Reiny Dwinanda
_Republika, 10 Feb 2008
Tahun Baru Cina, Imlek, atau yang dikenal dengan istilah Sin Tjia belum lama berselang. Semaraknya masih terasa di beberapa lokasi strategis di berbagai kota di Indonesia. Warga yang bukan keturunan Tionghoa pun turut merasakan keriangan perayaan pergantian tahun itu lewat berbagai pertunjukan seni tradisional Tionghoa.
Pesta menyambut datangnya tahun tikus tanah juga meriah di Hotel JW Marriott, Jakarta. Di sana, pada malam pergantian tahun berlangsung pertunjukan budaya Tionghoa yang dapat dinikmati seluruh tamu hotel. ”Acara ini kami gelar menyusul diperbolehkannya perayaan Imlek oleh pemerintah,” cetus Marketing and Communication Manager Hotel JW Marriott, Ina Ilmiaviatta.
Pihak manajemen Hotel JW Marriott memilih beberapa seni tradisi Tionghoa untuk ditampilkan di hadapan para tamu. Sejak tahun 2002 –di tahun lahirnya Kepres No 19 Tahun 2002 tentang Imlek sebagai hari nasional dan hari libur nasional– barongsai, wushu, tarian, dan permainan alat musik khas Cina terus disajikan untuk menghibur semua yang menikmati santap malam di tiga restoran hotel yang berlokasi di lingkar Mega Kuningan, Jakarta Selatan ini. ”Tahun ini, ada pertunjukan Kie Lin yang sangat langka,” imbuh Ina.
Kie Lin merupakan binatang suci, tunggangan dewa. Tak heran jika pengunjung Hotel JW Marriot menangkap daya magis dalam pertunjukkan Kie Lin berwarna hijau, mewakili unsur langit atau paru-paru dalam tubuh manusia. ”Begitu Kie Lin mendekat, rasanya seram. Tetapi, saya menganggapnya sebagai bagian dari pertunjukan saja,” komentar Dewi Hanafiah, tamu Hotel JW Marriott.
Barongsai, liong, dan Kie Lin memiliki tujuan tersendiri untuk ditampilkan. Entah berupa perlambang kemakmuran, pembawa berkat, maupun keceriaan. Kendati ada kaitannya dengan nilai keagamaan, pertunjukan seni budaya tersebut kini lazim digelar di muka publik. ”Sebelum dicabutnya larangan perayaan Imlek oleh presiden, kami tak bisa mementaskannya,” ungkap Hariyanto Oetama, pimpinan Golden Lion Club, Bogor, Jawa Barat.
Sedikit kilas balik, sesuai dengan Inpres No 14 tahun 1967, kegiatan seni budaya, adat istiadat, dan aksara China di Indonesia dibatasi secara ketat. Seni tradisi Tionghoa tersebut hanya boleh diselenggarakan secara kekeluargaan dan di tempat ibadah saja. Di tahun 2000, pemerintahan yang dipimpin KH Abdurrahman Wahid mencabut Inpres tersebut melalui Kepres No 6 tahun 2000.
Kendati ditampilkan di depan khalayak dengan beragam latar belakang, Hariyanto menganggap kesenian tradisional Tionghoa tidak akan kehilangan makna aslinya. Kesempatan tampil justru bernilai positif bagi masyarakat keturunan Tionghoa. ”Kami senang jika seluruh lapisan masyarakat bisa menerima Imlek yang dirayakan etnis Tionghoa beserta seni tradisinya,” cetus sekjen PB Tarian Naga dan Barongsai Seluruh Indonesia (Pernabi).
Mulai tahun 2001, seni tradisi Tionghoa berkembang pesat di penjuru Tanah Air. Di Bogor saja terdapat sekitar 20 grup liong dan barongsai. ”Ironisnya, di ibukota yang jumlah warga keturunan Tionghoanya paling banyak justru miskin grup liong dan barongsai,” sesal Hariyanto.
Dalam pantauan Hariyanto, tak sampai 10 grup liong dan barongsai yang bergeliat di Jakarta. Karena itu pula dalam berbagai kesempatan tampil di depan publik, grup liong dan barongsai dari Bogor lebih sering mendapat order. ”Kami biasa tampil bukan saja pada saat Imlek tetapi juga ulang tahun perorangan, perusahaan, pernikahan, hingga acara sunatan,” kata penasehat Persatuan Olahraga Barongsai Indonesia (Persobarin).
Mengapa itu terjadi? Hariyanto cuma bisa menduga. ”Liong dan barongsai adalah seni yang hanya bisa dimainkan anak muda yang ulet, tekun, dan memiliki stamina yang baik. Mungkin, godaan kegiatan budaya lain di Jakarta lebih dahsyat hingga anak muda tak begitu tertarik menekuni seni tradisi Tionghoa,” ucap penasehat Persatuan Liong Barongsai se-Indonesia.
Tumbuhnya minat masyarakat kepada kesenian tradisional Tionghoa teramat melegakan hati Hariyanto. Demikian pula dengan dukungan pemerintah yang memasukkan barongsai dalam binaan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sebagai olah raga di bawah cabang wushu. Ini adalah kabar baik bagi penghargaan atas keberagaman di Indonesia.
Sementara itu, organisasi yang mewadahi grup liong dan barongsai masih terus berjuang melestarikan kebudayaan Indonesia etnis Tionghoa. Lebih jauh, Hariyanto berpendapat keikutsertaan anak muda dalam kegiatan seni tradisi dapat menjauhi mereka dari pengaruh narkoba. ”Dari seni budaya pula pembauran bisa terjadi.”
Perlu bukti pembauran yang diklaim Hariyanto? Coba sekali waktu sempatkan menyaksikan pertunjukan liong dan barongsai Golden Lion Club. ”Di kelompok kami, dari 35 anggota ada 10 orang yang bukan keturunan Tionghoa,” papar Hariyanto.
Apa yang membuat warga yang tidak memiliki darah Tionghoa tertarik menekuni barongsai? Mardi, pemuda 16 tahun, awalnya hanya menjadi penonton. Rumahnya yang tak jauh dari padepokan Golden Lion Club membuatnya kerap menyaksikan atraksi barongsai. ”Asyik, aja, menontonnya,” celetuk Mardi.
Berbekal jalinan pertemanan dengan awak Golden Lion Club, Mardi yang asli Bogor diberi kesempatan untuk mencoba memainkan barongsai. Setahun terakhir, Mardi yang menanggur dan tidak memiliki cukup biaya untuk mengenyam pendidikan lanjutan tingkat atas, berkonsentrasi sebagai pemain barongsai. ”Kalau lagi ada order, hasilnya cukup untuk hidup sehari-hari,” tandas Mardi yang menjadi pemain ekor barongsai.
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=AAVcVVEDVwIB