Riyon Fidwar *
harianhaluan.com 10 Juni 2012
Teori berasal dari kata theoria dari bahasa Latin. Teori berarti konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori yang demikian lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kata lain, tujuan akhir sebuah ilmu adalah melahirkan sebuah teori. Meskipun demikian, sebuah teori, dengan tingkat keumuman untuk memahami sejumlah disiplin ilmu yang berbeda. Strukturalisme misalnya, dapat menganalisis ilmu humaniora, ilmu sosial, termasuk ilmu alamiah. Suatu ilmu pengetahuan berhasil mengabstraksikan keseluruhan konsepnya ke dalam rumusan ilmiah yang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu sendiri. Sebuah teori yang tidak atau berhasil untuk diuji dalam praktik, dengan sendirinya belum pantas disebut sebagai teori yang nyata.
Teori bukanlah alat yang lengkap, teori justru disempurnakan secara terus menerus. Sebagai abstrak, teori pada dasarnya dirumuskan secara sederhana, tetapi memiliki implikasi yang sangat kompleks. Teori juga berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Sedangkan metode merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengatahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Dalam pengetahuan yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya.
Metode tidak semata-mata terkandung dalam dan dipermasalahkan oleh kelompok akademis, metode bukanlah ilmu pengetahuan. Dalam bidang ilmu lain, dalam interpretasi disejajarkan dengan metode kualitatif, analisis isi, dan etnografi. Metode penelitian tidak mudah seperti diduga sebelumnya. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkan yang sistematis.
Hubungannya dengan perang ilmu
Perang ilmu sudah ada dari dahulu. Karena, pada waktu itu para ilmuan khususnya ahli fisika, merasa bersemangat, meskipun dalam versi lebih kritis dalam arti tidak menganut realisme yang menghubungkan langsung teori dengan kebenaran tentang dunia. Sebagian besar berada dalam posisi epistemologis berlawanan. Tetapi, sebagian orang pada masa itu sudah berhasil memajukan fisika dan matematika. Pengetahuan tentang fisika tidak akan menimbulkan akibat langsung sehingga orang mulai menafsirkan pengaruh ilmu atas kehidupan sosial. Namun, ketika inti atom dapat dibelah dengan bantuan ilmu fisika, dan informasi untuk mengembangkan berbagai daya manusia mulai dapat diterapkan, barulah orang memikirkan akibat-akibatnya.
Mulai akhir abad ke-19 orang-orang banyak menyaksikan bagaimana para ilmuan dengan landasan filsafat dan kebudayaan modern menghasilkan kemajuan intelektual dan teknologi sekaligus melihat transformasi kondisi kehidupan urban dan perubahan besar dalam hubungan-hubungan sosial. Namun, di lingkungan para filsuf dan para ilmuan waktu itu memang berkembang gagasan yang mempertanyakan peran filsafat dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu, sekaligus juga hubungan antara elemen obyektifnya, atau alam itu sendiri. Tetapi ada juga menyatakan ada dua kenyataan, satu bertumpu ke alam semesta dan satunya bertumpu pada kenyataan manusiawi.
Proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita pada pertanyaan lain. Namun, perhatian tersebut oleh John Dewey ini dinamakannya sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman yang menimbulkan pertanyaan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteri kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda darim sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu, maka dipergunakan pula cara berpikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Sebuah karya fiksi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Jadi, strukturalisme dapat di pertentangkan dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, obyektif, dan pragmatif. Hubungannya dengan struktural adalah, mengkaji dan, mendeskripsikan fungsi dan hubungannya dengan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicobajelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhan dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar, dan sebagainya.
Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis sturkturan tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsut tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa plot, tokoh, latar, atau yang lain. Di suatu pihak, sturktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan penggambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan penelitian kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan.
Analisis sturuktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi instruktural (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 136). Hal itu berarti sebuah karya sastra menjadi kurang gayut dan bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, dalam hal semiaotik, sehingga menjadi analisis yang lain, yang dalam hal ini menjadi analisis struktual- semiotik, atau analisis struktural yang dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara lebih luas. (berbagai sumber)
*) Riyon Fidwar, Mahasiswa Sastra Indonesia Bergiat di Ruang Dokumentasi Tubuh Jendela.
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=15641:teori-dan-metode-dalam-fiksi-sastra&catid=41:kultur&Itemid=193