Tuhan, dari Masa ke Masa

Riza Multazam Luthfy
Harian Haluan, 3 Feb 2013

Apa yang dipegang teguh oleh Karen Armstrong mempunyai keserupaan dengan Arnold Toynbee sejarawan terke­muka asal Inggris. Karen Armstrong menancapkan postulat bahwa manusia merupakan makhluk spiritual. Hal ini bisa ditelisik dari sejumlah kajian yang bertahun-tahun genap dila­kukan.

Terdapat alasan logis yang menjadi latar belakang me­nga­pa ia nekat melanting kesimpulan bahwa selain Homo sapiens, manusia juga Homo religiosus. Perempuan yang pernah menjadi biara­wati Katolik Roma tersebut meyakini bahwa manusia mulai mengabdikan diri kepa­da dewa-dewa setelah mereka insaf. Agama-agama mereka ciptakan pada saat yang sama dengan karya seni. Embrio keimanan mereka menunun­jukkan ketakjuban sekaligus misteri di mana dua-duanya merupakan unsur penting pengalaman manusia dalam menanggapi dunia yang meski­pun menggetarkan, namun juga menyajikan keindahan.

Sebagaimana seni, muncul­nya agama merupakan upaya manusia dalam menggali makna dan nilai kehidupan. Ketika manusia disibukkan oleh rutinitas kehidupan yang membosankan dan cenderung menawarkan buih-buih pen­deritaan, agama lahir selaku sarana mendinginkan kea­daan. Di sinilah timbul sema­cam kecurigaan adakah agama sekadar ‘hiburan’?

Kehadiran buku ini bukan bermaksud untuk berkoar mengenai realitas Tuhan, melainkan menguak sejarah persepsi umat manusia ten­tang ‘siapa yang mereka sem­bah’ sejak masa Ibrahim hingga hari ini.

Tuhan bagi Filosof dan Kaum Mistik

Telaah Karen Armstrong mengenai sejarah Tuhan mengambil bentuk dalam upaya penelusurannya atas kehidupan orang Arab. Apa pasal? Selain menarik, hal ini juga menjadi poin krusial yang perlu diangkat agar motif missing link bisa terhin­darkan saat mengambil be­nang merah antara beberapa peristiwa besar religiositas.

Sesuai catatan penerima anugerah TED Prize pada tahun 2008 tersebut, persen­tuhan orang Arab dengan sains dan filsafat Yunani pada abad kesembilan mengakibatkan lahirnya kelompok Muslim yang disebut filosof. Pada awalnya, fokus utama mereka adalah ilmu-ilmu alam, na­mun lama-kelamaan metafi­sika Yunani juga menjadi bagian esensial dari kajian mereka. Bahkan, terdapat kecenderungan untuk mene­rap­kan prinsip-prinsipnya ke dalam Islam, sehingga Tuhan para filosof Yunani identik dengan Allah. Hal ini merupa­kan hasil dari kepercayaan terhadap rasionalisme yang diterka mampu mendermakan bentuk agama yang paling maju; agama yang mengem­bangkan pandangan yang lebih tinggi tentang Tuhan daripada yang diwahyukan dalam kitab suci (halaman 266).

Sebut saja Al-Kindi. Ia berargumen, segala sesuatu pasti mempunyai sebab. Atas dasar itulah, mesti ada suatu Penggerak yang Tak Dige­rakkan untuk memulai keja­dian. Prinsip pertama ini adalah Wujud itu sendiri, tidak berubah, sempurna, serta mustahil dapat dihan­curkan. Namun, ketika tiba pada kesimpulan, Al-Kindi sengaja memisahkan diri dari Aristoteles dengan berpijak pada doktrin Al-Quran ten­tang penciptaan dari ketia­daan (ex nihilo).

Atau Al-Farabi, yang me­mindai mata rantai wujud secara abadi memancar dari Tuhan dalam sepuluh emanasi atau “intelek” berturut-turut, di mana masing-masing mem­bentuk satu bidang Ptolemis: langit terluar, lapisan bintang-bintang tetap, garis lintasan Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, dan Bulan. Memang di sini terdapat perbedaan yang nyata dengan visi Al-Quran tentang realitas, namun Al-Farabi memandang filsafat sebagai cara yang lebih unggul guna memahami kebe­naran yang telah disampaikan pada nabi secara metaforis dan puitis supaya mudah memancing simpati banyak orang.

Sejarah Tuhan juga tidak terlepas dari mistisisme. Mengapa? Agama mistik cenderung lebih dapat mem­bantu pada waktu-waktu sulit ketimbang keimanan yang didominasi oleh otak. Latihan-latihan ruhani yang intens dalam mistisisme mendorong seseorang kembali kepada Yang Esa. Hal ini di anta­ranya ditunjukkan oleh misti­sisme awal Yahudi yang berkembang selama abad kedua dan ketiga, meskipun orang Yahudi sendiri belum memahaminya secara utuh.

