Menguliti Si Burung Merak

Anas Nasrudin
kompasiana.com/anas.nasrudin

Liga Pembaca Sastra (LPS), sebuah club kajian yang terbuka untuk umum telah bergulir empat kali pertemuan. Minggu (13/03/2011), kali ini menggelindingkan bola Si Burung Merak alias W.S Rendra. Menampilkan dua kapten kesebelasan antara Rully Ferdiansyah, salah satu peserta kelas menulis angkatan 17 Rumah Dunia VS Muhzen Den relawan Rumah Dunia. Berhubung wasit utama sedang berhalangan, Abdul Salam Hs sebagai siswa yang gandrung pada puisi pun tampil sebagai wasit dadakan.

Seperti biasa pertandingan diawali dengan proses pembacaan karya sastra, semacam photo bersama sambil menyanyikan lagu kebangsaan jika dalam sepak bola. Dilanjutkan dengan menyimak film documenter Rendra berdurasi sekitar 25 menit. Kemudian ulasan kedua kapten kesebelasan. Rully sebagai team tamu berusaha memberikan penetrasi serangan lebih awal. Ia mengatakan bahwa sajak-sajak Rendra cenderung bersifat epik atau naratif dan berusaha mengangkat problem sosial masyarakat kecil. Rully pun kehabisan napas dan memilih pola permainan sistem bertahan. Kini giliran Muhzen Den berusaha menggocek bola dengan sedikit bergaya samba. Muhzen mengatakan bahwa Rendra terutama karya-karyanya bersifat gamblang tanpa tendeng aling-aling, pembawa spirit bagi kaum muda, dramawan yang menjadi rujukan utama, yang mampu membawa ranah teater tradisional kearah modernitas, di samping itu Rendra tampil bebas tak lagi mempersoalkan status angkatan yang dibuat HB Jassin dan beberapa sastrawan kala itu.

Setelah kedua kapten menunjukan kebolehan, kini bola lebih banyak berada dalam penguasaan striker. Sebagai pemain senior Firman Venayaksa berusaha menampilkan skill individu yang memukau. Pertama-tama Firman mengutarakan persinggungan secara emosional dengan Rendra, menurut pengakuannya pada tahun 1999 di UPI Bandung kala itu, ia sempat diberi kepercayaan menyanyikan puisi Rendra dan berjumpa langsung dengan sang burung merak. Waktu itu masih menurut Firman, Rendra adalah salah satu orang yang mampu menjadi magnet untuk menarik massa selain Sutardji Calzoum Bachri. Selain itu, ditilik dari karya-karyanya Rendra juga tergolong penyair mimbar bukan kamar dalam artian Rendra tak tergoda pada proses kreatif yang menghasilkan karya-karya picisan yang mengumbar dimensi estetis belaka melainkan berusaha mencuatkan problem sosial dengan alat Bantu bahasa keseharian hingga mudah dipahami oleh kalangan pembaca. Rendra juga tak melulu berkutat diranah sajak dan puisi tetapi ia juga tampil sebagai orang yang menginspirasi mahasiswa untuk berdemontrasi. Bahkan orang-orang yang berusaha menumbangkan pementasan Rendra pun seolah memiliki kebanggaan tersendiri. Ini membuktikan kehebatan Rendra yang benang merahnya demontrasi akan dilawan dengan demontrasi pula. Hal ini sudah merupakan hukum kausalitas yang tak bisa dihindari. Terakhir Firman mengatakan konsep humanis dari seorang Rendra dalam membangun regenerasi secara massif dengan terlebih dahulu memperkenalkan pada generasi muda yang belajar di bengkel teater miliknya pada alam dan lingkungan dengan menggembala kambing dan berkebun patut diteladani.

