Anakku Penyejuk Jiwaku

Sunarno Wibowo *

Sinar mentari menerangi alam semesta sepenuh daya yang dimiliki, mencipta hawa panas tak tertahan bagi yang beraktivitas di luar rumah, sedang di dalam rumah sedikit terobati dari terik yang menyengat. Ruangan seluas 7 x 14 meter dengan atap genting ala kadarnya, cat tembok berwarna putih salju membikin suasana terasa sejuk. Siapa pun penghuninya akan merasa nyaman, apalagi bersama keluarga.

Tiba-tiba anakku datang, “Assalumu a’laikum” terdengar nyaring bersemangat. Langsung kusambut dengan pelukan mesra, walau bau keringat sangat menyengat. Dalam dekapanku, dia memberi sesuatu dari sekolahnya. Spontan aku terima sambil bertanya “Isinya apa ya dik”. “Ya ampun ibu, mana kutahu. Itukan titipan dari ustadzah untuk ibu, aku tak berani buka, berdosa lo bu.” Tersentak hatiku mendengarnya. Ya Allah, begitu lugu anakku, tak mau membuka sesuatu kalau bukan haknya. Alangkah damainya dunia ini, seandainya semua orang berprinsip seperti itu. “Ayo ibu, cepat buka, apa isinya, Dik Asti pengin lihat,” kata anakku. Ku buka stapler lalu kubaca isi suratnya, ternyata undangan lomba menulis.

“Aduh dik, ibu tak bisa menulis, tak usah ikut lomba ya” kataku. Di luar dugaan, anakku memberi jawaban yang menginspirasi tulisan ini. Inilah jawabannya, “Ya Allah, ibu, kenapa kalau ada lomba aku disuruh ikut dan harus menang, kini ada lomba malah ibu tak ikut, ikut ya bu, nanti biar juara seperti aku, janji lho ibu.” Kata-kata itu membuatku malu sekaligus merasa berdosa memaksakan kehendak padanya, sedang aku sendiri tak mampu sepertinya. Dan jawaban anakku memicu kami harus mengikuti lomba, apapun bentuk tulisannya nanti.
***

“Ya udah dik, kita ikut lomba, biar bapak yang menulis” itu jawabanku. Jujur saja ibunya, rasanya tak mampu berlomba membuat tulisan. Akhirnya kami berdua berikhtiar demi memenuhi harapannya, dan harus juara, pinta anakku. Ya Allah, berilah kami kekuatan lahir-batin untuk bisa memenuhi keinginannya. Hari demi hari kami belum bisa tuangkan isi hati, sedang anakku terus menanyakan, “Sebentar dik, bapak-ibu belum mulai menulis, nanti Insyaallah mengumpulkan.”
***

Hari-hari awal pendidikan putri kami biasa saja, setiap pagi aku antar, dan menjemputnya dengan sepeda motor. Kami perlu waktu 30 menit untuk sampai rumah. Si kecil belum terbiasa kondisi full day, sehingga hampir tiap hari ngantuk, bahkan terkadang ketiduran di boncengan. Ya, mau tak mau tambah profesi baruku layaknya tukang dongeng, berharap putri kecilku tak ngantuk apalagi tertidur di tengah perjalanan yang bisa membahayakan. Kebiasaan mendongeng ini tidak sehari dua hari, tapi hampir dua bulan.

