Tebekule, Konsep Kritik Sastra

Mihar Harahap *
analisadaily.com

Pernah orang bertanya, 1). mengapa saya memilih kritik, 2). apa landasan teorinya, 3). metode dan langkah apa yang saya gunakan dalam mengeritik karya sastra. Kebetulan, ada pertanyaan yang riskan untuk dijawab. Mengingat, 1). ada hubungan dengan pembahasan karya, 2). masih meliputi kegiatan apresiasi sastra, 3). klaim ‘orang’ di media tentang kritik saya, maka saya merasa perlu memberikan penjelasan. Semula (tahun 80-an) saya adalah pembaca karya sastra. Menjadi peteater, pemuisi, pecerpen, penaskah drama dan mentok memilih pengeritik di Sumut.

Pilihan dilakukan karena 1). kebiasaan membaca dan mengoreksi, 2). langkanya kritikus seri- us di Indonesia, apalagi di Sumut, 3). meski pernah memenangkan lomba cipta puisi di Medan, cerpen di Jakarta, tetapi saya lebih tertarik mendapat Hadiah Kreatifitas Sastra DKM bidang kritik/sai bersama Herman KS, kritikus senior sekaligus guru saya. Sebab itu, saya bertekad menjadi kritikus serius di Sumut, meski tak menasional dan mendunia. Saya tinggalkan Aceh, Padang, Jakarta dan Malaysia (kecuali bila rindu menulis) karena saya harus konsen mengeritik karya sastra di Sumut.

Menggauli sastra dengan mesra 1). sejak SD/SMP suka mengarang/membaca buku sastra milik orangtua yang pernah jadi heiho di India, 2). latihan drama/pengamat/jubir di teater Bhayangkara (Anggia Putra), Kartupat (Raswin Hasibuan) dan teater Que (Porman Wilson), 3). turut Omong Omong Sastra sebagai penonton, pembaca puisi, cerpen, visualisasi, 4). kuliah bahasa dan sastra Indonesia di FKIP-UISU dosennya 100 % IKIP Medan, 5). menulis sastra di media/antologi hingga kini dan 6). ikut seminar sastra, teater, pendidikan dan budaya di dalam/luar negeri.

Dampak pergaulan ini, saya cenderung melakukan 1). kritik praktik/kritik terapan (applied criticism) menelisik karya dan pengarangnya, 2). kritik induktif (inductive criticism) mengurai unsur dominan secara objektif dengan pertimbangan kritikusnya, 3). kritik sebagai pembaca (reception criticism) lebih merujuk ke intensitas ‘menikmati’ demi kepentingan pembaca daripada ‘mengkaji’ teori secara mendalam untuk kepentingan keilmuan, 4). pemurnian karya sastra tetapi dengan tidak meninggalkan perkembangan teori sastra, apalagi pengaruh ilmu sosial, filsafat dan agama.

Berdasarkan pergaulan dan kecenderungan ini, maka saya membuat sendiri metode dan langkah-langkah kritik. Disebut metode “TEBEKULE” (Tema-Bentuk – Kuat – Lemah ). Prosesnya 1). mengulas tema, sub tema yang ada di dalam/luar teks, bentuk, unsur bentuk dari puisi, prosa dan drama, lalu 2). mengeritik kekuatan dan kelemahan tema-bentuk karya sastra itu. Langkah pene- rapan 1). membaca, 2). memahami, 3). menginterpretasi, 4). menghayati, 5). menikmati. Dapat dilakukan berkali-kali, sehingga tercapai tujuan mengapresiasi/mengeritik karya sastra secara maksimal.

