Sutejo *
Suara Karya, 23 Januari 1996
DK Simonton, dalam Genius, Creativity, and Leadership (1984) pernah menyatakan bahwa “Great thinker tend to have great teachers. Ungkapan demikian mengisyaratkan betapa besarnya peranan guru dalam perkembangan kreativitas seseorang. Dalam ungkapan Jawa kita sering mendengar, bahwa guru iku wong kang digugu lan ditiru. Sedangkan dalam konteks nasional, guru bahkan diagungkan dengan simbol pahlawan yang tanpa tanda jasa (mungkin pahlawan yang tak dikenal?). Maka tidaklah mengherankan kalau Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan, UNESCO, menetapkan mulai 5 Oktober 1994 yang lalu sebagai Hari Guru Internasional. Sedangkan di Indonesia sendiri, diperingati pada setiap tanggal 25 November.
Fenomena di atas merupakan suatu penghargaan yang tak terhingga bagi para guru di satu sisi, dan oleh karenanya, statusnya demikian menjadi berat karena tanggung jawab dan beban yang dipanggulkan di pundaknya. Logis kiranya, kalau guru menjadi barometer kecerdasan bangsa. Semakin kreatif dan inovatif guru melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya, maka akan semakin berkembang pula kreativitas anak didiknya. Tetapi semakin tidak kreatif dan inovatif, akan semakin mundur dan tidak berkembang pula anak didiknya. Persoalannya sekarang, bagaimanakah kreativitas guru-guru kita? Tampaknya makhluk kreativitas bagi guru-guru kita masih menjadi binatang yang langka.
Berbagai Faktor
Selama ini banyak “rarasan” yang mengatakan menjadi guru itu sekarang mudah, tidak seperti dulu. Konon, kalau guru zaman dulu, biasanya kurus (wagu tur kuru), karena memikirkan anak didiknya agar menjadi cerdas dan pandai. Tapi sekarang? Pokoknya datang sudah. Tanpa penanaman sikap kritis dan kreativitas. Isu demikian memang memprihatinkan, namun begitulah kira-kira potret guru kita dalam konteks kekinian.
Minusnya kreativitas guru sebenarnya berawal dari sebuah lingkaran setan, yang kalau kita mau mencari sebabnya secara pasti, maka akan tampak betapa sistem pendidikan kurang menguntungkan. Rendahnya penghargaan terhadap para guru, kurang profesionalnya guru, lemahnya kepemimpinan kepala sekolah, serta tidak adanya wadah organisasi yang secara “profesional” mampu membina dan mengembangkannya.
Dari penyebab pertama, kita dapat mendeskripsikan sejumlah gejala yang menguatkannya. Timpangnya penghargaan pemerintah misalnya, terhadap tunjangan profesi guru dan dosen, patut untuk direnungkan. Betapa mengharukan, ketika Surat Edaran Menkeu No. SE-2/A/552/0193, tanggal 7 Januari 1993 diberlakukan. Pada Surat Edaran itu, tunjangan fungsional dosen terentang dari RP 125.000 sampai dengan 600.000. Sedangkan tunjangan profesi guru terentang dari RP 25.000 sampai dengan 50.000. Padahal secara keseluruhan, jika kita merenungkan fungsi mendidiknya, mengajarnya, membimbingnya, sampai dengan pengelolaannya, tentu lebih berat dan membebani tugas dan fungsi para guru.
Tak mengherankan jika banyak guru begitu “membabi buta” memperjuangkan berkepulnya asap dapur dengan “nyambi” di kursus-kursus dan sekolah swasta. Karenanya waktu yang ada lebih banyak tersita untuk mencari tambahan. Bagaimanakah kreativitas guru akan tumbuh dalam iklim yang demikian? Sementara dosen saja yang secara matematis mengajarnya relatif lebih kecil dari pada guru yang begitu “kreatif” dengan mengajar di berbagai tempat. Tak mengherankan bila keadaannya menjadi demikian timpang.
Kurang profesionalnya guru barangkali karena beratnya beban yang diletakkan padanya. Di samping mengajar, guru harus mampu mendidik, membimbing, dan mengelola administrasi kelas. Ini berbeda dengan dosen yang cenderung hanya mengajar, meskipun ada kegiatan lain yang cenderung “eksklusif”: penelitian dan pengabdian masyarakat.
