H. Sutan Zaili Asril
padangekspres.co.id 16/12/2012
INSYA Allah, pada Jumat (21/12) malam nanti, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Cucu Magek Dirih akan meluncurkan lima dari tujuh novelnya. Kelima novel itu adalah berjudul Revolusi Kaum Guci, Jalan Terjal dan Berliku, dan Mimpi-mimpi Myan—yang ketiganya disebut trilogi Revolusi Kaum Guci. Dua lagi berjudul Prahara di Surau Kaki Bukit, dan Penelokan. Kelima novel itu relatif tebal dengan jumlah halaman di atas 300 halaman. Kalau tadi disebut tujuh novel, ada dua novel lagi, berjudul Aku Anak Pemberontak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (AAP-PRRI), dan Sitti Basulam—dua novel yang terakhir mengambil tema sejarah dan mengambil pelataran peristiwa sejarah (AAP-PRRI mengambil pelataran PRRI, dan Sitti Basulam mengambil pelataran Gerakan 30 September 1965/PKI).
Novel trilogi Revolusi Kaum Guci (Revolusi Kaum Guci, Jalan Terjan dan Berliku, dan Mimpi-mimpi Myan), sebetulnya, semula, adalah sebuah esai Cucu Magek Dirih ketika masih mahasiswa, yang diikutkannya dalam lomba/sayembara penulisan antarmahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Departemen Agama RI di waktu itu (1978). Esai berjudul Menjadikan Surau sebagai Tempat Ibadah dan Pusat Kegiatan Kaum keluar sebagai juara ke satu. Lalu, setelah menjadi wartawan/koresponden Harian Pagi Kompas Jakarta di Provinsi Sumatera Barat (1981), ada kehendak Cucu Magek Dirih membukukan esainya itu. Lalu, gara-gara Slamet SM, yang berencana akan menerbitkan, sisa dua rangkap naskah belasan halaman diketik double-folio itu hilang di tangan Slamat SM. Dikasihkan satu sisa rangkapnya, juga hilang. Lalu, muncul keinginan untuk ”menulis ulang” ide semula—dalam bentuk novel.
Akan halnya novel Prahara di Surau Kaki Bukit adalah novel yang gagasan dan coretan kasarnya sudah dilakukan sejak Cucu Magek Dirih jadi mahasiswa Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (FR-IAIN) Imam Bonjol Padang (1974). Ketika itu, Cucu Magek Dirih termasuk ”warga” Pusat Kesenian Padang—di kemudian hari menjadi Taman Budaya Padang. Gagasan dan garis besar novel Prahara di Surau Kaki Bukit itu disampaikan Cucu Magek Dirih pada seniorya, penyair/sastrawan Hammid Jabbar dan Leon Agusta. Kedua beliau tertarik dan memberikan dukungan moril. Bahkan, tiap bertemu selalu ditanyakan, apa novelnya terus ditulis. Bahkan, saat sudah jadi wartawan Kompas pula, ketika bertemu Hammid Jabbar dan Leon Agusta di Jakarta masih selalu menanyakan nasib kelanjutan penulisan novel itu.
Cucu Magek Dirih melihat novel Prahara di Surau Kaki Bukit adalah karya novel yang terbaiknya. Novel mengambil pelataran cerita pasca-Gerakan 30 September 1965 di mana banyak bintara aktif dan pensiunan berada di nagari—termasuk di antaranya anak dan kemanakan dari kaum dalam nagari yang pulang kampung. Peranan bintara aktif dan pensiunan itu tidak hanya dalam penumpasan kader/anggota/pendukung/simpatisan PKI, tapi, juga menyilaukan pemuka kaum dan warga kaum dan bintara pensiunan masuk dalam struktur kepemimpinan adat Minang di nagari. Ada di antaranya memang tahu/mengerti adat, tapi, lebih banyak yang tidak tahu—apalagi mengerti—karena sudah merdeka pergi dari kampung sejak muda/baru kembali ke kaum setelah pensiun sebagai bintara. Lalu, kepemimpinan adat Minang yang semula luhur disusup hal berwajah kepentingan sampai menimbulkan konflik dalam kaum.