Hingga turun minum kedudukan masih berimbang dalam artian Rendra dan karyanya belum mencapai titik temu. Sebagaimana dalam pertandingan sepak bola komentator pun saling bertukar penilaian. Diawali dengan Langlang Randhawa wakil presiden Rumah Dunia yang mempertanyakan hal ikhwal hingga sosok Rendra popular dengan julukan Si Burung Merak. Berbeda dengan sepakbola dimana komentator tak bisa berinteraksi langsung dengan pemain di Liga pembaca Sastra ini penonton, wasit, hakim garis, dan pemain, bisa langsung bersinggungan saling memberi komentar bahkan bila perlu gugatan. Menurut pemuturan Muhzen Den muasal kenapa Rendra sampai mendapat julukan Si Burung Merak adalah pernyataan spontan dari Rendra sendiri saat berkunjung ke kebun binatang melihat burung merak yang bergerombol dengan burung merak yang lain ia berujar kepada temannya “itulah Rendra”. Menurut Muhzen, burung merak adalah simbol pribadi Rendra yang playboy hingga berpoligami.

Kemudian dilanjutkan oleh pertanyaan Harir Baldan yang mempertanyakan proses titik balik Rendra hingga memutuskan masuk islam. Hal ini dijawab oleh Abdul Salam Hs bahwa Rendra menemukan lompatan spiritual ketika ia hendak mementaskan teater yang merujuk pada kitab barzanji ia mendengar ancaman bahwa jika pementasan Rendra jelek maka kaum muslim akan melemparinya dengan batu. Dari situ Rendra berpikir bagaimana kaum muslim begitu memuliakan khazanah kitab catatan yang dimilikinya. Rendra pun menyatakan hendak masuk Islam dihadapan temannya namun itu dianggap angin lalu. Rendra pun akhirnya menemui Taufik Ismail. Melalui Taufik Ismail inilah Rendra resmi memproklamirkan diri sebagai muslim. Di luar itu Salam memberi catatan bahwa Rendra adalah sosok yang cerdas namun ketika orang lain berhadapan dengannya sebebal apapun orang itu tak akan terkesan goblok.

Terakhir pembicaraan berujung membahas pertanyaan Rully terkait alasan Rendra memilih bentuk puisi dalam bentuk balada. Langlang mengatakan sebagai tekanan psikologis keadaan Rendra di rumah hingga memilih kabur. Perjumpaan dengan orang-orang terpinggirkan yang ditemui dijalananlah mungkin yang menginspirasi Rendra untuk menulis dengan gamblang dan memilih bentuk balada. Hal ini diamini oleh Anas Nasrudin yang menyatakan selain persoalan psikologis aktivitas Rendra yang sering bersinggungan dengan para pemain ludruk bahkan pra pementasan, pasca kabur dari rumah ditengah kecamuk dan kegalauan hatinya yang mencari titian jalan hidup memungkinkan terjadi persinggungan emosi hingga syair-syair yang Rendra tulis mungkin saja interpretasi terhadap lakon cerita dalam ludruk bahkan catatan-catatan curhatan nasib para pemain ludruknya sendiri. Wajar saja jika kemudian sajak-sajak yang Rendra buat berbentuk balada atau narasi cerita.

Acara pun ditutup tanpa ada semacam konklusi. Karena wilayah sastra adalah proses menjadi. Meminjam pernyataan Toto St Radik “Sintesis akan melahirkan tesis, tesis akan mencuatkan antitesis, dari antitesis kemudian menjadi sintesis lagi tanpa ada ujungnya”.

Sekedar mengingatkan Liga Pembaca Sastra minggu depan akan menggelindingkan bola rajutan Nh Dhini ; Sosok Pengarang Wanita dan Dunianya. Yang akan dimainkan oleh Nita Nurhayati Alumni Untitra dan Gading Tirta wartawan Banten Raya Post. Semoga yang sempat membaca catatan ini berkenan hadir sekedar berbagi ilmu dan pengalaman. Wallahu’alam.

Anas Nasrudin, penulis adalah alumni IAIN SMH BANTEN sekaligus relawan RUMAH DUNIA
Dijumput dari: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/15/menguliti-si-burung-merak/

Bahasa »