Anakku, Inspirasi Perjalanan Hidupku

Yeni Ratnaningsih *

Mengawali kisah ini, aku terhenti sejenak lalu coba balik mengingat, sebuah kenangan masa silam. Dulu aku bekerja sebagai perawat di rumah sakit milik sebuah yayasan di Ponorogo. Bekerja selama lebih-kurang 7 tahun. Tahun pertama bertugas di Ruang Interne (Ruang Penyakit Dalam), selebihnya di Ruang Bedah menangani berbagai kasusnya bedah.

Bagiku, perawat itu karir atau pekerjaan mulia. Seorang perawat harus memiliki mother instinct (naluri keibuan), sebuah panggilan jiwa yang mampu mencurahkan segenap simpati serta empatinya terhadap sesama insan, terlebih pasien anak-anak, pun yang dalam keadaan kritis. Dan perawat, dituntut dapat mengaplikasi keilmuan yang dimiliki, demi berbagi dengan sesama.

Darinya banyak kasus yang aku pelajari, dan ambil hikmahnya. Melayani masyarakat dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, agama dan lainnya.
***

Mengingat dulu sebagai wanita pekerja sekaligus ibu rumah tangga, maka harus pintar-pintar membagi waktu antara profesi, dan urusan rumah tangga. Semua itu aku jalani dengan perjalanan begitu sibuk. Namun selalu menikmatinya, karena menjadi wanita karir ialah cita-citaku sejak kuliah.

Menjadi wanita karir merupakan kepuasan, kebanggaan sekaligus identitas wanita mandiri. Tapi demikian, sering berbenturan peran sebagai ibu rumah tangga. Kadang dilema dalam hati muncul, ketika dihadapkan dua pilihan; mengabdi sebagai istri serta ibu bagi anak-anak, atau tetap bekerja demi eksistensi karir profesional, dan mendapat tambahan penghasilan untuk keluarga.

Sementara suami seorang TKI di Qatar, sebagai operator produksi di salah satu perusahaan minyak dan gas. Suamiku sudah bekerja di sana kurang-lebih 4 tahun, dengan jadwal kerja 30/30; artinya 1 bulan (30 hari) kerja, dan 1 bulan (30 hari) off (libur di rumah).

Praktis urusan rumah tangga jadi tanggung jawabku sepenuhnya, ketika suami tak di rumah. Anak-anak sangat membutuhkanku. Saat bekerja, ada satu sisi aku tinggalkan yaitu keluarga. Mengingat itu rasanya bersalah, terutama atas anakku. Lainnya, ada tanggung jawab moral dari dunia kerja.

Rasanya sedih, dikala harus berangkat kerja meninggalkan anak-anak di rumah dengan ditemani neneknya (mengingat kerjaku masuk sistem shift). Ada 3 shift di tempat kerja; pagi, sore dan malam hari. Beruntung kalau jaga pagi, waktu untuk anak-anakku masih cukup panjang. Bila jaga sore, anak belajar tanpa aku temani. Terberat bila masuk malam, karena anak tidur tanpa aku di sisinya, terlebih bila mereka sakit.

Suatu hari, saat akan berangkat bekerja. Anakku merajuk menangis memintaku, agar tak masuk kerja. Entah sebab sakit atau ingin berlama-lama denganku, ia menangis hampir sepanjang aku tinggalkan bekerja. Dan diwaktu lain anak-anak memintaku untuk berhenti bekerja, mereka ingin aku selalu ada di rumah.

Dilematis ini bagai makan buah simalakama, aku bingung. Bila menuruti keinginan dan naluri keduniawianku, itu berarti mengorbankan anak-anak dan suami. Bila berhenti dari karir profesi, artinya kehilangan pendapatan. Tapi bila mengingat wajah-wajah penuh harap dari malaikat kecilku, hati sering bertanya, “Apakah besarnya uang yang kudapat mampu membeli besarnya harapan anak-anakku?”
***

Akhirnya pertarungan hati itu dimenangkan anak-anakku. Demi mereka, aku rela meletakkan jabatan keprofesionalanku, meski saat itu berhenti mendadak tanpa surat pengunduran diri sebelumnya.

Masa awal berhenti bekerja ternyata tak mudah. Butuh prosesi adaptasi cukup lama. Bagi wanita telah lama kerja, kemudian begitu saja jadi ibu rumah tangga, rasanya sulit diterima. Karena lingkup dunia rumah tangga sangat sempit, dibanding di luar. Di dunia kerja, aku berinteraksi dengan banyak orang dalam berbagai latar belakang. Sebaliknya di rumah, hanya anak dan suami (bila di rumah). Aku benar-benar bingung, frustasi.

Ketika memutuskan total menjadi ibu rumah tangga, saat itu ada yang berubah drastis dalam hidupku. Ruang publikku sudah berbeda, belum lagi saat kesendirianku tanpa suami, kala dianya masuk kerja. Semua kerjaan rumah harus diselesaikan sendiri, meski aku telah lama terbiasa mandiri. Rasanya berat, dan ada yang hilang, yaitu identitas keprofesionalanku serta pendapatanku. Selain dibutuhkan kesiapan mental dalam menghadapai transisi besar, lingkup dunia kerja menuju dunia rumah tangga.
***

Waktu demi waktu berlalu, hidupku telah berubah. Kini aku jadi ibu rumah tangga yang fokus mengurus keluarga. Semua karena anakku. Anakkulah yang telah merubah pandangan hidupku. Darinya aku belajar pengalaman baru, menjadi ibu rumah tangga sejati, itu keputusan terhebat bagiku.

Dari anak, aku belajar menghadapi masalah; ialah jalan pembuka hati, tapak mempertahankan rumah tangga. Dan anakku memberi penyemangat hidup di tengah keputusasaan, hingga harus bangkit menjadi ibu siaga. Menemani belajar, menyajikan makanan, menjaga disaat terlelap dalam tidurnya. Aku ada, di setiap mereka butuhkan. Kini, aku perawat sejati bagi suami dan anak-anakku.

*) Yeni Ratnaningsih, lahir di Ponorogo, 07 Juni 1976 adalah Wali dari Ananda Muhammad Bintang Nabila Sholihin Zaelani (siswa kelas 4-Umar) dan Muhammad Fredora Akhsanul Mu’min (siswa kelas 1-Utsman). Alamat sekarang di Jl. Widodo RT 01/01 Sumber Agung, Balong, Ponorogo. Penulis adalah istri dari Ahmad Zaelani.

Bahasa »