Akan halnya novel Penelokan—nama novel diambil dari nama sebuah dusun di bibir tebing turun ke danau Batur di dekat Gunung Batur Bali, ditulis ketika Cucu Magek Dirih masuk ke lingkungan Kelompok Usaha Bakrie (KUB)—jadi anggota direksi. Cucu Magek Dirih mengenal wajah konglomerasi/konglomerat Indonesia berbagai hal positif dan negatifnya. Ini kisah wartawan yang bekerja di satu suratkabar harian Jakarta—sudah wakil pemimpin redaksi, mundur dan masuk ke lingkungan kelompok perusahaan seorang konglomerat. Wartawan itu mampu mengembangkan usaha/perusahaan konglomerat keturunan Tionghoa itu sampai ia jadi Chief Executiv Oficer (CEO) di kelompok usaha konglomerat itu pada usia muda. Setelah sukses, ia mundur/menghilangkan diri dari peredaran, dan ”bersemedi di sebuah rumah di Penelokan— merenungkan perjalanan hidup dan berbagai konflik kehidupan yang dilaluinya.
SEBETULNYA, atas dorongan beberapa orang yang mengenal dan membaca tulisannya, ada keinginan Cucu Magek Dirih membukukan karya-karya jurnalistiknya, sejumlah makalah tentang jurnalistik, dan makalah-makaah tentang manajemen pers. Karya jurnalistik itu, antara lain, memilih di antara—katakan masing-masing 10 berita/laporan yang menonjol selama bertugas di Sumatera Barat, di Riau, dan Sumatera bagian Selatan. Lalu, Cucu Magek Dirih menceritakan bagaimana meliput peristiwa dalam berita/laporan itu. Di antaranya ada karya yang cukup monumental berjudul ”DAS Musi: Batang Hari Sembilan” yang terdiri atas empat laporan dimuat Harian Pagi Kompas di dua halaman tengah yang rupanya dipilih Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan, sebagai memenangkan penghargaan jurnalistik Kalpataru tahun 1989.
Di antara makalah-makalah Cucu Magek Dirih tentang jurnalistik sejak ia bertugas di Palembang, Jakarta, Denpasar, dan di Padang. Lalu, tentang manajemen pers/manajemen penerbitan pers—ada kebiasaan Cucu Magek Dirih membuat proposal setiap rencana investasi dan pengembangan media, baik Harian Umum Sriwijaya Post Palembang, Harian Nusa Tenggara di Denpasar, dan Harian Pagi Padang Ekspres—dan termasuk anak-anak perusahaan media cetak dan perusahaan stasiun televisi lokal di lingkungan Padang Ekspres Group. Juga proposal investasi dan pengembangan penerbitan Harian Pelita di Jakarta. Ada rencana membukukan pengalaman Cucu Magek Dirih di dalam mengelola tiga suratkabar di daerah, buku tentang manajemen penerbitan pers daerah, dan termasuk rencana membukukan semua tulisannya tentang Gamawan Fauzi, dan tujuh novel.
Rupanya, ketika seniman/budayawan Wisran Hadi berkunjung ke rumah—melihat Cucu Magek Dirih sakit/istirahat di rumah, ia memberikan sugesti agar mendahulukan untuk menerbitkan novel dari buku lainnya. Biasa wartawan membukukan karya jurnalistik, tapi, wartawan membukukan novelnya, itu luar biasa—jarang terjadi. Wisran Hadi memang mengetahui Cucu Magek Dirih juga menulis novel. Kurang tiga bulan kemudian, Wisran Hadi berpulang, dan Cucu Magek Dirih berutang moril mendahulukan membukukan novel. Rencana penerbitan buku novel terkendala karena sejak medio tahun lalu, Cucu Magek Dirih sakit-sakitan/sering masuk-keluar-masuk rumah sakit (di Padang, Kuala Lumpur, Jakarta, dan juga di Batam—termasuk di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta). Karena itu, baru setelah agak pulih, Cucu Magek Dirih dapat mewujudkan rencana membukukan novel itu.