Mengapa TEBEKULE? Pertama, karya sastra itu wajib memiliki struktur. Kalau tidak, akan centang-perenang dan akibatnya tak dapat dinikmati atau harus diperbaiki kembali. Kedua, struktur itu terbagi 2 yakni 1).tema ( sub tema, hingga sekedar curahan pikiran/perasaan) atau apa yang ingin disampaikan dan 2). bentuk (ungkapan bahasa, karakteristik, plot, setting, suspen dan lainnya) atau bagaimana menyampaikan. Ketiga, tema dan bentuk sama sebangun, sama penting dan saling memengaruhi. Begitupun, bila dibanding antara keduanya, maka lebih utama bentuk daripada tema.

Keempat, setiap karya sastra memiliki kekuatan dan kelemahan, baik tema maupun bentuk. Memang, sebaiknya karya tanpa cacat sedikitpun. Kelima, kalau apresiasi struktur adalah hasil pemahaman kritikus untuk pembaca, maka apresiasi kekuatan/kelemahan merupakan penghargaan kritikus untuk pencipta. Disinilah peran kritikus itu. Keenam, memotivasi pencipta dan pembaca. Pencipta hendaknya dapat menahan/meningkatkan kekuatan, selain mampu membaiki/menyempurnakan kelemahan. Pembaca dapat menikmati karya terbaik dan memajukan daya apresiasi.

Hemat saya, masyarakat sastra itu 1). pencipta, 2). pembaca, 3). kritikus (setelah diperluas). Pencipta bisa menjadi pembaca, sedang pembaca tidak bisa menjadi pencipta (kalau bisa bukan pembaca namanya). Persoalannya,kemampuan apresiasi pembaca karya sastra pencipta relatif rendah. Solusinya lebih baik menaikkan daya apresiasi pembaca, ketimbang menurunkan kualitas karya pencipta. Hal ini berarti peran kritikus sebagai jembatan menghubungkan pencipta dan pembaca, ke pencipta menghargakan, sedang ke pembaca memahamkan karya kritikan.

Mencermati eksistensi, peran dan sistem apresiasi karya sastra, sewajarnya 1). kritikus bebas memilih metode dan langkah pendekatan, 2). dapat menggunakan metode dan langkah sendiri 3). dapat mengeritik secara bertahap sesuai sistem, 4). boleh tak menggunakan metode dan langkah l apapun, 5). berlaku jujur, objektif dan adil terhadap karya sastra kritikan. Dengan demikian mestinya tidak ada satu orang/pihak manapun yang dapat menggiring/memaksa metode dan langkah tertentu, kecuali untuk kepentingan akademik. Apalagi kritikus sudah menemukan ciri khasnya.

Misal, Damiri Mahmud menggugat A. H. Johns, A.Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana dan Abdul Hadi WM yang mengatakan puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah bertema religi bahkan sufistis. Sebab menurut kritikus serba bisa ini, hanyalah puisi bertema cinta, semisal cinta Amir pada kekasihnya Ilik Sundari atau Aja Bun. Terlepas benartidaknya interpretasi ini, namun dia telah membuktikan, metode dan langkah struktural tidak ketinggalan zaman melainkan masih hangat/ menarik. Bayangkan 28 tahun dia pertahankan interpretasi dan metode itu di hadapan pembaca.

Semula, dia gulirkan pada Pertemuan Kritikus dan Sastrawan Indonesia, DKJ, 1984, di Jakar- ta. Di Medan pada seminar/diskusi/pertemuan sastrawan di UNIVA,1989, Mimbar Umum,1990, Pemda Tebing Tinggi,1993, FKIP-UISU, 1995, USU, 1996, TBSU, 1997, DKSU, 2000. Puncaknya, pada Seminar Sastra Bandingan Antar bangsa, 2007, di Kuala Lumpur Malaysia dan dibukukan BPAD Sumut, 2012, di Medan. Tak seorang peserta pun yang menggugat balik soal metode struktural ini, kecuali berdebat tentang hasil interpretasi antara romantik dan sufistik.

