PERIHAL KELAS MENULIS

Hikmat Gumelar *
__Pikiran Rakyat, 19 April 2008.

Maaf, Bung. Seperti kubilang di telefon, aku mau betul kita bertemu. Apalagi bertahun-tahun sudah kita terdampar di pulau berbeda. Tapi Bung begitu tiba-tiba datang. Begitu cepat pula hengkang.

Aku di Bandung nih, di Dago. Malam ini cabut lagi ke Jakarta. Besok pagi cabut lagi ke Makassar. Mau ketemu ga?” Begitu kau bilang kemarin sore di telefon.

“Gila! Pertanyaan Bung sadis nian. Dengan orang sepenting Bung, bodoh betul jika tak punya nafsu bertemu. Tapi aku bukan saja di Jatinangor. Aku lagi ada kelas nulis di Nalar.”

“Apaan tuh kelas nulis? Kayak di SD.”
“Hiya. Haha. Memang kayak di SD.”
“Janganlah over sensitif. Begitu aja masa tersinggung.”
“Lho, iya. Itu memang kayak di SD. Itu ruangan belajar dasar-dasar menulis. Di situ…”
“Ah, kau. Masih juga rumit. Oke. Kita ketemu lain kali, Bung. Lagian aku juga harus ke FO. Biasa, cari oleh-oleh buat karyawan. Tapi kau tetap wajib ngecap jelasin apa itu kelas nulis. Oke, Bung?”

Oke, Kawan. Tapi bagaimana menjelaskan kelas nulis kepada kau yang mungkin bahkan tidur pun sambil lari? Wajib pula hukumnya. Haha. Sangar amat. Tapi oke. Kutempuh cara seperti biasa: rumit dan bikin kau mabuk memuntahkan rupa-rupa kutuk.

Kelas nulis itu salah satu kegiatan di Institut Nalar Jatinangor. Periode ini materinya belajar menulis esai. Yang ikut tujuh orang. Tak seorang pun dari mereka, anggota INJ yang baru itu, membayar untuknya. Mereka hanya harus hadir sekali, tiga jam dalam sepekan. Tiap pekan selalu ada tugas menulis dan atau merevisi tulisan. Tiga kali absen berarti berhenti. Demikian pula jika tiga kali tidak mengerjakan tugas. Kau boleh bilang tidak enak. Tapi itu buah persetujuan kawan-kawan dan aku yang untuk periode ini kebetulan dipercaya jadi semacam fasilitator.

Saban pertemuan, aku membuka dengan sebuah pengantar. Kawan-kawan lantas berdebat perkara yang mereka buat. Pengantarku, tentu, mereka perdebatkan pula. Perdebatan ini jadi bahan merevisi tulisan yang merupakan tugas pekan sebelumnya. Adapun tugasnya sekadar menulis hal-hal yang mungkin remeh. Misal, tugas pertama periode ini menulis tentang hujan di Jatinangor. Pengantar yang kusampaikan persis seperti tercetak di bawah ini.

Sekadar Pengantar “Hujan di Jatinangor”

Menulis itu seperti bicara. Ada memang yang membedakan keduanya. Dan memang ada juga unsur-unsur yang beda dari keduanya. Misal, bicara berarti berbahasa secara lisan, sedang menulis berarti berbahasa secara tertulis. Dua ragam bahasa ini memiliki sejumlah perbedaan seperti, misal, bahasa lisan memiliki apa yang disebut sebagai bahasa tubuh sebagai salah satu unsurnya, sedangkan bahasa tulis tidak bisa mengandalkan kerutan dahi, picingan mata, gemeletuk gigi, dagu mengangkat, dan sebagainya. Bahasa lisan langsung raib seusai disampaikan, sedangkan bahasa tulis tetap tinggal. Perbedaan-perbedaan seperti itu membuat dua makhluk tersebut jadi memiliki karakter yang khas. Dengan sendirinya berbahasa secara lisan dan secara tertulis jadi ada juga bedanya. Meski demikian, menulis dan berbicara pada intinya sama, yakni upaya mengatakan sesuatu.

Nilai dari upaya ini ditentukan oleh sesuatu yang dikatakan, dan cara mengatakannya. Sekilas, mungkin, mengungkap sesuatu yang bermutu, dan dengan cara yang jitu adalah hal yang mudah, atau dengan sendirinya bisa dilakukan oleh siapa pun. Tapi sekalian kita memiliki banyak pengalaman maksud hati bilang A, apa daya mulut mengucap U, dan jadilah yang mau direngkuh malah beringsut menjauh, kita pun lalu diam-diam atau terang-terangan mengaduh.

