Sastra Menyimpang di Taman Eden

Chavchay Syaifullah
_Media Indonesia, 6 Nov 2005

Muhidin M Dahlan kembali menunjukkan jalur kepengarangannya dengan novel Adam Hawa. Stamina menulisnya masih tetap terjaga, seperti cara berbahasanya yang tetap lugas dan mencekau bahasa prosa-puitis. Saya menduga novel ini kelak impresif bagi pembacanya karena sanggup ‘menuntaskan’cerita-cerita yang indah terbayangkan.

Dalam proses baca sastra, kenyamanan pertama justru sejauh mana sangpengarang sanggup menyandingkan spirit ceritanya dengan daya bahasa yangdihamparkan. Baru kemudian jatuh pada teknik penceritaan, isi cerita, dan (iniyang jauh lebih penting) visi. Poin akhir inilah yang kelak memegang peran kuatbagaimana cerita dalam novel bisa mengharu biru perasaan dan pikiran pembaca.

Adam Hawa dan novel Muhidin yang lain, Tuhanku, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, dari segi capaian bahasa bisa jadi berada di bawah Kabar Buruk dari Langit–tampaknya novel gemuk ini ditulis dengan kesadaran leksikologi yang intens.

Namun, saya berani bertaruh dari sisi-sisi selain capaian bahasa, Adam Hawa lebih layak mewarisi prestasi sastra bermutu, tentu dalam kategori “sastra menyimpang”.

Seperti umumnya novel yang ditulis Muhidin adalah novel yang mengganggu pemahaman terberi atau juga status quo, novelnya Adam Hawa dengan telak memasuki wilayah sentral yang menjadi tanda tanya besar dalam sejarah peradaban manusia, yaitu tragedi awal penciptaan.

Seperti kita ketahui bahwa sejarah awal penciptaan adalah wilayah yang sulit ditembus dengan data-data yang kiranya mudah memuaskan kebutuhan manusia modern. Awal penciptaan seakan menjadi monopoli sejarah kitab-kitab suci. Tak ada data selain sumber itu, bahkan penelitian arkeologis sekalipun. Hanya dengan kepasrahan iman (dari penjelasan-penjelasan dalam kitab-kitab suci), kenyataan itu bisa kita rujuk.

Namun, Muhidin menolak untuk menerima secara cuma-cuma monopoli sejarah itu, sambil melangsungkan kenyataan status quo di mana manusia yang dirancang Tuhan sebagai makhluk yang lebih baik dari iblis, jin, dan malaikat ternyata lebih buruk kelakuannya dari binatang. Muhidin pun enggan pula langsung menunjuk Tuhan sebagai yang salah.

Karena itu, ia berusaha sekeras mungkin menelusuri proses-proses awal penciptaan dengan imajinasi yang luar biasa nakalnya. Inilah prestasi gigantik Muhidin dalam Adam Hawa. Adam Hawa membangun satu konstruksi sejarah baru dalam banyak dimensi konsekuensi.

Simaklah tafsir unik penciptaan bahwa Tuhan Yang Mahaperancang patung menyuruh Malaikat Pesolek agar dapat merayu kaum gipsi untuk membuat patung sebagaimana dirancang Tuhan dalam gulungan gambar: “Dahulu kala, segala makhluk di Negeri Kabut tahu bahwa Tuhan adalah pematung yang lihai. Juru lempung mandraguna. Darinyalah gambaran pertama sosok yang kelak dinamai Adam dibentuk pertama kali. Gambar itu lantas diserahkan kepada budak-budak gipsi untuk dikerjakan. Kaum budak gipsi adalah ciptaan Tuhan yang kurang memuaskan, yang sudah hidup ribuan tahun lamanya.” (hlm 14)

Ketika satu malaikat lengah mendengar titah Tuhan tentang penciptaan ini maka Tuhan pun berang dengan tangannya yang panjang mahapanjang meraih telinga malaikat itu dan memutarnya hingga putus. Terang saja peristiwa jewer Tuhan itu diikuti oleh erangan mengerikan, hingga malaikat-malaikat lain pun cepat tanggap dan kembali meneruskan titah Tuhan itu. Belum lagi cerita versi lain yang menceritakan kalau Adam dilahirkan dari ketiak kanan Tuhan, sampai cerita pun berisiko ekstrem.

