Belajar dari Musibah dan Cobaan

Isnatin Ulfah *

“Putra ibu, matanya sudah minus 4. Pertumbuhan bola matanya memanjang ke belakang, itu yang membuat pandangannya kabur, karena tangkapan terhadap benda menjadi jauh. Kondisi tersebut sudah bawaan bayi.”
***

Bagai mendengar petir di siang bolong, ketika sang dokter mata menjelaskan kondisi penglihatan si sulung, yang saat itu masih berusia 5 tahun. Dugaan kami, orang tuanya, bahwa ada masalah dengan penglihatannya ternyata benar, bahkan sudah sangat parah untuk anak seusianya. Yang lebih membuat kami shock ialah penjelasan dokter, kalau apa yang dialami si sulung itu bawaan bayi. Lunglai rasanya tubuh ini. Seketika bumi terasa berputar, pandangan berkunang-kunang. Perih menusuk hati.“Ya Allah, apa salah kami? Mengapa harus buah hati kami yang mengalami? Apa yang mesti kami lakukan, demi menyembuhkan dan mengurangi penderitaannya?”

Sampai beberapa bulan fakta ketidaknormalan penglihatan si sulung membuat kami merasa bersalah. Berbagai informasi tentang mata minus terus kami cari; dari dokter, teman, kerabat, buku, pun berbagai artikel di internet tak henti kami telusuri. Akhirnya mendapati kesimpulan yang mengejutkan sekaligus menyakitkan, bahwa penglihatan si sulung tidak dapat sembuh. Bola matanya akan terus tumbuh memanjang ke belakang mengikuti pertumbuhan usianya. “Ya Allah, di usia 5 tahun saja, putra kami sudah minus 4, bagaimana nanti kalau sudah remaja? Seperti apa penglihatannya dikala dewasa?”

Lalu kami teringat sebuah hadits Rasulallah SAW: “Setiap penyakit ada obatnya, kecuali penyakit pikun dan tua”. Kami tak boleh larut bersedih dan menyerah. Betapapun informasi tentang mata si sulung itu akurat, kami tak patah semangat untuk kesembuhannya, paling tidak membantunya tetap bisa beraktivitas normal dengan keterbatasannya. Doa selalu terlantunkan, begitu juga ikhtiar lewat pengobatan alternatif, tak pernah lelah diusahakan.

Tak kalah penting, terus memberinya semangat agar tegar menjalani aktivitasnya sehari-hari, juga support, guna mau menggunakan kaca mata sebagai alat bantu penglihatannya. Untuk anak seusia dia, memakai kaca mata, pasti tidak nyaman secara fisik pun psikis. “Mas Kafa harus memakai kaca mata ya, biar pelajaran di sekolah tidak ketinggalan. Biar bisa melihat televisi dan tulisan di papan tulis dengan jelas, tanpa harus maju mendekat di depan TV atau papan tulis. Kalau melihat TV dan komputer terlalu dekat, kata dokter, nanti bisa tambah parah matanya”. Kalimat itu berulang-ulang tak bosan kami sampaikan. Terkadang harus merayunya, “kalau pakai kaca mata, mas Kafa tambah cakep lho, terlihat keren seperti orang genius”.

Sesekali, kami kutip kalimat seorang dokter mata di Surabaya yang memeriksanya, kebetulan sang dokter berkaca mata sejak kecil, “Allah memang menakdirkan kita dengan kondisi mata seperti ini, tapi Allah memberi akal kepada manusia, makanya manusia menciptakan kaca mata. Lihat ini bu dokter, meskipun sejak kecil berkaca mata, tapi ketika besar bisa jadi dokter. Jadi, kaca matanya harus selalu dipakai ya…”. Dengan bahasa berbeda, kami kutip kembali kalimat dokter tersebut untuk memotivasinya, bahwa seseorang yang punya kekurangan pun tetap bisa berprestasi asal berusaha. Alhamdulillah seiring berjalannya waktu, si sulung akhirnya percaya diri dengan kaca matanya, meski banyak temannya yang mengolok-olok.
***

Terus meratapi kekurangan si sulung atau menyalahkan Tuhan, bukanlah ciri orang beragama. Allah SWT telah berjanji dalam QS. Al-Baqarah: 186, bahwa: Dia tidak akan membebani hambanya melampaui batas kemampuannya. Kalau saat ini sedang diuji dengan kondisi penglihatan si sulung, itu karena Dia tahu kami mampu menghadapinya. Juga meyakini, Allah punya rencana lain untuk kami. Keyakinan itulah yang membuat bisa mensyukuri apapun yang diberikan, baik maupun buruk.