Seiring masa berjalan, pendidikanya mulai terlihat kemajuan. Banyak peristiwa dalam kesehariannya dilakukan di luar dugaan kami, semua itu diperoleh dari sekolah lalu diaktualisasikan dalam kehidupannya. Perlu diketahui, kedua anakku sewaktu SD di kota, dan aku mengantarkan sambil bekerja di kota. Saat mengantar kakaknya dulu, tiada sesuatu yang mengesankan sepanjang jalan, hanya bercerita apa yang dilihatnya, sedang si kecil ini berbeda. Aku bilang “Ayo dik, dah siang,” Anakku menjawab “sebentar to bapak, aku belum ketemu ummi” Aku tanya “Mau apa to, wong berangkatnya bersama bapak.” Dia jawab, “Bapak ki piye to, aku kan belum pamit sama ummi, harus minta doa restunya pak, biar berhasil belajarku,” Setelah siap di atas kendaraan, anakku berucap “Sebentar pak, aku belum berdoa naik kendaraan dan doa keluar rumah, biar selamat di perjalanan.” Akhirnya kutunggu dia melantunkan doa naik kendaraan dan doa keluar rumah. Ya Allah, rasanya malu, kenapa si kecil sudah bisa berdoa, sedang aku mau barangkat, kalau sempat pamit, kalau tak ya bablas. Kemudian kebiasaan si kecil merubah perilaku kami, siapa yang berangkat duluan berpamitan, terutama kepada nenek.

Begitu keluar halaman rumah, kebiasaan si kecil lagi-lagi buat hatiku terharu. Sambil pegangan pinggangku, dari bibir mungilnya keluar lantunan hadist-hadist nabi beserta artinya dengan gaya yang mungkin diajarkan ustadz dan ustadzahnya. Ya Allah, bagai tamparan halus, dalam hatiku berkata, “kapan aku mengajarkan seperti itu”, rasanya malu sungguh. Jika hadist-hadist sudah dilantunkan, sedang kami belum sampai tujuan, maka dari bibirnya keluar bacaan surat-surat pendek. Rasanya perjalanan sejuk, diiringi bacaan hadist nabi dan surat pendek. Sesampai di sekolah tak lupa dia cium tanganku seraya berkata, “Bapak, doakan aku” ingin air mata menetes mengingat itu. Biasanya, aku berhenti sejenak mendoakannya, lantas meluncur ke tempat kerja.

Ada pengalaman lain, suatu saat seperti biasa setiap berangkat sekolah melantunkan hadist dan surat pendek, mungkin itu tambahan hafalan surat yang baru, sehingga dia belum hafal, Surat Al-Zalzalah sampai ayat ke tiga, tanpa ragu bertanya kepadaku, “Bapak, terusnya gimana?” “Astaghfirrullohaladzim, bagaimana jawabnya, hafal saja tidak” dalam hatiku. “Maaf dik, bapak juga lupa, nanti setelah pulang bapak carikan ya” jawabku sekenanya. Ku pikir jawaban ini bisa membuat dia tenang dan selesai semuanya. Memang betul, dia menerima dan terus berusaha mengingat dengan mengulang-ulang sedari depan. “Aman…” dalam hatiku.

Petang tiba, adzan maghrib berkumandang, kami sekeluarga bersiap sholat jamaah, seperti biasa karena aku laki-laki paling dewasa di rumah, maka jadi imamnya. Menjelang sholat dimulai, tiba-tiba si kecil nyeletuk “Bapak, nanti suratnya Al Zalzalah ya” Astagfirrullohaladzim, bagai tamparan di muka, maka kujawab “iya, nanti kalau bapak tak lupa ya dik “, jujur saja kebiasaan aku sholat, apapun yang aku lakukan rakaat pertama membaca surat Al Kafirun, sedang rakaat kedua baca surat Al Ikhlas. Secara hukum memang tak salah, tapi dalam hatiku malu rasanya. Maka mulai saat itu berjanji menghafalkan surat-surat pendek.

