Manusia: Mengapakah Engkau Cemburu?

Edisius Riyadi Terre
http://www.kompasiana.com/ediriyadi

Bakdi Sumanto – dalam Tantangan Kemanusiaan Universal, sebuah antologi filsafat, budaya, sastra dan politik untuk mengenang 70 tahunnya Dick Hartoko – menelanjangi kecemburuan seorang Sahabat Sejati (A Friend in Need) yang merupakan judul cerpen W.S. Maughm, seorang sastrawan Inggris abad 20. Kecemburuan yang tampil dengan wajah inosen hipokrit si Hyde ternyata berakibat tragis dengan kematian Lenny. Hyde telah menjalankan tugas dan perannya sebagai a friend in need dengan “menyuruh” Lenny mati tanpa perlu dibunuh sehingga lengkaplah arogansinya menyingkirkan para kompetitor di seputar kehidupannya.

Kecemburuan, barangkali, usianya sudah setua umur kehidupan itu sendiri. Kejatuhan Adam dan Hawa – yang dalam tradisi religi tertentu diyakini sebagai manusia dan khalifah pertama di bumi-dunia – ke dalam dosa berawal dari kesediaan tergoda kecemburuan setan akan hakikat sang Pencipta. Ia, kecemburuan itu, bisa menyaru dalam aneka rupa dan bermacam tampilan. Kadang tergambar jelas dalam raut wajah keras Kain yang begitu sadis membantai Habel adiknya sendiri, Hitler yang arogan sekali membasmi anak bangsa Yahudi, dsb.; tidak jarang terungkap gamblang dalam tingkah liar-vandalistis seperti pemerkosaan massal terhadap etnis Cina dalam sebuah kerusuhan sosial beberapa waktu lalu (1998) di bumi nusantara tercinta ini; sesekali bersembunyi rapi di balik tutur sapa lembut penampilan anggun elitis noblesse oblige seperti yang dilakoni rezim Orde Baru berupa yayasan-yayasan amal sosialnya; sering juga terbenam dalam di lubuk nubari sebagai bom waktu, lava dan magma yang ketika meledak meletus menghancurkan semua sebagaimana dipertontonkan euforia reformasi berikut gelegak-gelegak susulannya yang berkarakter menguggat ke segala arah, curiga ke segala arah, relativisme sembrono sekaligus absolutisme angkuh yang keduanya justru menguatkan intoleransi peradaban, dan sebagainya.

Manusia pramodern, modern, postmodern adalah manusia yang menafasi keanehan paradoksal sekaligus ironis. Cemburu adalah a friend in need-nya kasih cinta, begitulah adagium eksistensial kemanusiaan. Cemburu itu “sayur lodeh kehidupan”. Tiada cemburu berarti bagai sayur tanpa garam. Cemburu adalah bahasa cinta yang paling jujur, mengutip para pecinta (lovers) yang sedang digandrungi asmara hebat. Cemburu, ternyata, adalah energi kehidupan. Tanpa cemburu hidup adalah sebuah omong kosong. Wow, dari mana semua omong kosong ini? Ataukah semua itu tadi adalah kebenaran yang terlupakan, dan kini saatnya kita harus menyandingkannya berdampingan dengan cinta atau memposisiskannya bagai dua sisi sekeping mata uang logam?

Cemburu sebenarnya merupakan pem-bahasa-an yang kurang tepat terhadap salah satu ekspresi dari hakikat dan kecenderungan dasariah manusia yaitu memiliki. Milik dan memiliki didewa-dewakan sebagai ungkapan kesempurnaan jati diri. Lalu cinta (dan mencintai), “sahabat” sang cemburu, dipahami juga sebagai upaya mengungkapkan kecenderungan yang sama tersebut. Mencinta berarti memiliki. Padahal yang sejati adalah justru sebaliknya: mencinta berarti dimiliki!