Dalam bahasa Proyek PGSD, sebagaimana diisyaratkan dalam Pedoman Sistem Penyelenggaraan PGSD DII, bahwa figur guru yang ideal itu adalah guru yang mempunyai ciri berwawasan baru tentang SD, memahami materi pelajaran sesuai dengan tingkat kognisi mereka serta mampu memilih alat evaluasi yang tepat untuk mengukur hasil proses belajar mengajarnya. Tidak hanya itu, tapi juga bagaimana mampu berinteraksi dengan semua pihak yang terkait dan mampu memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang relevan untuk menunjang keberhasilannya.
Pendek bahasa: seorang guru harus mampu mengoperasikan bakal-bakal paedagogis yang dipadukan dengan disiplin ilmu yang akan diajarkannya. Di samping harus mampu menempati kedudukan dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, dan administrator kelas yang andal. Di sinilah benar-benar profesionalitas guru dipertaruhkan di saat terhimpit oleh berbagai idealisasi dan kebutuhan keluarga secara pribadi.
Kepemimpinan kepala sekolah juga berandil besar dalam konfigurasi kreativitas guru. Kewibawaannya, model kepemimpinannya, karismanya, sampai pengalamannya ketika masih menjadi guru secara tidak langsung berperan dalam menentukan warna kreativitas guru yang dibawakannya. Sangat disayangkan seandainya ada kepala sekolah yang sebenarnya tidak mempunyai karisma kepemimpinan “terpaksa”, atau secara “sistemik”, menjadi kepala sekolah. Semakin kreatif kepala sekolah kita dapat berharap akan semakin kreatif pula para guru yang menjadi anak buahnya.
Sedangkan penyebab terakhir, tidak adanya wadah organisasi yang secara profesional menanganinya. Profesionalisasi demikian, jelas akan mengisyaratkan perlunya efektivitas dan efisiensi sebagai sentral manajemen dan pengembangannya. Tampaknya, meskipun sudah ada PGRI, organisasi ini belum bergerak pada isyarat yang demikian. Dalam retorika A. Chaedar Alwasilah, sebuah organisasi seperti PGRI itu harus mampu menyalurkan kepentingan guru dalam kegiatan politik, publikasi, konferensi, dan pelatihan. Dan tentunya masih banyak pihak yang berharap demikian.
Kenyataan ini akan menyadarkan kita betapa pentingnya sebuah wadah organisasi dalam menjembatani aspirasi dan inspirasi para anggotanya. Karenanya, PGRI sebagai organisasi profesional mutlak membutuhkan kompetensi khusus dalam mengelola dan mengembangkannya. Sehingga tidak akan melahirkan apresiasi yang miner di mata para anggotanya.
Wacana Akhir
Dari fenomena guru di atas, tampak betapa pentingnya kreativitas dan profesionalitas guru. Karenanya, tentu dalam kehidupan bangsa ini baik kiranya untuk memberikan perhatian kepada mereka. Presiden Soeharto telah meneladani sebagaimana pesannya dalam pembukaan Kongres PGRI XVII beberapa bulan lalu. Janji beliau, pemerintah akan memberikan perhatian sungguh-sungguh dalam memberikan penghargaan kepada para guru, dan masyarakat diharapkan untuk ikut menjaga wibawa dan martabat para guru.
Akhirnya, bagaimana menjadikan PGRI sebagai wadah organisasi yang benar-benar profesional. Yang mampu memperjuangkan aspirasi dan inspirasi guru, dan salah satu aspirasi itu barangkali adalah bagaimana agar PGRI ikut mengupayakan terhapusnya ketimpangan tunjangan fungsional guru dan dosen untuk secepatnya mendapatkan perhatian. Karenanya tidaklah mengherankan jika dalam Kongres PGRI yang lalu, peserta daerah lebih banyak bercerita tentang hak kesejahteraannya dari pada saling tukar pengalaman, penelitian, dan kreativitasnya ketika mengajar di daerah. Tidak seperti anggapan selama ini, PGRI di sebagian besar anggotanya ibarat tubuh besar namun tak mempunyai energi.
Pada gilirannya, kita harus mampu bercermin secara jujur: bagaimana memandang minusnya kreativitas guru yang demikian sebagai “akibat”, bukan sebaliknya sebagai “sebab” belaka. Bagaimana agar para guru tidak ber-pose lagi dalam sebuah potret yang buram. Istilah Mutrofin, Neither fish not meat. Ahli bukan, pendidik pun tidak. Bagaimanapun sistem dan iklim pendidikan kita (termasuk penghargaannya), secara makro berandil besar dalam memberikan corak kreativitas pada lukisan guru kini dan yang akan datang. Semakin timpang aspek yang satu dengan yang lain, maka akan semakin tidak memberikan alternatif iklim kreatif yang baik.
*) Penulis adalah Staf Pengajar di lingkungan Kopertis VII Surabaya dan seorang guru.