SUNGGUH Cucu Magek Dirih merasa diri kecil, yang sudah merasa cukup bersyukur dan berbahagia dengan apa yang dapat dilakukannya sebagai wartawan, dan kemudian jadi eksekutif bisnis pers. Sesungguhnya, sebagai seorang dari keluarga sangat miskin harta dan semula hanya bercita-cita menjadi guru agama (Islam) di sekolah rakyat atau sekolah dasar (SD), dan cita-citanya naik/berubah menjadi guru bahasa Arab di sekolah menengah karena mendapat kesempatan melanjutkan kuliah di Jurusan Bahasa Arab FT-IAIB Imam Bonjol—walau dengan susah payah (tinggal dan jadi garim masjid, serta mengajar mengaji di beberapa rumah). Kemudian, karena jadi seorang aktivis, rantauan pemikirannya berubah lagi/berkembang—seakan ia tak konsisten dan setia dengan cita-citanya semula.
Akan hal dunia tulis-menulis dan pers sudah digelutinya sejak kelas IV Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4/6 Tahun Padang dan sejak masuk pada FT-IAIN Imam Bonjol. Minat barunya yang semula hanya membuatnya membuat cabang cita-citanya dari menjadi guru agama di SD juga menjadi penulis/pengarang—menjadi sastrawan. Cucu Magek Dirih cukup gandrung membaca/mengikuti perkembangan—juga meminati karya sastra seperti puisi dan novel yang rupanya membuatnya membayangan diri menjadi seorang pujangga. Cucu Magek Dirih sudah merintis minat jadi pengarang itu sejak di PGAN 6 Tahun Padang dan kemudian di IAIN Imam Bonjol Padang. Cucu Magek Dirih pun termasuk merasa diberi kesempatan oleh halaman budaya minggu ini/halaman kebudayaan Harian Umum Haluan yang diasuh penyair Rusli Marzuki Saria—setidaknya Cucu Magek Dirih merasakan dirinya demikian.
Lalu ia menjadi wartawan dan kemudian menjadi eksekutif bisnis pers, baik masih di kelompok usaha Kompas-Gramedia (KKG), di kelompok Usaha Bakrie (sampai ia masuk dan keluar-masuk empat kali), terakhir di kelompok usaha pers Jawa Pos/Riau Pos Group (JPG/RPG)—melalui Padang Ekspres Group. Cucu Magek Dirih menyebut diri tersesat dari semula bercita-cita jadi seorang guru, menjadi wartawan, dan kemudian tersesat lagi menjadi eksekutif bisnis pers—menjadi pebisnis/pengusaha bidang pers/media massa. Jadi guru agama secara formal mungkin sudah berjauhan. Menjadi pengarang, karena menjadi wartawan dan menjadi eksekutif bisnis media. Kata seorang senior Cucu Magek Dirih yang pengarang, kewartawanan cenderung membunuh kepengarangan di dalam arti menulis puisi dan menulis cerita pendek dan atau menulis novel.
Begitulah, kalau kini Cucu Magek Dirih menerbitkan novel-novelnya menjadi buku, ia sendiri tidak tahu, apakah yang ditulisnya itu memang karya sastra. Ada kegamangan dalam dirinya, bercampur-aduk antara jurnalistik dan sastra—seperti lebih/sangat terlihat pada dua novel AAP-PRRI dan Sitti Basulam yang insya Allah juga dibukukan dalam waktu dekat. Seringkali Cucu Magek Dirih membujuk dirinya sendiri bahwa apa pun yang ditulisnya dalam bentuk novel mungkin tidak usah dipikirkannya: apa memang karya sastra atau bukan. Entahlah. Mungkin benar begitu. Harapnya, penerbitan buku novel-novelnya—kini lima dari tujuh novelnya sudah selesai, mengobati hatinya karena pernah bercita-cita menjadi seorang pengarang—kepada dirinya sendiri Cucu Magek Dirih hendak mengatakan bahwa ia sudah berusaha bersetia dengan cita-citanya semula: juga menjadi pengarang.
Dijumput dari: http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=2763