengan menyimak, artinya empat keterampilan berbahasa memang harus menjadi kesatuan yang utuh yang tidak mungkin bisa dipisahkan dan hal inilah yang harus menjadi kesadaran bersama, bahwa membaca adalah satu bagian dari empat keterampilan berbahasa yang harus diajarkan.
Sekarang, mari kita ubah paradigma bahwa di perpustakaan hanyalah membaca. Sudah saatnya tiga keterampilan lain pun ikut diperhatikan.
Tanah Air, 2005
*) Presiden Rumah Dunia
http://keluargapengarang.wordpress.com/2007/06/24/konsep-rumah-dunia-potong-generasi/