Sebagai manusia pada umumnya, jika menerima pemberian Allah yang buruk, pasti menganggapnya musibah. Tetapi Allah menjanjikan, selalu ada hikmah di balik musibah, dan janji itu benar-benar terbukti!

Sejak si sulung masuk Sekolah Dasar, kecerdasan intelektualnya mengagumkan. Subhanallah, hafalannya sangat cepat. Tidak butuh waktu lama membaca tulisan di papan tulis pun di buku, cukup mendengarkan penjelasan gurunya pula kami orang tuanya di rumah, dia paham dan hafal apa yang telah dijelaskan. Allah Maha Besar, kekurangan di matanya, diganti dengan kepandaian luar biasa. Kelas 1 dia ranking pertama melampaui prestasi teman-temannya yang secara fisik sempurna. Sampai saat ini dia berada di kelas 4 Sekolah Dasar, dia selalu mendapat prestasi di kelasnya. Pula atas hafalan surat-surat pendek, cepat diterimanya. Kini sudah menyelesaikan hafalan al-Qur’an Juz 30, surat al-Rahman, dan sedang menghafal surat al-Waqi’ah. Fakta ini diamini para guru yang pernah mengasuhnya, mereka mengakui bahwa si sulung anak yang sangat cerdas. Subhanallah…

Hikmah lainnya, lebih ikhlas menerima apapun pemberian Tuhan, sebagai kunci utama hidup di dunia untuk tenang dan damai. Seandainya kami tidak ikhlas, tentu terus meratapi kondisi si sulung hingga menyalahkan takdir-Nya. Ikhlas menuntun menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Salah satu lelaku yang dapat melatih keikhlasan ialah selalu melihat ke bawah yang mendapatkan musibah lebih berat dari kami. Masih banyak orang-orang atas kondisi ekonomi yang memprihatinkan, juga berbeban anak-anaknya yang tidak sempurna, tapi mereka sabar karenanya. Hal itu memotivasi kami, tetap optimis dan selalu bersyukur.

Atas keikhlasan menerima keadaan si sulung, Allah memberi karunia yang melebihi harapan kami, dia menjadi anak yang berprestasi. Sesuai janji Allah dalam QS. Ibrahim,7:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Seandainya penglihatannya normal, belum tentu dapat berprestasi seperti saat ini. Dan ikhlas membuat kami jadi pribadi yang sabar. Sabar, secara sederhana bisa diartikan sebagai habs al-nafs ‘an al-jaza’ (menahan diri dari keluh kesah). Ikhlas membuat kami membentuk pribadi yang enggan berkeluh. Di masa awal si sulung menggunakan kaca mata, sebenarnya tidak hanya dia yang punya beban. Rasa malu, tidak percaya diri, risih, dan seterusnya kerap mengganggu tak hanya baginya, juga kami orang tuanya. Dalam setiap kesempatan, selalu saja kami berhadapan dengan komentar orang yang tak tahu apa itu rabun jauh (miopia), sehingga banyak di antara mereka yang menyalahkan kami atas kondisi si sulung. Yang kurang vitamin A-lah, tak pernah dikasih wortel-lah, terlalu banyak nonton TV, komputer-lah, dan seterusnya. Ya Allah, mereka itu hanya bisa menyalahkan, padahal tidak tahu fakta yang sebenarnya. Sisi ini, kami kembali diuji, bagaimana tetap sabar dan percaya diri memiliki putra yang berkebutuhan khusus. Melihat semangat si sulung saat ini, yang nyaris tak pernah melepas kaca matanya, bahkan disaat tertidur, membesarkan hati kami, bahwa tidak boleh malu apapun yang sudah diberi Tuhan terhadap anak-anak. Dia tetaplah mutiara kami.

