Kasnadi
Umar Kayam adalah sosok yang sederhana. Sebagai budayawan yang mbaurekso UGM ini di samping sebagai dosen ilmu sosial juga berfrofesi pengarang prosa unggulan. Oleh karena itu kita patut menyimak wejangan-wejangan-nya baik lewat fiksi maupun esai-esainya. Ia sebagai kolomnis di harian Kedaulatan Rakyat mulai tahun 1989-2000. Kolom itu kemudian dibukukan dalam berbagai judul secara berseri seperti Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Madep Ngalor Sugih Madep Ngidul Sugih (1998), Satrio Piningit ing Kampung Piningit (2000). Dia juga penulis fiksi yang produktif, seperti Sri Sumarah dan Bawuk, Seribu Kunanng-kunang di Manhattan, Para Priyayi, dan Jalan Menikung.
Menulis menurut pandangan dia melestarikan peristiwa bersejarah agar dapat dijadikan pelajaran dan cermin dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Hal ini sesuai dengan kata George Lukacs bahwa masa silam harus dekat dengan realitas kita, supaya kita dapat menyelami kenyataan yang sebenarnya pada masa silam tersebut. Konsep itu dapat disimak pada sekian banyak karya Umar kayam. Catatan sejarah buram pergolakan G 30S/PKI dijadikan setting dalam karyanya yang sangat monomental. Begitu juga peristiwa sosial terkait dengan lebaran mewarnai cerpen-cerpennya. Baik esai maupun fiksi sangat kental dengan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini mungkin karena Umar Kayam secara akademis memang mendalami ilmu-ilmu sosial. Pantaslah akhirnya Beliau menjadi budayawan dengan pemikiran-pemikirannya yang kental dengan persoalan sosial yang terjadi di masyarakatnya.
Kepengarangan Umar Kayam menurut pengakuannya didasari sejak kebiasaannya membaca sewaktu SD. Dia membaca karena orang tuanya mempunyai perpustakaan pribadi. Menulis harus dimodali dengan bacaan. Kegemaran membaca menjadi modal utama untuk menjadi penulis. Dalam kaitannya dengan membaca yang menjadi persoalan adalah bagaimana supaya anak suka membaca? Bagaimana kita dapat mendapakan bahan bacaan? Dua hal ini nampaknya menjadi problem dewasa ini yang terjadi di daerah. Salah satu pemecahannya tugas guru utamanya di sekolah dasar harus mencari strategi supaya anak mempunyai minat membaca. Untuk itu, keluarga dan sekolah wajib memfasilitasi anak didik untuk menampung hasil karya tulis yang baru dibuatnya. Media tersebut misalnya, majalah dinding, majalah sekolah, bulletin sekolah yang penerbitannya sangat tergantung keadaan dana yang ada. Media tersebut dapat diterbitkan mingguan (majalah dinding setiap minggu diganti tulisan yang dipampang), bulanan, triwulan, semesteran atau tahunan. Secara bergiliran karya anak (seperti apa pun bentuknya wajib di tempel di majalah dinding). Untuk membangun kebiasaan menulis mungkin guru dapat menganjurkan siswanya untuk menulis satu kata setiap hari, satu frase setiap hari, satu kalimat setiap hari, satu paragraf setiap hari, dan akhirnya dapat satu wacana setiap hari.
Untuk mengimbangi kerja keras anak didik, jangan lupa guru harus dapat dijadikan teladan yang baik. Guru wajib menulis di majalah dinding, majalah sekolah, bulletin atau media sejenis agar dapat dijadikan teladan. Jika kegiatan semacam itu berjalan logikanya guru tidak mungkin tidak akrap dengan bacaan. Apa yang akan ditulis kalau kita tidak menyerap wacana dari membaca? Nonsens kan?
Menurut akunya, pendidikan zaman Belanda sangat membekas. Sewaktu duduk di SD ada pelajaran mendongeng dan setiap saat anak harus bercerita di depan kelas secara bergantian. Apa yang dapat diceritakan? Gampang saja, dapat pengalaman sendiri, apa yang dilihat di rumah, apa yang dilihat di sekolah, apa yang baru saja dimimpikan semalam, atau moment-moment penting, macam, lebaran, libur sekolah, berkunjung ke rumah Saudaranya, pulang sekolah bermain dengan teman sebayanya,. Yang jelas apa pun dapat dijadikan sebagai bahan bercerita. Untuk memotivasi anak guru hendaknya tidak menakut-nakuti, dan wajib memberikan ganjaran terutama penghargaan atas hasil kerja anaknya.
Jika kita menyimak tulisan-tulisan Umar Kayam terutama esainya, dibangun dengan gaya humor yang sangat segar. Sehingga tidak terasa sewaktu kita menelusuri pola pikirnya. Satu lagi yang dapat kita contoh pelajaran menulis dari Umar Kayam, yakni gaya kepenulisannya yang khas dengan penuh humor. Gaya humor adalah gaya kepenulisan yang sangat lentur untuk membicarana sesuatu dengan ringan yang sebenarnya ada isi yang disampaikan lewat humor tersebut. Humor bukan pemikiran yang linier, tetapi membuktikan penulisnya berpikir lateral. Di dalam humor banyak lompatan-lompatan makna yang ditawarkan. Sehingga jika kita cepat mengikuti gaya humor semacam itu tidak jarang kita ketinggalan mudengnya dan otomatis ketinggalan juga respon tertawa kita. Kalau tidak percaya simak saja humor yang disuguhkan para pelawak, macam Thukul, Timbul, Marwoto, dan pelawak yang lain mereka adalah orang-orang pilihan yang mampu berpikir lateral. Bagaiman dengan humorologi dan klirumologi Jaya Suprana? Bukankan “humor is identifive geniusmen?”
***