“Baiklah, ternyata kau, ciptaanku, pilih keluar lewat ketekku yang kanan. Uh, hahahahaha. Aduh, gatal. Aduh, eh kakimu jangan kau gesek-gesekan di situ. Geli, tahu!” Tuhan lalu berjingkrak-jingkrak seperti sedang mengalami kesurupan mahakesurupan. (hlm 27)

Begitulah Tuhan menjadi kian “baru”, sebab ia berkali-kali digambarkan secara antromoforsis yang ekstrem, lewat dimensi ketubuhan yang manusiawi. Muhidin entah ia sekadar membangun kompleksitas cerita yang tak kabur, karena Tuhan di situ sudah disesuaikan dengan struktur cerita, yang karenanya tak sepenuhnya kuasa, ataukah karena Muhidin merasa perlu memprofankan Tuhan agar kebebasan manusia tetap dituntut pertanggungjawabannya sendiri, di luar Tuhan.

Lewat perspektif ini, maka Adam Hawa di mata saya mampu menghamparkan dengan amat baik misteri kehidupan sunyi di Taman Eden. Buah Khuldi, Hawa, Khabil, Munah, Maia, Idris, Marfu’ah menjadi anasir-anasir baru yang menjelaskan bagaimana manusia kelak hanya tumpukan lembar kehidupan licik-picik, dendam kesumat tanpa akhir. Novel yang sangat mengharu biru pikiran dan perasaan ini benar-benar menguji keilmuan dan keimanan kita. Inilah gangguan Muhidin atas posisi keberimanan kita atas kisah-kisah termaktub dalam kitab suci. Apalagi bila kita telusuri konflik per konflik cerita Adam Hawa.

Dengan ketangkasannya, Muhidin meletakkan konflik cerita sejak penciptaan Adam, asal usul pohon Khuldi di Taman Eden yang tak lain merupakan pikiran licik Malaikat Pesolek kepada kaum gipsi, hingga datangnya perempuan pertama di sisi Adam.

Di usianya yang kian dewasa, Adam dikejutkan oleh kedatangan sesosok makhluk yang setelah ditelisiknya secara detail memiliki 3 perbedaan darinya: memiliki payudara berputing, memek, dan leher yang indah. Maia nama perempuan itu. Muhidin menuliskannya sebagai perempuan pertama sebelum Hawa di Taman Eden. Kehausan berahi Adam sebagai pemangku kekuasaan Tuhan di kesunyian Taman Eden membuat ia berlaku habis-habisan memerkosa Maia, yang digambarkan sebagai perempuan cantik, padat, menggairahkan, namun tak pasrah di bawah kekuasaan lelaki, khususnya dalam pencapaian kenikmatan seksual. Maia tak mau disamakan dengan persetubuhan ala menjangan (rusa). Ia minta gaya persetubuhan lain, gaya persetubuhan perempuan di atas.

Tapi Adam menolak dengan alasan tak ada hukumnya perempuan dapat menyetir gaya seks lelaki. Maia berontak. Ia lari setelah meninggalkan luka di pelipis Adam dengan kaki kirinya. Dalam pengembaraannya, dendam Maia atas Adam dimulai. Adam adalah pemerkosa, putra Tuhan yang telah bertindak semena-mena. Kehadiran Maia sebagai perempuan pertama sebelum Hawa bukan saja gugatan menohok atas kitab suci, tapi sekaligus meruntuhkan semua bangunan konsep penciptaan kitab suci.

Kenakalan pengarang ternyata tak berhenti di sini saja, sebab semua detail yang dihamparkannya tak memiliki sandaran tekstual di teks mana pun, termasuk Alquran dan Perjanjian Lama.

