Kasnadi *
Sekarang ini disebut zaman casing. Semua orang membutuhkan casing. Semua orang menginginkan casing. Semua orang tergiur casing. Semua orang terbius oleh casing. Semua orang memburu casing. Semua sendi kehidupan manusia terlanda wabah casing. Hampir semua persoalan dilihat atas dasar gebyar casing-nya. Casing menjadi barang komodity yang laris manis. Gebyar casing secara kasat mata menjadi barometernya. Penampilan menjadi taruhan. Bungkus menjadi tolok ukur. Penampilan menjadi barang mewah. Casing menjadi terpenting. Bentuk akan menjadi segalanya. Hakikatnya kesemua itu, sesungguhnya untuk apa?
Lihatlah pola hidup dan gaya anak-anak muda. Membungkus tubuh dengan beragam mode ketatnya. Menenteng tas buatan Italia. Memakai sepatu ala Madona. Memburu bahan pemutih untuk mengubah kulit sawo matangnya. Mengganti alis sesuka selera. Mengubah kelopak mata menjadi berwarna. Mengubah hidung menjadi mancung. Mengubah pipi menjadi tirus. Membentuk gigi menjadi rata. Mengubah rambut keriting menjadi reubondeing. Mengubah wajah dengan topeng barunya. Akhirnya, bak hand phone Cina yang sering berganti casing-nya.
Tengoklah ulah para manula. Mereka sangat bernafsu mempertahankan casing waktu mudanya. Menahan keriput wajah dengan berbagai kosmetik berbahaya. Mencegah otot kendur dengan susuk segala. Mencegah kegendutan dengan diet murahan. Ingin mencegah perut buncit tapi makan lahap menuruti nafsunya. Ingin mempertahankan kebugaran, tapi tak mau olah raga. Ingin tampil prima, tetapi malas berusaha.
Zaman casing juga merambah persoalan kuliner. Lihatlah, kuliner masa kini. Kelezatan makanan yang tersaji di layar televisi tergantung gebyarnya. Tidak penting lagi kandungan gizi. Tidak penting bahan asli. Sajian dan tampilan menarik yang utama. Apalagi ditambah dengan chef yang cantik nan menawan serta bergaya. Casing yang menarik akan menggugah selera.
Dunia fiksi di era 2000-an ini juga tidak lepas dari serangan virus casing ini. Para penyaji dunia khayal di zaman gebyar ini tak bias lepas dengan casing. Tidak seperti zaman dahulu, penulis fiksi seorang bohemian yang cenderung penampilan sederhana dan apa adanya kalau tidak bisa dibilang “kumel” dan “semrawut”. Di era sekarang ini muncul penulis-penulis yang aduhai casing-nya. Mereka tumuh bak jamur di musim penghujan. Mereka selebritis yang cantik-cantik dan berpenampilan menarik lagi anggun. Pantaslah mereka mendapat label “sastra wangi”, karena mereka kebanyakan beraroma harum parfum yang membuat gairah meloncat-loncat. Mereka bergaya megametropolitan. Kepopuleran mereka tidak ditentukan oleh karya yang ditelorkannya saja, akan tetapi juga gaya hidup dan penampilannya. Kecangggihan casing-nya mampu mengalahkan kehebatan daya pikir dan kecermelangan otaknya.
Zaman casing juga menyusuf dalam dunia perhajian. Tengoklah, mereka yang pulang dari tanah suci. Mereka cenderung menambahkan satu huruf “H” di depan nama aslinya. Jikalau setiap pergi ke tanah suci menambahkan satu huruf “H” di depan namanya, bagaimana mereka yang berhaji berkali-kali? Apa juga menambahkan huruf “H” di depan namanya, sehingga HHHHHHH? Hah! Bukankah haji salah satu kewajiban umat manusia yang meyakininya sama derajatnya dengan kewajiban yang lain? Mengapa mereka tidak menempelkan huruf “S” di depan namanya usai mengucap dua kalimat syahadat, huruf “S” habis mengerjakan salat, huruf “Z” setelah membayar zakat, dan huruf “P” sehabis menjalankan ibadah puasa Ramadan sebulan lamanya?
Zaman casing, zaman yang mengedepankan lahir dan merendahkan batin. Zaman yang serba gebyar, berfokus pada visual, mengabaikan nalar. Aneh …, tetapi nyata!
*) Penulis adalah Staf Pengajar STKIP PGRI Ponorogo