Fenomena Sarjana dan Isu Pendidikan Kita

Sutejo
Karya Darma, 28 Sep 1994

Dalam menyongsong Hari Sarjana 28 September 1994, kita patut merenung kembali tentang eksistensi dan realitas sarjana kita. Dan mungkin yang justru menarik, bagaimanakah sebenarnya potret pendidikan kita? Sebab bagaimanapun pendidikan tetap merupakan ujung tombak kualitas bangsa. Kemana tombak itu di situ pula harapan kemajuan bangsa kita gantungkan.

Dewasa ini, fenomena sosial yang menarik untuk dicermati adalah meledaknya kuantitas sarjana kita. Kehadirannya, secara fenomenologis, menjadi indikasi utama akan semakin berkembangnya pendidikan kita pada satu sisi dan sebaliknya justru menimbulkan problem baru pada sisi lain. Lahirnya sarjana penganggur, munculnya sarjana frustasi, dan karenanya semakin maraknya isu yang berkembang berkaitan dengan pendidikan kita. Kenapa demikian? Tidak selamanya memang tingkat pendidikan itu akan beriring dengan kualitas kompetensinya. Apalagi kehidupan sekarang demikian kompetitis karena alumnus pendidikan tinggi yang semakin berimbang dengan kesempatan kerja.

Problema

Status kesarjanaan memang suatu kebanggaan, yang padanya bermuara dua wajah. Di satu sisi bisa memancarkan pelita harapan, dan pada sisi yang lain, ironisnya: justru menerbitkan kecemasan. Menjadi harapan karena idealnya kesarjanaan secara matematis logis menawarkan kesempatan kerja yang relatif lumayan. Sebaliknya, akan menyentakkan kita: betapa dunia bukanlah “hitungan Matematis logis” tapi satu “dunia realitas” dengan rimba belantaranya yang demikian khas.

Pengangguran, akhirnya bukan saja persoalan lulusan SLTA tapi sudah merambah pada lulusan perguruan tinggi. Kalau sebelumnya banyak orangtua berkeluh di mana anak-anak yang di sekolahannya (SLTA) bukanlah sertifikat kerja, kini kegelisahan itu meningkat. Kartu sarjana ternyata mengalami nasib yang tak jauh berbeda.

Jika selama berstatus mahasiswa mereka banyak dijuluki dengan “agent of exchange”. “agent of modernization”, atau juga “agent of development,” maka setelah status berubah menjadi sarjana logikanya pengakuan itu justru semakin dekat membayangi sepak terjang kehidupannya. Praktis beban seorang sarjana menjadi berat: memanggul nasibnya dan bagaimana harus memendam agen-agen itu ke dalam jamban hidupnya.

Sinyalemen ini menguatkan isu yang banyak berkembang berkaitan dengan minornya nyanyian pendidikan kita. Ada yang mengatakan bahwa pendidikan kita telah mengalami ambiguitas orientasi. Munculnya gejala deprofesionalisasi tenaga pendidikan, sampai “tidak adanya kemantapan kebijaksanaan.”

Pada isu pertama jelas membuka mata kita kemana sebenarnya pendidikan kita diformulasikan ? Jika menengok pasal 4 UUSPN No. 2 Tahun 1989, maka mudah diajukan jawabannya. Yakni terciptanya kecerdasan kehidupan bangsa dan pengembangan manusia seutuhnya: manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantab dan mandiri, serta punya tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam bahasa Tommy F Awuy, pendidikan kita harus bermuara pada orientasi yang terentang pada kepentingan pragmatis ekonomis, pragmatisme berpikir, dan yang lebih penting harus berpangkal pada ujung tombak perbaikan kualitas budi pekerti kemanusiannya. Dan tentu, hal ini tanggung jawab supra berat buat para pendidikan bangsa. Karena dengan sekali bidik kita harus tepat pada dua atau tiga sasaran. Sepandai apapun kecermatan seorang penembak kecil kemungkinan dua burung harus terjatuhkan.

Sedangkan isu kedua, aksentuasi permasalahan barangkali bersumber pada sistem dan “iklim pemerolehan” kerja (baca: perekrutan tenaga pendidik). Sistem penerimaan calon PNS baru dilingkungan Dikbud selayaknya untuk ditengok kembali. Ide demikian menawarkan betapa pentingnya arti tenaga pendidikan akan penguasaan dan performansi materi bidang studi yang akan diajarkannya. Karenanya, sudah sewaktunya untuk dipertimbangkan adanya “tes murni” terhadap bidang spesialisasi, baru tes terpadu, dan terakhir psikotes. Sehingga tidak akan terjadi seorang sarjana bahasa Indonesia misalnya, tidak mengertai dan menyukai sastra. Atau guru bahasa Inggris yang tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sebab pendekatan pengajarannya kita ketahui “comminicative approach”. Lebih dari itu, isu deprofesionalisasi tenaga pendidik kita akan terkurangi manakala tidak ada lagi tenaga pendidik yang tidak mempunyai akta mengajar.