Ada pengalaman mengesankan dan saking berkesannya sampai sekarang sering aku ceritakan pada teman-teman kantor juga keluarga lain saat ditanya pendidikan anak-anak kami. Ceritanya begini, setiap hari, makanan baik nasi, sayur dan lauk di rumah tersedia di meja makan. Saat itu waktunya makan malam sehabis sholat maghrib, setelah tudung saji dibuka, melihat lauk tempe di meja, tanpa perasaan apapun aku langsung ambil dan makan sambil jalan menuju tempat duduk. Apa yang terjadi, dari bibir mungil anakku yang duduk di kursi yang aku lewati, keluar lantunan hadist nabi yang berbunyi… “La yas robbana ahadukum minal qooiman, yang artinya: Janganlah kamu makan dan minum sambil berdiri…” Ya Allah, saat itu juga begitu dengar hadist nabi dibacakan, aku langsung duduk di salah satu kursi paling dekat denganku, yang penting bisa duduk sambil menghabiskan tempe yang masih di genggaman. Mulai saat itu, setiap ada anggota keluarga yang makan atau minum sambil berdiri, maka hadist tersebut keluar dari bibirnya. Dan kami menghafal kata-kata awalnya ”La yas robbana” demi menegur dalam kejadian-kejadian serupa.

Suatu hari si buah hati dapat tugas membuat hasta karya untuk pengajaran materi waktu atau jam dalam pelajaran matematika, “Ayo bapak, kita bikin jam dinding, karena ada tugas dari sekolah, bisa nggak bapak” itu ajakan anakkku. Harus bagaimana memulai, tapi karena anakku, maka seyogyanya bisa mengumpulkan tugas itu bersegenap kemampuan kumiliki demi mewujudkannya. Atas semangat anakku, terwujudlah berupa jam dinding, walau bentuknya sangat sederhana.

Lain kali si kecil dapat tugas lagi membuat hasta karya berupa alat transportasi laut berupa kapal atau perahu, dengan embel-embel nanti akan dipraktikkan di atas air. Begitu disampaikan saat pulang sekolah, di atas motor kami kendarai, otakku mulai berpikir apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan impiannya. Setelah memutar imajinasi, akhirnya dapat ide buat perahu dari barang bekas berupa botol kemasan minuman air mineral. Setelah di rumah aku suruh istirahat, nanti selepas bangun tidur membuatnya.

Singkat cerita, setelah bangun tidur, aku dan putriku mencari dan merancang perahu dari bekas botol minuman, digunting separo lalu dicoba di atas air, ternyata bisa digunakan layaknya perahu. Tapi setelah dipasangi tiang layarnya, perahu itu terbalik berulang-ulang. Aduh gimana ini, oh ada ide lagi, di samping kiri dan kanan perahu dilekatkan botol aqua berukuran kecil dan setelah dicoba ternyata berhasil tak tenggelam. Berarti tinggal melengkapi hiasan, prototif perahu sudah jadi. Setelah maghrib perahu layar sederhana tercipta dan siap dibawa ke sekolah.

Suatu saat sepulang sekolah putriku bercerita “Ibu, aku disuruh ikut lomba mengurutkan huruf hijaiyah. Aku dilatih ya bu.” “Waduh, gimana ya dik, ibu bisa nggak.” Anakku merengek minta dilatih. Ini membuatku trenyuh harus memenuhi keinginannya, agar bisa mengikuti lomba. Aku terinspirasi menyiapkan huruf-huruf hijaiyah dan kulatih anakku. Ku acak huruf-huruf dengan hitungan, mulailah anakku menyusun huruh hijaiyah. Masyaallah, dengan cekatan dia mengurutkan huruf-huruf itu. Dan hasilnya luar biasa, bidadariku mendapatkan juara 3.

Dan setelah berakhirnya semester satu pembagian raport, kulihat raport putriku Alhamdullah ranking dua, bahagia sekali rasanya. Setelah kuamati satu persatu mata pelajaran yang tertulis, Ya Allah ternyata banyak materi yang diberikannya. Semoga dengan itu bisa membuat putriku menjadi lebih baik nantinya, amin.

*) Sunarno Wibowo, lahir di Kediri, 26 Desember 1967, adalah Wali dari Ananda Naufal Wima Al-Fahri (SMP) dan Nastiti Wima Al-Husna (siswi kelas 1 Ali). Alamat sekarang di desa Simo Slahung Ponorogo. Penulis adalah suami dari Siti Mariyam.

Bahasa »