Ikhlas juga menuntun kami menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab, optimis, dan mau melakukan introspeksi diri. Apa yang sudah diberikan Allah kepada si sulung, bisa jadi merupakan teguran kepada kami. Olehnya, kami harus terus melakukan muhassabah/ introspeksi diri atas kesalahan serta dosa-dosa yang pernah terlakukan, sambil mesti beristighfar, bertaubat, beramal lebih baik dari sebelumnya, demi mengantarkan si sulung meraih keberhasilan di atas keterbatasannya.
***

Jika boleh memilih, tentu memiliki anak-anak yang sempurna fisik pun psikisnya. Jika boleh meminta, tentu keturunan yang sehat jasmani dan rohani. Tetapi pilihan dan permintaan kita, tak selamanya selaras kehendak-Nya. Allah memiliki rencana dan cara-Nya sendiri, yang kadang tak dapat dimengerti serta diterima oleh hamba-Nya.

Allah mendidik kami menjadi pribadi yang ikhlas, sabar, bersyukur, bertanggung jawab, optimis, dan mau introspeksi diri. Dengan cara ini, Allah menuntun kami agar menjadi orang tua yang senantiasa berdoa dan berusaha. Dalam doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, takdir dapat berubah dengan doa, usaha, serta amal sholeh. Itu yang membuat kami optimis si sulung dapat sembuh. Betapapun ilmu kedokteran sudah menvonis kondisi yang dialaminya tidak bisa sembuh, namun dengan do’a, ikhtiar, dan amal sholeh yang menerus, kami yakin ada pertolongan Allah untuk kesembuhan si sulung. Paling tidak, minusnya tak bertambah parah.

“Ayah, kenapa setiap hari selalu membaca al-Qur’an satu juz?” suatu ketika si sulung menanyakan kepada ayahnya, kenapa ayahnya sehabis sholat selalu membaca al-Qur’an yang jika dihitung sehari mencapai satu juz. “Ayah ingin Mas Kafa matanya bisa sembuh. Insyallah dengan istiqomah membaca al-Qur’an minimal satu juz sehari, ayah khususkan kepada Mas Kafa, Allah memberi rahmatnya untuk Mas Kafa, entah dengan jalan apa, hanya Allah yang tahu”. Begitu argumentasi ayahnya, menjawab pertanyaan si sulung.

Tiada kata purna untuk menjadi pribadi lebih baik, apalagi sebagai orang tua. Harus terus belajar-berusaha. Belajar dari kekurangan yang nyata juga menjadi kelebihannya, dan kami akhirnya sadar, di balik kekurangan selalu ada kelebihan. Kami tak lagi menjadi orang tua yang mudah menyalahkan anak-anak atas kekurangannya, tidak selalu menuntut anak-anak untuk sempurna, dan memarahinya ketika mereka gagal. Tidak ada manusia yang diciptakan sempurna, selalu ada kelemahan dan kekurangan, meski dengan derajat berbeda-beda. Tugas orang tua bukan memojokkan, apalagi membuatnya rendah diri. Sebaliknya, menfasilitasi agar kekurangannya menjadi kelebihannya, menanamkan kepercayaan diri, dan mengantarnya menuju kesuksesan.

“Mas Kafa, belajar yuk…sebentar lagi ulangan kan?” sambil mengingatkan seperti itu, kami sudah siap di meja belajar. Berdasarkan pengamatan, si sulung lebih cepat menangkap pelajaran dengan cara mendengarkan, daripada membaca. Karena itu kami menyediakan diri mendampinginya belajar, membacakan materi dan menanyakan kembali yang sudah dia dengar serta dia kuasai. Dengan ini kami terus mengasah kecerdasannya. Kami mengerti, kenapa dia lemah dalam hal membaca, karena cepat lelah kalau membaca dalam waktu lama.

Tak kalah penting dari itu, prestasi si sulung karena dukungan teman-teman sekelasnya, serta guru-gurunya yang mengerti kondisinya, sehingga bisa menjalankan aktivitas menuntut ilmu di kelasnya dengan nyaman.
***

Anak adalah karunia Allah yang diamanahkan kepada kita, orang tuanya. Allah menguji dengan anak-anak kita, apakah tetap amanah meski punya kekurangan. Kekurangsempurnaan si sulung menyadarkan kami akan arti penting ikhlas, syukur, sabar, tanggung jawab, optimis, dan introspeksi.