Dan yang paling ironis tentu isu yang ketiga : “tidak adanya kemantapan kebijaksanaan”. Sehingga ada “goyunan” yang mengatakan “ganti menteri ganti pula arah dan orientasinya”. Atau contoh paling sederhana dapat diajukan begini : dalam pengajaran dan sastra dituntut perlunya pengembangan pengetahuan dan kemampuan reproduksi sastra namun ketika UMPTN hanya pengetahuan sastranya yang diujikan, itu pun prosentasinya sangat kecil. Dalam bidang bahasa Inggris juga demikian. Dalam pengajarannya disarankan menggunakan “communicative approach” namun demikian juga minim sekali mendapat tempat dilembaran pertanyaan UMPTN. Kenapa terjadi ? Barangkali karena kurangnya koordinasi antara Dirjen.

Sarjana plus, Sarjana alternatif

Dari ilustrasi di atas barangkali alternatif untuk menghindarkan dari berbagai akibat negatif adanya perlunya “sarjana plus”. Sarjana cerdas yang saja bukan saja simbol kesarjanaannya namun juga sarjana tahan banting yang mempunyai alternatif skill yang dapat dibanggakan.

Sebab seperti yang pernah terjadi, kini sarjana lebih menjadikan “lapangan kerja” sebagai tempat bergantung, bukan membentuk diri menjadi insan mandiri yang berpandangan jeli. Maka menjadi menarik merenungkan kembali isyarat Presiden Suharto pada sebutan Konggres ke-12 ISEI beberapa bulan lalu. Diantaranya beliau mengungkapkan, “Inovasi merupakan hasil kerja manusia-manusia kreatif, yang mampu membuat terobosan, membaca dan memanfaatkan peluang.”

Menerjemahkan ungkapan demikian tentu membutuhkan bekal akademis dan bakat kreatif, sehingga lahirlah semacam sarjana plus. Dan karenanya, sarjana plus akan menjadi jawaban dari kelesuan kualitas sarjana kita. Kalaupun tidak inovatif tapi kreatif, sudah menjadi nilai “plus” tersendiri buat seorang sarjana. Karena tidak jarang seorang calon-calon sarjana kita yang sesat persepsi, yang menjadikan perguruan tinggi semata-mata sebagai lembaga intelektual. Tak mengherankan jika sering terjadi ada sarjana cerdas, pinter, tetapi justru miskin ketika sudah menjadi sarjana (baca: penganggur). Maka relevansi “link and match” yang dicanangkan Mendikbud, Wardiman Djojonegoro, patut mendapat jalan lebar oleh semua pihak. Baik lembaga perguruan tinggi pemroduknya dalam menyiapkan tenaga terampil berkesesuaian, partner usahawan, maupun calon sarjana sendiri sebagai pemegang titik kunci.

Dengan membekali diri dengan keterampilan relevan maka jelas akan nilai tambah buat seorang sarjana. Hampir semua jenis pendidikan dapat buat seorang sarjana. Hampir semua jenis pendidikan dapat dibarengi dengan keterampilan menulis atau jurnalistik, misalnya. Toh era komunikasi dengan menjamurnya media massa menjadi salah satu alternatif untuk menunjukkan diri sebagai sarjana plus. Sarjana yang mampu melirik sisi-sisi kehidupan sehingga memperlebar jalan menuju “peluang kerja”. Penyaluran hobby sekalipun, ternyata juga menawarkan nilai tambah. Dari pecinta alam, cinta foto, pelihara anggrek dan sebagainya.

Dengan demikian memang kehidupan ini hanya menjanjikan jalan buat orang-orang kreatif. Termasuk para sarjana. Persoalannya hanya mau atau tidak. Jadi subjek atau objek. Jadi pelaku kehidupan atau sebaliknya: tumbal yang tak ujung henti karena tak mampu membuka mata dengan jeli.

*) Penulis adalah alumnus FPBS IKIP Malang, dosen di lingkungan Kopertis VII Surabaya.

Bahasa »