Mohammad Isa Gautama *
Harian Haluan, 8 Jan 2011
HELAT Seminar Kebudayaan Minangkabau usai sudah. Setelah mendapat resistensi yang sangat keras dari mayoritas kelompok masyarakat, bahkan oleh pemerintah provinsi serta kota Bukittinggi, Gebu Minang ngotot mengadakannya di Padang. Tak sedikit tenaga, waktu, dan perhatian kita terkuras demi mengikuti dan ikut mengekspresikan sikap masing-masing. Sejatinya dialektika itu mengandung sisi positif dan negatif.
Jika diteropong secara mata telanjang, maka setiap perdebatan, dialektika, pro dan kontra, pasti diawali dan berasal-muasal dari pihak yang memulai untuk melakukan inisiatif. Inisiatif ini tentu bermacam pula bentuknya. Ada yang hanya wacana saja, sekadar pikiran selintas atau konseptual saja. Ada pula inisiatif yang ujung-ujungnya mewujud kepada sebuah kegiatan, aktivitas. Ada juga yang lebih konkret, mengarah kepada keputusan-keputusan yang sifatnya mengikat dan mesti dilaksanakan dalam praktik.
Miskomunikasi yang “Tersuburkan”
Ditinjau dari teori komunikasi, maka orang atau kelompok yang berinisiatif inilah yang menempati posisi sebagai source, sumber, atau komunikator. Darinya atau merekalah sebuah pesan berawal dan kemudian dilemparkan melalui mediumnya ke arah komunikan atau orang yang menjadi sasaran komunikasi. Jika pesan yang disampaikan bermuatan positif, dan mampu memancing umpan balik positif pula, serta tidak diganggu oleh berbagai noise (segala macam bentuk anasir yang dapat menodai kejernihan pesan), maka komunikasi akan berjalan efektif.
Efektif ini pun bermakna luas, namun yang pasti cenderung bermakna “aman”, pesan diterima dan direspons balik secara positif tanpa masalah, tanpa penolakan. Kalau hal ini yang terjadi, maka si pengirim pesan dengan penerima pesan berkemungkinan besar akan bersepakat bahkan mungkin akan bahu-membahu mewujudkan ide atau aktivitas yang dilontarkan oleh si pengirim pesan tadi.
Masalah sudah pasti akan terjadi, jika si komunikator mengirim pesan yang tidak bermuatan positif, bahkan sudah diganggu pula oleh banyak noise. Pesan berkemungkinan besar akan dimentahkan kembali oleh komunikan, ditolak, dianggap tidak akan menjamin keefektifan berkomunikasi karena bermuatan negatif. Dampak ekstremnya berupa semakin menjauh dan bertolakbelakangnya posisi antara si komunikator dengan komunikan. Potensi untuk menjalin kerja sama menjadi berbalik potensi untuk bermusuhan.
Pada tataran ini, jika kita bersepakat dengan teori komunikasi, yang dapat pula dipakai dalam konteks kontroversi SKM/KKM ini, maka siapapun akan dengan mudah menganalisis betapa penolakan dari mayoritas masyarakat Minang di ranah dan di rantau bukanlah sekadar penolakan yang sekadar memperturutkan ego atau kepentingan tertentu.
Penolakan dari para penentang SKM/KKM-GM sesungguhnya mesti dinilai sebagai sebuah gerakan moral yang benar-benar hanyalah reaksi dari sebuah aksi penyampaian pesan yang sangat tidak efektif, baik dari segi isi maupun dari segi media (cara menyampaikan dan saluran penyampaiannya) dari Gebu Minang.
Jawaban tegas dari pemprov dan dan Pemkot Bukittinggi saja sudah pula bisa dijadikan rujukan legal-formal betapa penolakan itu didasarkan oleh isi pesan dan cara menyampaikan pesan yang sarat keganjilan. Penolakan yang benar-benar serius itu mestinya bisa dipahami dan ditindaklanjuti dengan instrospeksi yang serius pula dari para penggagas KKM. Ini belum termasuk gelombang penolakan dari berbagai organisasi resmi tingkat provinsi, para tali tigo sapilin (ulama, cerdik pandai, kaum adat), media massa, dan organisasi-organisasi perantau minang.
Jika pada akhirnya penolakan itu kemudian direspons dengan sikap penuh keras kepala dari pihak panitia SKM, memakai prinsip biarkan anjing menggongging kafilah tetap berlalu, maka wajar jika kemudian publik menilai betapa pemaksaan kehendak yang seolah tidak lagi mengindahkan asas-asas musyawarah itu berasal dari egoisme kultural yang justru sangat tidak produktif terhadap iklim berkomunikasi di ranah Minangkabau.
Berbagai mediasi dan musyawarah (pertemuan di kantor Gubernur dan di rumah ketua DPD bisa jadi bukti nyata) yang berujung kepada rekomendasi untuk menunda KKM untuk batas waktu yang tak ditentukan adalah sebuah pesan jelas agar pelaksanaannya ditolak. Di kebudayaan kita, kemampuan membaca yang tersirat di balik yang tersurat sudah tidak perlu diajarkan lagi.