Mencinta sangatlah dekat dengan kebiasaan dan kesediaan memberi, sehingga kemudian kata “cinta” sering diimbuhi kata “kasih” lalu menjadi frase “cinta kasih”. Mencinta berarti memberi, meng-kasih. Saya mencintai pacar saya berarti saya rela memberikan. Cinta saya tulus suci dan sejati, berarti saya bersedia ikhlas memberikan segala yang ada pada saya, memberikan seluruh diri saya kepada sang kekasih pasangan jiwa. Berarti, sekarang saya menjadi yang di-miliki! Kekasihku-lah yang me­-miliki saya.

Keikhlasan mencinta, kerelaan dimiliki mengandung konsekuensi implikatif melakukan apa pun dan diperlakukan bagaimanapun oleh sang “pemilik” hidup saya. Bahkan saya tidak takut kehilangan nyawa jika itu demi cinta; bersedia untuk sewaktu-waktu ditinggal-telantarkan; mau untuk tidak cemburu ketika sang kekasih ternyata lebih mencintai dan dicintai orang lain. Kepenuhan cinta saya terletak dalam kerelaan lapang dada untuk melepaskan. Kepemilikan saya yang utuh terungkap dalam kesudian mengosongkan.

Itulah ideal cinta tak bersyarat, ideal tapi tidak utopis. Kemanusiaan yang kita nafasi sekarang tampaknya cukup sulit menerima ideal cinta seperti ini. Tapi jangan lupa, peradaban manusia yang telah berumur tak terhitung itu cukup sarat dengan pengalaman-pengalaman konkret yang merupakan pengejawantahan idealitas tersebut, terutama pengalaman religiusitas kaum spiritualis.

Berbicara tentang cinta kita kemudian mulai memahami di mana sebenarnya dan bagaimana semestinya posisi dan peran cemburu, sang “sahabat sejati” tersebut dalam kehidupan. Kembali, kecemburuan adalah peng-kata-an yang kaprah (bukan: salah kaprah) dari dorongan batin untuk memiliki. Artinya, cemburu lebih sebagai sikap yang muncul ketika ada yang tidak bisa kita miliki tapi justru dimiliki orang lain. Pun juga, cemburu mengharamkan realitas di mana orang lain bisa memiliki milik kita, atau memiliki hal yang sama seperti yang kita miliki atau bahkan lebih dari kepunyaan kita. Kalau cinta bermakna kesudian dan kesediaan untuk dimiliki; cemburu, sebaliknya, memiliki makna nafsu dan ambisi untuk memiliki.

Ternyata cemburu memang benar-benar “sahabat sejati” (dalam tanda petik) cinta, yang watak intrinsiknya destruktif dan kontra-produktif, yang dengan entengnya bergumam “Aku cemburu karena aku benar-benar mencintaimu!”, untuk menutupi wajah egoisnya. Cemburu pulalah yang memutarbalikkan hakikat cinta, yang terutama muncul ketika ada yang terkooptasi, terhegemoni, terkungkung-tersiksa-teraniaya, dengan kata-kata indah, “Aku melakukan semua ini karena aku sungguh-sungguh mencintaimu!” Logika seperti inilah yang menorehkan peradaban dengan kekerasan demi kekerasan, yang menciptakan serigala bagi sesamanya, homo homini lupus kata Hobbes.

Akankah cinta mampu bertahan dengan semboyannya, homo homini socius, manusia adalah sesama bagi sesamanya? Jika cinta, sampai sejauh ini, masih dan tetap diyakini sebagai salah satu (kalau bukan satu-satunya) energi kehidupan yang memberikan kenikmatan luar biasa dalam keikhlasan menjadi “dimiliki” maka mengapakah kita tetap saja mengeram cemburu? Atau akankah cemburu dapat menjadi sungguh-sungguh sahabat sejati (tanpa tanda petik) dalam artiannya yang telanjang bagi cinta? Kalau tidak, lalu: Mengapakah engkau cemburu, wahai manusia?

Edisius Riyadi Terre adalah seorang musafir peradaban dan makna. [Tulisan ini hasil goresan tahun 2001 ketika masih bekerja di Penerbit Kanisius, Yogyakarta]
Dijumput dari: http://filsafat.kompasiana.com/2012/03/07/manusia-mengapakah-engkau-cemburu/

Bahasa »