Betapapun belum purna, tetapi menjadi pribadi dan orang tua lebih baik, terutama menghadapi anak-anak yang berkebutuhan khusus, haruslah terus menerus kami lakukan. Tak boleh ada kata menyerah, tidak patut ada keluh kesah. Kalau si sulung saja yang menjalaninya bersabar, tabah, serta tetap bisa berprestasi, kenapa kami orang tuanya justru mengeluh? Kenapa justru kami yang malu?

Mengeluh, malu, apalagi menyalahkan keadaan, tidak akan membuat masalah jadi lebih baik. Si sulung dengan keterbatasannya, sangat membutuhkan uluran tangan, maka harus lebih kuat darinya. Kamilah, atas bantuan Allah SWT, akan mengantarnya menuju kesuksesan, amin.

Catatan Kaki:

Dalam ilmu kedokteran, apa yang dialami oleh si sulung ini disebut dengan miopia atau rabun jauh. Miopia ini kebanyakan disebabkan oleh ketidakseimbangan makula yang berarti rabun. Bola mata akan memanjang karena tekanan dua serong otot yang mengikat bola mata di tengah. Karena ketatnya otot yang menekan bola mata, bola mata menjadi memanjang sehingga bola mata sulit melihat benda jauh dengan jelas. Lihat Kebenaran tentang Miopia Para Postur Kanan, (on line), http://id.prmob.net/kerabunan/mata/kacamata-2635649.html. Diakses pada 21 April 2013.

Menurut dr. Hadi Prakoso W, Sp.M, ahli optalmologis dari Jakarta Eye Centre, perkembangan ukuran bola mata sama seperti perkembangan tubuh manusia. Ukuran bola mata bayi lebih kecil ketimbang ukuran bola mata orang dewasa. Hal ini berarti dari masa bayi hingga masa dewasa sebetulnya terjadi perkembangan pada ukuran atau dimensi bola mata. Pada 2 tahun pertama yang sangat berkembang adalah sistem optik di bagian depan mata (segmen depan), yaitu sebesar 60%. Setelah usia 2 tahun seg- men depan masih berkembang tapi sudah tidak begitu pesat.

Segmen belakang, lanjut Hadi, akan tumbuh pesat saat usia anak berkisar antara 4 sampai 15 tahun yang kemudian melambat dan berhenti di sekitar usia 18 tahun. Saat itu, bagian belakang bola mata dimana retina berada makin lama makin panjang sesuai dengan pertambahan usia. Jadi, kalau minus pada mata anak bertambah besar, itu karena jarak retina ke lensa makin panjang sehingga minusnya pun akan bertambah besar. Dengan begitu penambahan minus pada usia pertumbuhan terjadi secara alami. Nah, kondisi miopia rabun jauh yang parah dapat terlihat melalui USG yang memperlihatkan segmen belakang bola mata yang sangat memanjang. Pertambahan minus sebenarnya tidak bisa dicegah. Lihat Elia Rahmani, Ternyata Wortel Tak Bisa Sembuhkan Mata Minus, (on line), http://eliarahmani.blogspot.com/. Diakses 21April 2013.

Daftar Pustaka:
Kebenaran tentang Miopia Para Postur Kanan, (on line), http://id.prmob.net/kerabunan/mata/kacamata-2635649.html. Diakses pada 21 April 2013.
Elia Rahmani, Ternyata Wortel Tak Bisa Sembuhkan Mata Minus, (on line), http://eliarahmani.blogspot.com/. Diakses 21April 2013.

*) Isnatin Ulfah, M.H.I, lahir di Surabaya, 14 Juli 1974 adalah Wali dari Ananda M. Kafabillah Wakila (siswa kelas 4-Umar), Neesa Queen Alexandra, dan Neesa Ratu Farahdiba. Alamat sekarang di Jl. Tunggal Asri RT 03 RW 02 Bareng, Babadan, Ponorogo. Penulis adalah istri dari DR. Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag.