Wiwik Widiyati *
Alhamdulillah, rasa syukur tak ternilai, tatkala Allah menganugrahkan bayi kecil yang mengisi dan pemberi warna keseharian kami. Mengingat banyak pasangan lain belum dikaruniai putra, meski telah jalan dalam hitungan bulan bahkan tahun. Tapi kami diberi kepercayaan dan titipan bayi mungil nan montok, berat 3,2 kg. Wajahnya mungil, polos, matanya sipit, hidungnya kecil, rambutnya hitam lebat, kaki-tangan kemerah yang membuat gemas-geli memandangnya.
Pengalaman awal menggendong dan memandikan bayi itu menegangkan sekaligus menyenangkan. Bagaimana tidak, badan, tangan dan kakinya kecil, sehingga saat memegangnya harus hati-hati, seolah gelas piala yang jikalau jatuh bisa berderai. Kebahagiaan, ketentraman membuncah hatiku kala melihat bibirnya belajar tersenyum, dan menangis jika ada sesuatu yang dibutuhkan dariku, itu satu-satunya bahasa yang ia bisa saat itu.
Mengingat menunggu kehadirannya, aku sangat khawatir beberapa hari menjelang taksiran kelahirannya. Pertanyaan satu persatu melintas di kepala; bagaimana proses kelahirannya, bisakah normal atau operasi, lengkapkah anggota tubuhnya, dan seperti apa wajahnya nanti, apakah mirip aku, suamiku. Mungkin karena pengalaman pertama. Dibarengi perpindahan dari Surabaya ke kota kelahiranku, yang telah mengubur cita-citaku jadi dosen di salah satu universitas ternama di sana, dikarena orangtuaku sudah berusia senja, tiada yang menemani di rumah. Belum lagi rasa sakit saat melahirkan yang menurut orang-orang tiada banding. Itu jadi stressor sungguh menjelang kelahiran anak pertama.
Waktu dinanti pun tiba. Saat itu pertengahan bulan Ramadlan jelang dini hari. Tiba-tiba perutku nyeri sangat hebat, melilit seperti ingin buang air besar. Aku bangunkan suamiku dan segera membawaku ke Rumah Sakit. Perjalanan yang dibutuhkan sebenarnya hanya beberapa puluh menit, tapi rasanya lama. Sesampai di Rumah Sakit, nyeri aku alami kian terasa, diikuti perut kencang makin sering. Sesekali oleh bidan diingatkan belum waktunya mengejang, karena aku ingin sekali mengakhiri rasa nyeri dan ingin sungguh melihat wajah anakku.
Tapi Allah sangat menyayangi kami, setelah perjuangan 3 atau 3,5 jam, akhirnya Dia menghadirkan bayi yang montok dan tiada kekurangan. Rasa sakit, capek, lapar karena lupa tak makan atau minum susu hamil, telah tergantikan bahagia dengan dihadirkan-Nya bayi yang putih kemerahan, matanya besar namun kelopaknya sipit, semuanya serba kecil. Apalagi saat melihatnya terlelap tidur, mulutnya bergerak-gerak seperti ingin bisikkan sesuatu. Hatiku damai, dan tanpa terasa airmata bergulir satu-persatu membasahi pipi.
Hari berganti hari, bayi kecilku bertambah besar dan lucu. Mungkin menurut orang lain biasa, tetapi aku orangtuanya memandang yang dilakukan bayi kami sangat luar biasa. Pada suatu hari ia membuatku panik, karena setelah aku perhatikan, kenapa kedua kakinya bengkok? Apalagi kakek neneknya juga ikut panik. “Waktu kamu kecil, kakinya nggak bengkok seperti itu? Bawa saja ke dokter, biar segera ditangani kalau ada apa-apa.” Karena ini pengalaman pertama, aku nurut nasihat orang tua. Akhirnya membawanya ke dokter anak. Sambil nunggu giliran diperiksa, hati was-was cemas bercampur aduk. Pisau operasi, alat-alat medis yang menakutkan, tongkat besi penyangga kaki, satu persatu lalu lalang di otak.
Tidak bisa terbayangkan kalau bayi kami harus dioperasi. Tibalah giliran bayi kami diperiksa. Setelah dokter menanyakan keluhannya, lalu memeriksa kaki bayiku, satu persatu digerakkannya. Jantungku berdegup kencang sederap lelangkah kuda. Kemudian dokter menghampiriku tersenyum “Anak pertama ya, bu?” tentu kami mengiyakan. “Nggak apa, putra ibu sehat-sehat saja, tiada yang perlu dikhawatirkan.” “Terus kakinya, dok?” “Kaki bayi memang begitu bentuknya. Dengan berjalannya usia, akan berkembang lurus alamiah.” Alhamdulillah, meski dengan perasaan agak malu, tapi hati kami jadi tenang olehnya.
Melihat perkembangan anakku, makin hari selalu ada yang berubah, sisi fisik, motorik, ucapan, tingkah laku. Yang membuatku kadang tertawa, tersenyum, sedih, dongkol. Saat melihatnya terlelap tidur, itulah momen tepat hadirnya inspirasi. Berbagai rasa berpadu, bangga, resah, senang, khawatir. Jiwa lelah, raga lemah kembali bersemangat melihat tingkah polahnya yang tak bisa diam. Apalagi dengan kehadiran adiknya yang juga lelaki, membuat rumah riuh oleh teriakannya, tangisannya kalau sedang berebut mainan atau berlari kesana kemari. Kadang pertengkaran tak bisa terelak, tetapi beberapa menit kemudian akur berpelukan.
