Puisi & Air Mata Penyair

Abdul Aziz Rasjid
__Jawa Pos, 11 Maret 2012

Kematian ibunya adalah puncak dari segala duka, dan ia pun percaya tak ada kesedihan lain yang dapat menandingi kesedihan kehilangan seorang ibu. Dalam sebuah catatan yang ia tulis di sebuah kafe di sudut kota Seoul, Korea Selatan; ia yang merasa kesepian mengingat kembali bahwa sebagian dera kehilangan itu telah ia tumpahkan ke atas lembar-lembar catatan dalam bentuk puisi. Salah satunya berjudul “Mengusung Keranda” yang ditulis ringkas namun sarat air mata: Ibu, Tubuhku airmata. Nestapaku sempurna.

Cecep Syamsul Hari, penyair kelahiran Bandung 1 Mei 1967, menulis puisi “Mengusung Keranda” tak berselang lama setelah ibunya wafat di tahun 1997. Pelipur rasa kehilangan, walaupun tak berhasil mengobati seratus persen, baru didapatkannya ketika ia berkesempatan mengunjungi Ka’bah, Bait Allah dengan niat mengumrahkan ibunya. Kenang Cecep di sebuah esainya yang bertajuk “Saya dan Horison: Catatan Kesepian Seorang Penyair di Kota Seoul” (Horison, Agustus 2006); di tanah suci Makkah dan Madinah ia merasa ibunya selalu berada di sampingnya, mendampinya tawaf dan sa’i juga seakan menyaksikannya tahalul dari kejauhan.

Tapi, duka yang dalam memang tak mudah ter/diobati. Sebuah sajaknya yang lain, yang bertitimangsa tahun 1997 dan berjudul “Di Pemakaman”, menanggungkan ingatan murung dan kesedihan akut dimana penyair menyusun ritme bunyi seiring dengan rintik air mata: Ke tepi terjauh manakah kesedihan kubawa pergi/ jika tubuhku kesedihan tak bertepi. Kutampung// cahaya wajah dan senyum terakhirmu/ dari ingatan yang murung.

Hati yang patah & Maut yang tak dapat ditolak

Sejak permulaan dan dalam perkembangan riwayat puisi Indonesia modern, duka kehilangan atau pun kemurungan yang ditanggung penyair dan lantas ditumpahkannya sebagai puisi memang punya jejak panjang dan dalam. Beberapa sajak yang ditulis seiring dengan air mata, beberapa diantaranya memiliki nasib hidup lebih lama dari usia si penyair dan menemukan tempat abadi sebagai bagian sejarah sastra bangsanya. Sedang beberapa sajak yang lain, kadangkala menjadi langkah awal si penyair sebelum memasuki dunia puisi secara lebih luas.

Nasib puisi yang mengabadi misalnya, bisa kita dapati dalam sajak-sajak terindah karya Amir Hamzah (1911-1946) yang konon bertautan dengan kisah air mata yang jatuh sebab hati yang patah dan cinta tak sampai yang dialaminya bersamanya Ilik Sundari. Hubungan puisi dan biografi sedih Amir Hamzah ini, salah satunya ditulis oleh novelis Nh. Dini pada buku bertajuk Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang (Gaya Favorit Press. 2011) dengan kecondongan penilaian bahwa banyak sajak karya Amir memiliki ikatan benang merah dengan tragedi cintanya bersama Ilik Sundari.

Salah satunya adalah latar belakang penciptaan puisi “Senyum hatiku, senyum”(terkumpul dalam Buah Rindu. 1959) yang dimungkinkan ditulis berdasar kemuraman hati ketika Amir dihadapkan pada beban untuk menjelaskan pada kekasihnya bahwa ia harus meninggalkannya untuk menikah dengan gadis lain: “Mengapakah rama-rama boleh bersenda/ Alam boleh mencium pantai/ Tetapi beta mahkluk utama/ Duka dan cinta menjadi selampai?” Bahkan, kumpulan puisi Nyanyi Sunyi (1937) yang terkenal sebagai tonggak sastra Indonesia baru, sebelum dititipkan pada Sutan Takdir Alisyahbana terlebihi dahulu dibenahi dan dikumpulkan oleh Amir sembari mengurung diri dalam kamar. Kerja penghimpunan puisi dalam kesendirian itu, dilakukan Amir selepas ia pulang dari perjalanan terakhir kalinya dengan Ilik untuk memunguti kenangan-kenangan indah saat keduanya masih bersekolah di AMS Sala.

