Perang Sastra

Thayeb Loh Angen *
aceh.tribunnews.com

Hal seru sedang terjadi dalam dunia sastra di Aceh. Seragamnya aliran kesusasteraan seperti masa gemilangnya sastra Aceh yang mengangkat aksara Melayu tampaknya telah tumbang. Dalam dekade sebelumnya, walau genre yang membentuknya berbeda, sastra di Aceh masih memiliki aliran serumpun. Namun kini, aliran mazhab tersebut telah terkuak jelas.

Mazhab pertama dijalankan oleh perkumpulan yang menamakan dirinya Forum Lingkar Pena (FLP). Golongan ini membuat sastra sebagai ajang dakwah Islam. Sementara golongan yang satu lagi menganut paham bahwa sastra harus terbebas dari semua maksud. Kita bisa santai menilai dua mazhab ini. Tidak penting mengklaim golongan mana paling sesuai untuk Aceh dan golongan mana yang sebaliknya.

Pecahnya mazhab sastra ini mengingatkan kita pada perang paham seni di Eropa masa silam. Ada dua kubu yang bertentangan kala itu. Kubu pertama mengklaim seni hanya untuk seni, sehingga tidak perlu dimengerti masyarakat luas. Sementara kubu kedua mengklaim seni untuk dipahami rakyat. Keduanya sama-sama mengklaim diri benar dan ‘menajiskan’ kubu lain. Namun sejarah mencatat, keduanya terus bertahan sampai akhir zaman. Sebab, ‘sesesat’ apa pun sebuah ajaran, selalu ada pengikutnya.

Dunia sastra di Aceh punya cerita serupa, persis perang kubu sastra di Pulau Jawa yang merambah ke seluruh Indonesia. Pihak yang satu menuding bahwa yang lain bukan sastra. Kubu pertama dari golongan yang mengklaim bahwa sastra itu harus terlepas dari semua doktrin dan dogma, seperti aliran Komunitas Utan Kayu. Kubu lainnya mengklaim bahwa sastra sebagai ajang dakwah untuk umat, seperti golongan Taufik Ismail dan FLP. Keduanya sama kuat dan sama bertahan, serta sama-sama mengampanyekan diri yang terbaik dan menciptakan kader-kader.

Arus itulah yang terbawa ke Aceh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kubu pertama FLP, kubu lainnya seperti Sekolah Menulis Dokarim binaan Komunitas Tikar Pandan. Memang bukan hanya dua organisasi ini yang ada di Aceh, namun hanya kedua organisasi ini yang punya arah dan strategi menciptakan kader-kader pendukung faham mereka.

Uniknya, walau kedua mazhab ini bertentangan, para penganutnya berteman dan kadang kala berdiskusi tentang sastra karena mereka sama-sama dalam dunia kepenulisan. Ini persis ungkapan seorang penyair Perancis Voltaire, “Aku tidak setuju dengan apa yang kaukatakan, tapi aku akan membela hakmu mati-matian agar kau dapat mengatakannya.”

Sebagai contoh, di Aceh, hasil karya yang telah diterbitkan dari kedua mazhab ini jelas bertentangan. Misalnya, dari mazhab yang dipawang FLP Aceh lahir karya bernuansa islami, di antaranya: Novel Gate Heaven karya RH. Fitriadi. Dari mazhab nondoktrin dan dogma, lahir novel Lampuki karya Arafat Nur yang mendapat dua penghargaan paling bergengsi di Indonesia, yakni dikukuhkan sebagai Unggulan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 dan Pemenang Anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011.

Nyatanya, Arafat Nur sendiri adalah pengurus FLP di Lhokseumawe yang sebelum menulis Lampuki, karya-karyanya sesuai dengan mazhab FLP. Saat menulis karangan yang menjadi Lampuki tersebut, Arafat Nur berdiskusi tentang sastra dengan Azhari, pendiri Komunitas Tikar Pandan, dan beberapa rekan-rekan lain. Dan, rekan-rekan FLP Aceh sendiri mengadakan acara meriah untuk membahas novel Lampuki tersebut walau isinya tidak sesuai dengan mereka. (Tentang novel Lampuki, akan saya bahas secara rinci dalam kesempatan lain agar lebih fokus).

Keadaan ini menjelaskan bahwa kubu sastra di Aceh telah jelas, namun para penganutnya terus berjalan beriringan. Ini serupa politisi yang bermusuhan secara ideologi dan visi-misi partai, namun mereka duduk satu meja membahas situasi politik. Di Aceh, bukan mereka yang tersebut tadi saja penulis novel, ada lagi Ayi Jufridar yang novelnya dapat pasar bagus di tingkat nasional. Namun karya dua penulis tersebut menampilkan ideologi bertentangan antara dua kubu. Perang dingin belum usai. Dan Azhari Komunitas Tikar Pandan sendiri kabarnya telah menyiapkan sebuah novel bertebal ratusan halaman.

Terlepas dari mazhab-mazhab itu, para sastrawan, pencinta, dan peminat sastra di Aceh boleh berbangga hati. Sastra di Aceh tidak lagi sakit. Ianya telah sembuh dan bangkit dari tidur panjang dan membuktikan dirinya bahwa Aceh adalah pusat sastra di dunia Melayu. Telah tersambung sejarah sastra yang dipahat dengan tinta emas oleh yang mulia ulama sekaligus sastrawan Aceh Syeh Hamzah Fanshuri.

Kini, tugas kita melahirkan tulisan bernilai sastra dalam bahasa Aceh seperti hikayat menjadi sepopuler novel dan cerpen, agar ada keseimbangan antara model sastra Aceh dengan Eropa. Atau kita bisa melahirkan cerpen dan novel dalam bahasa Aceh, supaya kebudayaan Aceh dapat menegakkan kembali kepalanya di jagad literatur dunia.
***

*) Thayeb Loh Angen, budayawan Aceh. Berdomisili di Banda Aceh /22 Jan 2012.