Suatu hari, kami merencanakan mengganti mobil yang sering ngadat dengan yang baru. Dengan alasan mobil lama memerlukan biaya banyak untuk perawatannya. Yang dinanti pun datang, mobil baru diantar dealer sampai depan rumah. Aku panggil anak-anak untuk melihat mobil baru kami. “Ma, warnanya kok hitam, aku kan pengen warna merah? Seperti Ferrari atau Lamborghini gitu lho ma?” memang mereka mengidolakan mobil balap dari Italia.
Hingga suatu hari, saat mobil aku parkir di depan rumah, tanpa sengaja mengamati badan mobil yang sepertinya ada keganjilan. Ternyata ada goresan benda tajam di sekeliling mobil. Astaghfirullah, bagai tersambar petir siang hari, lemas sekujur tubuh. Perasaan marah, sedih, dongkol, ingin menangis bercampur aduk. Dalam anganku, kerusakan ini pasti ulah anak-anakku yang super aktif, karena sebelumnya aku sempat melihat mereka bermain kejar-kejaran. Setelah berhasil menata hati kendalikan amarah, kedua jagoan kecilku aku panggil. Aku tanya, apakah mereka mengetahui munculnya goresan itu.
Awalnya tak mengaku. “Aku tidak tahu ma!” Adiknya pun menyahut, “Aku juga tidak tahu ma, aku kan main sepeda dari tadi”. Tidak kurang akal mengorek keterangan dari mereka. “Nak, berbohong itu dosa, dan dosa dekat api neraka.” Dengan jurus jitu ini, akhirnya mengaku. Mereka ngaku tidak suka dengan mobil baru kami yang berwarna hitam. Ingin mobilnya berwarna merah, seperti impiannya.
Terus hubungannya apa dengan menggores mobil? Sepertinya tak ada, tapi ternyata ada! Mereka ingat disaat dulu kami pernah mengubah cat mobil lama dengan warna berbeda, karena banyak goresan di sana sini, kami mengecatnya berwarna lain dari warna asal. Inilah hubungannya, antara goresan dengan warna mobil. Mereka berdua berharap dengan adanya goresan itu, warna cat mobil bisa diganti yang lain. Masyaallah, pola pikir anak berbeda dengan orang dewasa. Bukan hanya beda ukuran badan, tapi yang harus diingat, mereka bukanlah miniatur orang dewasa.
Kesabaran kami pun tetap diuji. Ini tentang anak kedua, yang mempunyai rasa ingin tahu besar dan segudang pertanyaan yang tiada habisnya. Ia sangat tertarik dengan benda tajam, terutama gunting dan pisau. Setiap aku tanya alasannya, kenapa ia sangat tertarik benda yang berbahaya itu. Ia jawab, bahwa pisau dan gunting adalah benda yang hebat, karena bisa digunakan memotong. Alasan ini sangat sederhana mungkin?
Nah, alasan ini ia gunakan memotong headset telephon genggamku yang baru aku beli, memotong ujung celana jeansnya yang baru, juga merobek kasur matras yang berisi angin. Itu semua untuk menjawab satu pertanyaannya. “Ma, ternyata gunting ini hebat ya, bisa menggunting kabel atau celana yang tebal.” Atau begini pernyataannya yang menggelikan sekaligus membuat dongkol, karena ada tiga kasur yang berhasil ia robek. “Ternyata pisau ini tak kalah hebatnya ma dengan guntingku”. Masyaallah…
***
Yaa..bunayya.. hanya Allah SWT yang tahu pasti, begitu kami sangat mencintai dan menyayangi anak-anakku. Semoga kalian jadi anak cerdas, sholih yang menyejukkan pandangan dan hati, serta jadi insan yang berbakti kepada orang tua. Seperti yang diceritakan masa Perang Dunia Kedua, tepatnya bulan Mei 1952, seorang jenderal kenamaan, Douglas Mac Arthur, menulis sebuah puisi untuk putra tercintanya, yang saat itu baru berusia 14 tahun. Puisi tersebut mencerminkan harapan orang tua pada anaknya. Ia memberi sang anak puisi indah yang berjudul:
Doa untuk Putraku
Douglas Mac Arthur
Tuhanku…
Bentuklah putraku menjadi manusia yang cukup kuat
untuk mengetahui kelemahannya.
Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap jujur dan rendah hati dalam kemenangan.
Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya,
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang putra yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri
adalah landasan segala ilmu pengetahuan.
Tuhanku…
Aku mohon, janganlah pimpin putraku di jalan yang mudah dan lunak.
Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan,
kesulitan dan tantangan.
Biarkan putraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai
dan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.
Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi,
sanggup memimpin dirinya sendiri,
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.
Berikanlah hamba seorang putra yang mengerti makna tawa ceria
tanpa melupakan makna tangis duka.
Putra yang berhasrat menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.
Dan, setelah semua menjadi miliknya…
Berikan dia cukup rasa humor
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.
Tuhanku…
Berilah ia kerendahan hati
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki…
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna..
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud,
hamba, orantuanya,
dengan berani berkata
“hidupku tidaklah sia-sia.”
*) Wiwik Widiyati, SKep.,Ns, lahir di Ponorogo, 25 Desember 1974, adalah Wali dari Ananda Rayana Rafiul Hayyan (siswa kelas 2 Ali) dan Ahnaf Fawazul Sadidan (TKIT QA). Alamat sekarang di Ngadiro 1/6 Pintu Jenangan Ponorogo 63492. Penulis adalah istri dari Hariadi Joko Setyawan, SE.