Dibawakan kepada teori dasar komunikasi, pesan yang disampaikan dalam konteks keminangan, selalu mensyaratkan sikap raso pareso, sikap yang paralel dengan konsep introspeksi dan otokritik secara proporsional. Pada titik ini, panitia KKM/SKM telah pula gagal menerjemahkan pesan itu, berarti juga gagal tidak hanya sebagai komunikator, namun juga sekaligus sebagai penafsir pesan, komunikan. Kondisi inilah yang akhirnya “menyuburkan” miskomunikasi dengan pihak yang kontra terhadap KKM/SKM.
Hiperrealitas yang Dipaksakan
Hal lain yang menarik, sekaligus ironis dan bikin miris, para penggagas SKM/KKM dari awal terlalu terjebak untuk memandang realitas terkini kebudayaan Minangkabau hari ini sebagai sebuah “realitas” yang bermasalah. “Persoalan” yang mereka anggap sebagai aleh bakua untuk diadakannya SKM/KKM ternyata bagi mayoritas penentang KKM adalah sebuah realitas yang sudah terdistorsi dalam pikiran si penggagas. Dalam terminologi posmodernisme, mungkin “realitas” versi penggagas SKM/KKM layak disejajarkan dengan konsep hiperrealitas.
Hiperrealitas adalah kondisi “kebablasan” alias lebay dari realitas yang asli. Bagi kaum posmodernis, film-film cetakan Hollywood adalah salah satu contoh konkret dari hiperrealitas yang ditawarkan dalam dunia industri media. Meski bukanlah kondisi asli dari realitas, hiperrealitas mendapatkan legitimasinya manakala nyaris seluruh individu yang “menontonnya” mudah tertipu dan kemudian dalam waktu singkat tersihir oleh gambaran yang ditampilkan dalam dunia hiper tersebut.
Alhasil, para penonton akan dengan gampang terkesima, takjub, dan bahkan percaya dengan kepalsuan-kepalsuan serta rekayasa yang ada dalam dunia hiperrealitas. Dampak terburuknya, mereka akan mengganggap yang hiper lebih nyata dan asli ketimbang yang asli. Yang asli, yang realitas sebenarnya, telah digantikan oleh yang hiperrealitas.
Di manakah dunia hiperrealitas itu “tampil” dan dengan saksama berusaha menyihir kita? Baca dan simaklah dengan mendalam lima kesimpulan yang lahir dari SKM (Menyepakati pedoman ABS-SBK, pembangunan nagari dan kesejahteraan petani, pemberdayaan potensi maritim dan kesejahteraan masyarakat peisisir, pemulihan hak anak nagari, mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana).
Kita bisa baca, betapa sesungguhnya kelima “persoalan” yang tercermin dari rekomendasi itu sesungguhnya adalah hiperrealitas saja dari sebuah realitas sebenarnya di Minangkabau. Butir kedua, ketiga, dan kelima sudah menjadi agenda klasik dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten, dan oleh karenanya menjadi salah samek ketika kemudian diangkat sebagai tema-tema kunci dalam sebuah kongres/seminar kebudayaan.
Butir pertama sangat aneh, karena mencari pedoman adat bsandi syarak, syarak basandi Kitabullah bisa diartikan sebagai penafian yang salah alamat terhadap kitab Alquran sebagai pedoman paling dasar sekaligus sempurna atas pengamalan nilai-nilai ABS-SBK sehari-hari.
Sementara butir keempat terkesan “lucu” tersebab mengesankan klaim sepihak, seolah-olah “anak nagari” selama ini dikekang seluruh haknya berkenaan dengan mekanisme kultural tanah ulayat. Padahal, jika mau bertungkus lumus dengan pengamatan yang serius di lapangan, para anak nagari tidak pernah merasa punya masalah dengan hak-haknya.
Lantas, solusi konkret yang bagaimanakah yang berpotensi benar-benar menyentuh akar persoalan di Minangkabau, jika realitas yang dibahas, direkomendasikan oleh SKM/KKM justru bukanlah realitas melainkan hiperrealitas? Akan lebih bijak jika penggagas SKM sedari awal mau berkomunikasi secara elegan dan efektif dengan elemen-elemen strategis lainnya di ranah Minang, sehingga kita semua tidak harus tercebur dalam silang sengkarut komunikasi yang benar-benar melelahkan dan tidak menghasilkan sesuatu yang produktif.
Ke depan, semoga kita mau menyadari bahwa berkomunikasi tidak hanya melempar gagasan atau pesan, melainkan lebih dari itu, mampu mensinergiskan pesan lewat komunikasi yang efektif. Semoga pula kita mau belajar lebih serius untuk bisa saling menginstrospeksi cara berkomunikasi kita selama ini.
*) Mohammad Isa Gautama, Dosen Ilmu Komunikasi, FIS-UNP.
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=421:miskomunikasi-dan-hiperrealitas-skm&catid=41:kultur&Itemid=193