Sastra Jogja, Catatan, dan Harapan

Sri Wintala Achmad
Kedaulatan Rakyat, 6 Jan 2013

“Dari jauh aku masih menangkap degup jantungmu, Yogyakarta. Degup
jantung kehidupan seni, budaya, dan sastra yang tidak hanya turut menopang bangunan peradaban manusia dari keruntuhannya; namun pula akan menyempurnakan jati dirimu sebagai daerah istimewa.”

Sejak Persada Studi Klub (PSK) yang kelahirannya dibidani empat pendekar sastra, antara lain: Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, dan Iman Budi Santosa hingga penghujung tahun 2012 kini; jantung kehidupan sastra (baca: puisi) masih berdegup di Yogyakarta. Beberapa penggiat sastra, semisal: Hari Leo, Ons Untoro, Hamdy Salad, Jabrohim, Faruk HT, Bustan Basir Maras, dll masih konsisten untuk tetap menggelar event sastra “Baca (Diskusi) Puisi” pada setiap bulannya.

Dari banyaknya event sastra yang digelar di beberapa kantong budaya, semisal: TBY, Rumah Budaya Tembi, PKKH UGM, Kampus UAD, dll kiranya mampu memberikan ruang interaksi kreatif di lingkup masyarakat sastra hingga lahirlah kreator-kretaor muda yang akan menjaga degup jantung kehidupan sastra di Yogyakarta. Sekalipun tidak menutup kemungkinan, kalau event tersebut juga menjadi media silaturahmi dan kangen-kangenan sesama sastrawan.

Memang tidak dapat disangkal, aktivitas sastra di Yogyakarta yang dimotori oleh para penggiat di muka masih berkutat pada genre puisi. Pengertian lain, aktivitas sastra yang cenderung mengacu pada baca, musikalisasi, dan diskusi puisi tersebut belum merambah jauh pada dua genre sastra lainnya, yakni: cerpen dan novel. Padahal dua genre sastra yang memiliki daya tarik bila dibacakan, diteatrikalisasikan, atau didiskusikan (cerpen); atau diteatrikalisasikan atau didiskusikan (novel) dalam suatu event akan mengundang perhatian dari banyak masyarakat sastra. Masyarakat yang tidak hanya terbatas pada para cerpenis atau novelis, namun pula pada pembaca dari dua genre karya sastra tersebut.

Di samping itu, bila para penggiat sastra mulai merambah pada aktivitas sastra yang berhubungan dengan cerpen dan novel, maka citra Yogyakarta sebagai salah satu barometer kehidupan sastra di Indonesia akan mengalami keberagamannya. Mengingat kehidupan sastra di Yogyakarta yang masih didegupkan jantung kehidupannya oleh para kreator hingga sekarang tidak hanya sekadar puisi, namun pula karya cerpen dan novel.

Berpijak dari pandangan di muka, maka penulis sangat menyambut gembira saat komunitas sastra UAD yang dimotori Jabrohim tersebut menyelenggarakan event baca dan diskusi cerpen (Rabu, 7 November 2012) dengan melibatkan mahasiswa dan dihadiri beberapa sastrawan Yogyakarta dan Jawa Tengah, semisal: Teguh Ranusastra Asmara, Bambang Darto, Slamet Sabrawi, Khrisna Mihardja, Triman Laksono, Otto Sukatno Cr, Jabrohim, Daru Maheldaswara, Ons Untoro, Ardian Khrisna, Sigit Sugito, Hamdy Salad, Budi Wiryawan, Boedi Ismanto, dll. Bahkan tidak hanya sebatas rasa kegembiraan, karena event yang menghadirkan pembicara Jayadi Kastari (redaktur budaya Harian Kedaulatan Rakyat) tersebut semakin meyakinkan penulis kalau penyelenggaraan event baca dan diskusi cerpen sesungguhnya memiliki daya tarik tersendiri. Terlebih dalam event tersebut, sang pembicara juga membongkar perihal rahasia sukses agar sebuah karya cerpen dapat tembus media massa.

Faktor lain yang diharapkan menjadi tanda terkukuhkannya eksistensi Yogyakarta sebagai salah satu barometer sastra di Indonesia adalah gagasan Ardian Khrisna dan Zaenal Fanani yang akan merealisasikan event temu penulis novel fiksi sejarah nusantara secara bulanan di makam Panembahan Senopati Kota Gede pada penghujung tahun ini. Selain untuk mempererat tali persaudaraan sesama penulis, event tersebut pula diharapkan mampu memperkaya keragamanan aktivitas sastra yang selama ini telah berlangsung di Yogyakarta.

Tidak luput pula, event temu penulis novel fiksi sejarah nusantara tersebut ditujukan untuk melakukan ziarah pada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat. Raja Kadipaten Pakualaman III yang disemayamkan di makam Kota Gede. Sang kreator Serat Piwulang, Serat Darma Wirayat, dan Serat Ambiya Yusuf yang sepak terjang kesastrawanannya hampir tidak pernah dikenal oleh masyarakatnya sendiri.

Arkian diharapkan, apabila keragaman aktivitas sastra yang meliputi puisi, cerpen, dan novel tersebut dapat terwujud; maka citra Yogyakarta sebagai salah satu barometer kehidupan sastra di Indonesia akan menunjukkan pamornya. Sekalipun untuk mewujudkan harapan tersebut niscaya dibutuhkan kerja keras dan kerja sama secara professional dari berbagai pihak terkait. Semoga harapan ini akan menjadi bahan permenungan bersama dalam upaya meningkatkan perkembangan sastra di Yogyakarta pada tahun 2013 mendatang.

Cilacap, 24 November 2012.