Eksistensi Sastra dalam Kebijakan Industri Kreatif

Nur Ahmad Salman H *
Harian Haluan, 6 Jan 2013

Dewasa ini, pemerintah sepertinya sangat gencar untuk mempromosikan hasil dari industri kreatif. Bahkan, pemerintah terlihat serius dalam mengelola produk dari hasil industri kreatif ini. Setidaknya, dengan dibentuknya Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, perhatian terhadap hasil kerajianan masyarakat ini mendapat tempat di sisi pemerintah. Melihat kultur masyarakat Indonesia, dengan pelbagai macam tradisi dan keu­nikan budaya, ekonomi kreatif yang telah diru­muskan oleh pemerintah merupakan suatu kebi­jakan yang relevan.

Industri kreatif adalah bagian yang tidak terpi­sahkan dari ekonomi kreatif. Indonesia menya­dari bahwa ekonomi kreatif, yang berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan meng­andalkan keahlian, bakat dan kreativitas sebagai kekayaan intelektual, merupakan harapan bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit. Hal ini diha­rapkan dapat bersaing dan meraih keunggulan dalam ekonomi global.

Industri kreatif diyakini akan menjadi salah satu penyangga penting dalam pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dengan adanya kelompok kreatif yang mengembangkan ide-ide dan produk kreatif di suatu daerah, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Berdasarkan pada kekuatan intelektual, seni budaya, teknologi, dan berbagai kemudahan yang disediakan oleh perkem­bangan zaman.

Berdasarkan panduan mengenai industri kreatif yang dikeluarkan oleh Kementrian Perdagangan tahun 2008, ada tiga aktor utama dalam pengembangan indusri kreatif. Pertama kaum intelektual, kedua pengusaha, dan ketiga pemerintah. Ketiga aktor ini memiliki peran yang saling mendukung dalam menjadikan industri kreatif, sebagai salah satu alternatif dalam pengembangan ekonomi Indonesia.

Untuk mengembangkan ekonomi kreatif ini, diyakini bahwa kolaborasi antara berbagai aktor yang berperan dalam industri kreatif yaitu Cendekiawan, Pengusaha dan Pemerintah menjadi mutlak dan merupakan prasyarat mendasar. Tanpa kolaborasi antara ketiganya, dikhawatirkan pengembangan ekonomi kreatif tidak berjalan selaras, efisien dan saling tumpang-tindih.

Hal ini dikarenakan, setiap aktor memiliki peran yang signifikan, namun juga memerlukan kontribusi dari aktor lainnya. Bentuk kolaborasi ketiganya merupakan langkah utama yang perlu dirumuskan. Selain itu, kolaborasi ketiganya akan berperan merealisasikan faktor-faktor penggerak yang dapat menggerakkan ekonomi kreatif ke arah pengembangan ekonomi untuk mencapai sasaran industri kreatif nasional yang ingin dicapai.

Subsektor yang menjadi turunan dalam industri kreatif, yaitu: periklanan, penerbitan dan percetakan, TV dan radio, film, fesyen, video dan fotografi, musik, seni pertunjukan, arsitek­tur, desain, kerajianan, pasar barang seni, permai­nan interaktif, layanan komputer dan piranti lunak, penelitian dan pengambangan.

Semua sub sektor turunan dari industri kreatif, merupakan suatu produk yang di dasari pada kreatifitas dari yang memproduksinya. Sumatera Barat memiliki potensi budaya yang unik dan telah dibuktikan dalam sejarah budaya dan intelektual. Demikian juga dengan sistem sosial dan adat budaya masyarakat yang menyimpan banyak potensi, di antaranya budaya kepenulisan seni dan sastra. Munculnya kelompok-kelompok diskusi kepenulisan dari pelajar hingga masyarakat umum, menjadikan dunia kepe­nulisan seni dan sastra diminati oleh berbagai kalangan.

Selain itu, hadirnya kelompok-kelompok pertunjukan seni dan sastra menandakan bahwa Sumatera Barat memiliki potensi dalam pengembangan industri kreatif. Tidak dipungkiri, hal ini tentu akan memberikan keuntungan bagi mereka yang menekuninya.

Budaya kepenulisan dan pertunjukan seni dan sastra merupakan sub sektor turunan dari industri kreatif. Pada bidang kepenulisan, tentu saja hasilnya akan dipublikasikan. Inilah yang menjadikan sastra termasuk dalam industri kreatif. Publikasi ini merupakan bagian dari penerbitan dan percetakan.

Sejumlah bidang dan produk yang termasuk dalam industri kreatif berbasis penerbitan teks sastra adalah berupa novel, antologi cerpen dan puisi, naskah drama, buku cerita bergambar serta penulisan kembali cerita rakyat. Potensi tersebut dapat dipetakan dan dirumuskan untuk kemu­dian dapat dijadikan sebagai salah satu pertim­bangan dalam program pengembangan di berbagai lembaga pemerintah, pendidikan formal dan informal, atau dalam kehidupan masyarakat.

Sehingga budaya kepenulisan seni dan sastra terus berkembang dan minat baca masyarakat menjadi tinggi, serta keinginan masyarakat untuk membeli teks sastrapun meningkat. Tentu saja hal ini akan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Sumatera Barat, khususnya industri kreatif berbasis penerbitan teks sastra, serta menambah wawasan intelektual dan imajinasi masyarakat dengan membudayakan membaca, khusunya membaca teks sastra.

Dengan kebijakan yang telah ditetapkan dalam butir-butir dari industri kreatif, keberadaan sastra menjadi salah-satu sektor dalam pelak­sanaanya. Sastrapun mendapat tempat dalam pengem­bangan ekonomi. Hal ini menandakan, bahwa sastra dapat menjadi alternatif dalam mening­katkan ekonomi nasional.

*) Nur Ahmad Salman H, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20185:eksistensi-sastra-dalam-kebijakan-industri-kreatif&catid=41:kultur&Itemid=193