Contoh lain yang lebih terang benderang adalah fakta bahwa yang bisa berkomunikasi dengan tulisan tidaklah semua orang, atau bahkan hanya sejumput orang. Ini artinya, yang sekilas tampak mudah itu naga-naganya susah juga. Tapi Goenawan Mohamad menulis “Catatan Pinggir” tiap pekan. Dan yang dilakukannya bukan itu saja. Ia pun mengelola majalah Tempo, menulis puisi, menulis kritik sastra, meresensi buku, film dan teater, menghadiri pertemuan-pertemuan, dan sebagainya. Teranglah yang susah itu bisa jadi mudah. Tentu tidak otomatis. Tapi bisa dipastikan kesanggupan membuat yang susah jadi mudah itu datang dari belajar. Sedangkan belajar selalu tahap demi tahap. Benar si Forest rada-rada ajaib. Tapi toh sebelum mendadak bisa melesat lari, dia lebih dulu belajar jalan. Begitu halnya dengan menulis. Suka atau tidak, untuk bisa menulis, kita pun terpaksa belajar tahap demi tahap. Nah, tahap kita saat ini kayaknya menemukan sesuatu untuk dikatakan.

Untuk itu, cobalah kenangkan tulisan-tulisan di koran-koran, di majalah-majalah, di buku-buku. Periksa sesuatu yang (mau) dikatakannya. Perang, perdamaian, keluarga, korupsi, jalan rusak, kelaparan, dan sebagainya, adalah sesuatu yang sejak zaman baheula dikatakan jutaan orang. Maka benarlah, hematku, omongan tua yang pula sudah jutaan orang mengucapnya, “Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”. Tapi peperangan tak kunjung sudah. Di banyak tempat, perang terus berlangsung. Di banyak tempat banyak anak yang menggelepar sekarat dirajam lapar. Di banyak tempat banyak keluarga serupa guci dibanting. Maka mengatakan soal perang, kelaparan, dan keluarga adalah hal yang tetap perlu. Perlu untuk memungkinkan yang kita harap-harap bersama bisa sama-sama kita dekap. Soalnya, bagaimana mengatakan sesuatu-sesuatu itu sehingga sampai menjadi perlu?

Bukalah mata. Gunakan untuk memandang sesuatu yang mau dikatakan. Periksa dengan detail segi-segi, atau dimensi-dimensi, atau butir-butir, atau unsur-unsur dari sesuatu. Pilih mana dari itu yang paling dekat dengan diri kita, mana yang paling kita rasakan, mana yang paling kita hayati, mana yang paling kita kenali. Cari kaitan-kaitannya. Tentukan apa sebetulnya yang mau kita sampaikan dengan mengatakan sesuatu itu. Dengan itulah tulisan bukan saja membuat sesuatu yang purba jadi baru dan segar, tetapi juga (lebih) menerangi problem (-problem) yang tengah menggasak kita, sekaligus langsung atau tidak menerbitkan kemungkinan (-kemungkinan) untuk memecahkannya.

Dari situ, mulai teranglah, mudah-mudahan, bahwa menulis itu adalah upaya memecahkan problem, adalah upaya melangkah ke arah harapan. Dan modal utamanya ternyata, sekurang-kurangnya menurutku, adalah penalaran-penalaranku sendiri, adalah perasaan-perasaanku sendiri, adalah penghayatan-penghayatanku sendiri, adalah pengalaman-pengalamanku sendiri, adalah hidupku sendiri.

Jika demikian, maka menulis mensyaratkan kesediaan kita untuk menziarahi hidup kita sendiri. Oleh karena itu, menulis pun tak lain adalah ikhtiar mengintimi diri kita masing-masing. Tulisan kawan-kawan tentang “Hujan di Jatinangor”, hematku, adalah sebuah contoh dari itu. Tapi contoh ini pun memperlihatkan bahwa kita masih perlu belajar menemukan sesuatu untuk dikatakan atau dituliskan.

Begitulah, Puan dan Tuan, sekadar pengantar belajar menulis kali ini. Kini mari kita mulai ngobrol lebih detil. Prung, ah!

Nah, itu kira-kira kegiatan yang disebut kelas nulis itu. Tentu aku tidak tahu persis bagaimana tafsirmu. Tapi apa pun tafsirmu, pertama, itu adalah tafsir. Kedua, itu hakmu, Bung. Sementara itu saja dulu. Salam.

*) Koordinator Umum Institut Nalar Jatinangor
Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2010/07/24/perihal-kelas-menulis/

Bahasa »