Oktober 1942, bagi sastra Indonesia adalah kisah yang menceritakan titi mangsa langkah awal seorang penyair besar dengan usia pendek tetapi memberi pengaruh paling panjang dalam perkembangan kesusastraan bangsanya. Pada tahun itu, enam tahun sebelum ia wafat, Chairil Anwar (1922-1949) menulis puisi “Nisan” yang merupakan sajak pertamanya yang masih tersimpan sampai masa kini dan menggambarkan kekuatan duka akibat kematian neneknya yang ditanggapinya sebagai duka maha tuan yang bertakhta.

Puisi “Nisan”, bagi saya tak hanya menandai debut Chairil sebagai penyair, tetapi sekaligus menandai bahwa maut adalah salah satu wacana paling fundamental yang seringkali disampaikan Chairil. Memang pada larik puisi “Aku” yang ditulis oleh Chairil, ia mengatakan “mau hidup seribu tahun lagi”, tapi larik itu sebatas menjadi rasa ingin yang uniknya tampil paradoks dengan awalan puisi yang dibuka dengan maut sebagai ending kehidupan yang tak dapat ditolak: “kalau sampai waktuku”. Maka maut sebagai takdir yang pasti atau dalam “Nisan” ditanggapi sebagai keridlaanmu menerima segala tiba, adalah bagian dari sebuah gerak wawasan Chairil menanggapi maut yang pada akhir hidupnya ia ungkapkan dalam puisi “Derai-derai Cemara” (ditulis tahun 1949) bahwa hidup hanya menunda kekalahan.

Duka & puisi yang menengok diri penyair

Tentu masih banyak puisi lain yang memberikan hal-ikhwal duka kehilangan. Kita bisa mengingat misalnya, beberapa bait kesedihan dalam “Di Pemakaman” (ditulis tahun 1976) karya Soni Farid Maulana: “ada kenangan menjaringku saat melati kutabur./ ada tembang cianjuran menggema dalam pengupinganku/ yang kau perdengarkan/ menjelang malam bersekutu dengan sunyi…”. Latar belakang puisi itu, dalam kata pengantar untuk buku puisinya bertajuk Secangkir Teh (Grasindo, 2005) dijelaskan oleh Soni ditulis ketika ia berusia 14 tahun dan secara khusus ditujukan pada Oneng Rohana, neneknya yang berjasa memperkenalkannya pada puisi lewat teks-teks tembang Sunda Ciganjuran yang didendangkan ketika sang nenek menidurkannya saat ia kecil.

Dalam kekhususan riwayat Soni, duka dalam puisi lantas menjadi pengantar ikhwal kehidupan penyair yang menengok kembali mengapa puisi bisa tumbuh dalam dirinya. Pengalaman Soni di masa kanak yang terbiasa mendengar tembang Cianjuran dengan penghayatan emotif, setidaknya telah menjadi wahana yang tepat bagi tumbuhnya kebiasaan untuk mengekspresikan tafsir atas pengalaman personalnya lewat medium bahasa, kata-kata, lambang, imaji dan sebagainya. Bahkan cara menulis puisi berdasar pengalaman personal lalu ditanggapi oleh Soni sebagai upaya menjadi diri sendiri sehingga membentuk keyakinan bahwa ia tak harus merasa inferior di hadapan puisi-puisi yang ditulis penyair lain.

Tak jarang orang, barangkali mahfum bahwa penyair lebih dianugerahi sensibilitas untuk menghayati kehidupannya dalam kata. Tak jarang orang pula, kadang bertanya-tanya darimanakah ilham datang dan kekuatan kata dalam puisi terasa dapat mewakili rasa duka dan derita yang dikandung setiap orang? Kadangkala riwayat penyair dan sedikit cerita mengambil alih untuk menjelaskan peristiwa yang melatarbelakangi terciptanya puisi. Dan dari riwayat ini, kita dapat menengok kembali kerja keras penyair untuk tetap menggapai puncak-puncak bahasa walau hatinya digelayuti nestapa dan rintik air mata mungkin telah berkali-kali menetes ke pipinya.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/abdul-aziz-rasjid/puisi-air-mata-penyair/10150792437792489?ref=notif&notif_t=note_tag

Bahasa »