Dalam perjalanannya, mistisisme ternyata mampu bertahan, bahkan menjangkiti dunia Barat. Hasrat terhadap mistisisme di antaranya terbukti dengan sambutan luas atas terbitnya karya tentang mitologi oleh pemikir Amerika kontemporer, Joseph Campbell. Karena itulah muncul dugaan kuat bahwa orang-orang Barat tengah membutuhkan alternatif un­tuk mengimbangi cara pandang ilmiah murni terhadap alam semesta.

Mencecar yang Gaib

Dalam The Idea of the Holy, ahli sejarah agama berke­bangsaan Jerman, Rudolf Oto (1917), mempercayai adanya rasa tentang gaib (numinous) sebagai dasar dari agama. Landasan bagi perilaku bere­tika merupakan efek dari timbulnya perasaan gaib pada diri manusia. Kehadiran keku­atan gaib dan misterius selalu dirasakan oleh manusia da­lam setiap aspek kehidupan. Imbasnya, menyebarlah mitos-mitos sebagai upaya metaforis guna mendeskripsikan reali­tas yang terlampau rumit untuk diekspresikan dengan cara lain.

Sebagai contoh pada perio­de Paleolitik, di mana ketika pertanian tumbuh berkem­bang, manusia menganggap bahwa kesuburan pada tana­man me­ru­pakan anugerah dari Dewi Ibu. Akibatnya, terjadi pengkul­tusan terhadap dewi yang digambarkan sebagai perempuan hamil telan­jang tersebut. Hal ini mirip sekali dengan mitos Jawa yang berabad-abad diwariskan. Masya­rakat Jawa suka meng­hubungkan kondisi pertanian dengan sikap Dewi Sri. Jika tanaman dalam keadaan subur, maka bisa dipastikan kalau mereka berhasil mem­buat Dewi Sri senang. Seba­liknya, jika Dewi Sri terlanjur marah, maka imbasnya yaitu tanaman mere­ka akan meng­alami kerusakan atau bahkan gagal panen.

Dalam ajaran Islam, alam gaib juga menempati posisi sentral dalam corak kei­ma­nan. Hal ini secara eksplisit disinggung dalam kitab suci Al-Quran. Tepatnya, ayat tiga dari surat Al-Baqarah. Ayat itu memaparkan mengenai siapakah orang-orang yang beriman (muttaqin). Mereka adalah: “orang-orang yang percaya kepada hal-hal ga­ib……..” (Al-Baqarah: 3).

Perhatian manusia pada mitos ditegaskan lagi oleh Karen Armstrong dengan pernyataan: “mitos mengeks­presikan makna batin pera­daban”. Orang Babilonia, misalnya, mereka merayakan liturgi pada Tahun Baru, di mana para dewa tunduk pada liturgi tersebut. Mereka juga menaruh keyakinan, Babilonia adalah tempat suci, pusat dunia, dan tanah air dewata. Bila dihubungkan dengan ketiga agama monoteistik, maka ide tentang kota suci sangatlah penting guna mem­peroleh keharmonisan dengan kekuatan sakral. Begitu sen­tralnya, maka tak ayal, Babi­lonia dapat disandingkan dengan kota-kota suci lainnya, seperti Makkah bagi orang Islam, Nazaret bagi orang Kristen, Hebron bagi orang Yahudi, ataupun Yerussalem bagi ketiga penganut agama besar tersebut.

Bagi orang Babilonia, Marduk Dewa Mataha­ri meru­pa­kan spesimen keturunan dewa yang paling sempurna. Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk berjanji hendak me­merangi Tiamat dengan sya­rat bahwa dialah yang nanti menjadi penguasa mereka. Akhirnya, usai melewati pertarungan yang cukup pan­jang serta bersusah payah, Tiamat sanggup dikalahkan. Marduk lantas memutuskan untuk mewujudkan dunia baru; Tiamat dibelahnya menjadi dua bagian guna membentuk lengkungan langit dan bumi manusia. Undang-undang pun disusun, demi memelihara agar segala sesu­atu tetap berada dalam porsi yang ditentukan. Setelah itu semua dilakukan, barulah manusia diciptakan. (halaman 36-37).

Melalui buku ini, seolah Karen Armstrong ingin me­mekik lantang, bahwa gaga­san manusia mengenai Tuhan senantiasa terkungkung oleh sejarah, karena bagaimana pun juga gagasan itu mengan­tongi perbedaan bagi setiap kelompok manusia yang meng­gu­nakannya di pelbagai masa.
***

Bahasa »