Ada ‘orang’ yang mengatakan di media (langsung atau tidak) bahwa 1). saya menggunakan metode struktural dan strukturalisme, 2). menurutnya metode itu dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman, 3). dianjurkan agar saya mengganti metode itu dengan metode lain produk luar negeri. Sekarang saya katakan di sini bahwa ‘orang’ tersebut salah kaprah, seakan betul tetapi salah. Dipastikan saya belum menggunakan metode struktural dan aliran strukturalisme itu, sebab terus-terang apa yang saya lakukan selama ini, tidak sesuai dengan sistem dan langkah-langkahnya.

Bagi saya metode tak ada yang kuno/ketinggalan zaman atau modern/terkini, kecuali yang lama dan yang baru. Sebab yang lama belum tentu kuno/ketinggalan zaman dan sebaliknya, yang baru belum tentu modern/terkini. Yang pasti bahwa 1). adanya yang baru karena berbeda dengan yang lama. Kalau tidak, tentu yang baru sama dengan yang lama, tetapi 2). yang lama dan yang baru sama-sama memiliki ruang dan waktu, bahkan 3). memiliki keunggulan dan kelemahan sesuai konsep (rumusan, lang- kah-langkah) dan kemauan sastra (hidup, berproses dan berkembang).

Saya sangat membedakan struktur, struktural dan strukturalisme. Struktur adalah satuan unsur yang harus dimiliki setiap karya sastra, struktural adalah metode pendekatan dalam usaha mengapresiasi karya sastra dan strukturalisme adalah aliran, asas atau kecenderungan dalam memahamkan karya sastra. Karena itu, jika saya mengeritik satuan unsur disebut struktur, bukanlah berar- ti saya telah menggunakan metode disebut struktural, apalagi sampai membicarakan aliran disebut strukturalisme. Hal ini hendaknya dapat dimengerti agar orang tidak keliru mengatakan saya.

Menurut saya bahwa satuan unsur itu ibarat fondasi rumah, apakah sudah kuat atau belum sebagai syarat mutlak rancang-bangun cipta sastra. Kalau fondasi telah tertancap ke bumi persepsi sensitiviti bahkan mengakar ke struktur yang paling dasar, maka ‘apa’ dan ‘bagaimana’ pun kondisi rumah, akan terlihat/terasa lebih baik, harga jual lebih besar dan kandungan nilai lebih tinggi. Jadi, sambil menyelam memperbaiki fondasi, saya minum air susu sastra yang bermakna. Jika dapat saya minum air susunya saja, sebab memperbaiki fondasi juga terasa meletihkan.

Setahu saya, metode/aliran struktural/isme ini beragam, paling tidak strukturalisme genetik, strukturaslisme dinamik, strukturalisme semiotik dan mungkin strukturalisme lainnya. Hal ini menunjukkan, metode struktural dan aliran strukturalisme 1). mengalami perkembangan sesuai ragamnya, 2). berarti tidak kuno apalagi ketinggalan zaman, 3). tetap mengurai satuan unsur/struktur sebagai ide dasarnya. Karena itu, biarkan Damiri Mahmud, Mihar Harahap, Suyadi San, Afrion, Yulhasni menggunakan metode sendiri tanpa harus dilaga dengan metode lain sebagai pembenaran.

Dengan demikian, (sekali lagi) saya ingin menegaskan, pertama, metode, ragam dan langkah-langkah kritik bukankah kritik itu sendiri. Metode hanyalah cara, kiat atau sistem seorang kritikus untuk memudahkannya melakukan kritik terhadap karya sastra. Kedua, kebetulan metode yang saya gunakan adalah TEBEKULE, metode praktis dan dinamis dalam mengkritik karya sastra. Ketiga, sesungguhnya kritik itu sendiri berada dalam genggam tangan kritikusnya. Apa dan bagaimanapun metode itu, jauh lebih penting adalah sampai sejauhmana ketajaman pisau kritik tersebut.

*) Penulis Kritikus Sastra Sumut dan Dekan FKIP-UISU Medan.