Novel ini coba membangun konflik yang keras dan kompleks di antara dua keluarga yang dibangun oleh dua motif perempuan tanpa pretensi Tuhan. Maia yang bersuamikan Idris (adik Adam yang diusir paksa Adam) membangun keluarganya di Taman Kiram dengan dendam untuk menghabisi Adam, sedangkan Hawa membangun keluarga di Taman Eden dengan motif melangsungkan kehidupan. Maia melahirkan Marfu’ah, sedangkan Hawa melahirkan kembar Khabil dan Munah.

Hadirnya tokoh-tokoh ini bukan kebetulan belaka, tapi mempertegas rumusan cerita bagaimana pangkal masalah coba diletakkan di pundak Adam. Bagi Hawa, Adam adalah lelaki putra Tuhan yang telah berbaik hati menghadirkan dirinya di dunia (dengan tulang rusuknya), sedangkan bagi Maia penciptaan Adam adalah bukti kecerobohan terbesar Tuhan.

Tapi bagi Munah, Khabil, maupun Marfu’ah, Adam adalah putra Tuhan sekaligus musuh bersama yang wajib dimusnahkan dengan motif yang berlainan. Khususnya bagi Khabil dan Munah, Adam adalah ayah yang membosankan dan seumur hidup belum pernah mereka temukan tersenyum. Bahkan, Munah ketakutan setengah mati berdekatan dengan Adam karena takut diperkosa Adam. Beberapa kali Khabil dan Adam benturan fisik hingga Khabil terusir dari Taman Eden, yang membuat Munah menggigil kesepian.

Sementara itu, Marfu’ah yang sejak lahir dibimbing Maia dengan dendam hidup dengan tujuan tunggal; bagaimana menghabisi Adam di Taman Eden. Dendam itu makin menggumpal setelah Marfu’ah dan Maia bertemu Khabil yang kemudian menjalin percintaan aneh dan perselingkuhan purba. Hingga Maia mengetahui bahwa Khabil ternyata adalah anak Adam, dan Maia diketahui Khabil sebagai perempuan sebelum ibunya Hawa. Maia menceritakan ulang kebrutalan Adam di hadapan Marfu’ah dan Khabil, hingga diambil keputusan bersama bahwa Adam harus dibunuh dengan cara tercantik yang telah lama dirumuskan Maia. Di Taman Eden Marfu’ah memergoki Adam sedang menggantung jasad Munah setelah dua hari sebelumnya disekap dan dicekiknya.

Di Taman Eden itulah Marfu’ah merayu dan membanting Adam dengan sangat halus. Adam yang putra Tuhan mata keranjang dan haus seks itu dengan mudah menerima ajakan bersetubuh di bawah Khuldi, yang tak dinyana Adam bahwa sebilah batu runcing dipersiapkan Marfu’ah di balik pakaiannya. Di puncak berahi, Marfu’ah menikam lambung Adam. Adam mati terduduk, mengutuk sejadinya, sambil meremas perutnya yang bocor.

Inilah novel dengan ketangkasan bercerita yang baik. Impresif. Mengganggu. Berlatar sejarah. Tapi terserah Anda, sebab di mata saya, novel ini kemudian hanyalah bagian dari sebuah parodi panjang tentang awal penciptaan manusia, ketika imajinasi harus menembus batas akar sejarah umat manusia yang tak bisa mengakhiri sejarah dendamnya sendiri. Dengan mengembalikan kisah sejarah dendam ini kepada sejarah di Taman Eden, maka novel ini menjadi sebutir tafsir dari misteri tak bertuan.

Judul Buku: Adam Hawa
Penerbit: ScriPtaManent, 2005
Tebal: 166 halaman

* Chavchay Syaifullah, alumnus rabithah ali Alamsyah (arab saudi) dan sekolah tinggi filsafat driyarkara (jakarta)
Dijumput dari: http://akubuku.blogspot.com/2007/07/chavchay-syaifullah-muhidin-m-dahlan.html