Sutejo
Kompas, 17 Nov 2003
Berkaitan dengan penyelengaraan pendidikan di bulan puasa, Direktur Jenderal Dasar dan Menengah Depdiknas Indra Djati Saidi mengemukakan tiga option: (i) sekolah dapat meliburkan kegiatan belajar-mengajar (KBM) selama bualn Ramadhan; (ii) sekolah diperbolehkan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar; dan (iii) sekolah boleh melaksanakan kegiatan belajar–mengajar, tetapi waktunya tidak sehari penuh (Kompas, 24/10).
Tawaran ini sesungguhnya menyarankan pada bagaimana kearifan manajemen sekolah -dalam paradigma otonomi sekolah- memiliki kecerdasan pengelolaan yang berkesesuaian dengan konteks sosial sekolah, serta pada potensi yang ada.
Di sinilah maka sekolah dituntut searif mungkin mengelola dan mengantarkan siswa didiknya agar memiliki karakter tertentu, agar sekolah tetap ‘’terkendali’’, agar sekolah tetap dalam kerangka program secara berkelanjutan. Pilihan untuk meliburkan sekolah, misalnya, tentu bukanlah pilihan yang tidak berisiko jika tidak disertai dengan sistem kontrol komunikasi yang baik dari sekolah. Ini terutama mengingat kecenderungan siswa sekarang yang berbeda dengan tempo dulu.
Demikian juga misalnya, jika yang diambil adalah pilihan kedua dengan menjalankan KBM seperti bulan yang lain. Ini tentu kurang produktif mengingat kondisi siswa dalam keadaan yang tidak maksimal. Bisa jadi, semalam ia lebih disibukkan kegiatan keagamaan di lingkungan dan keluarganya.
Maka, tampaknya pilihan yang banyak diambil berbagai sekolah adalah pilihan ketiga: mengaktifkan KBM dengan mengurangi rentang waktu pembelajaran. Sebagaimana tahun lalu, maka sekolah menyelenggarakan KBM dengan mengurangi rentang jam pelajaran, yang biasanya 45 menjadi 30 atau 25 menit. Permasalahannya adalah: (i) efektifkah waktu 25 menit; dan (ii) efektifkah menyelenggarakan KBM di bulan puasa?
***
BANYAK alasan yang dapat dikemukakan sekolah untuk tetap menyelenggarakan KBM ini. Pertama, agar anak tidak terlalu lama libur untuk menjaga motivasi belajar siswa didik. Kedua, karena target kurikulum, sehingga materi harus selesai dalam waktu yang telah ditetatpkan. Ketiga, bulan puasa adalah momen yang tepat untuk menanmkan spiritual quotient.
Di sinilah kearifan guru di kelas akan menjadi taruhan awal dalam mengelola KBM dalam bulan puasa ini. Bagaimana dapat memanajemeni kelas secara rileks, menyenangkan, dan tidak terlalu ‘’membebani’’ materi kognisi, sebaliknya lebih menekankan pada aspek spiritualitas.
Kemampuan guru, misalnya, dalam menyinergikan materi tertentu dengan nuansa spiritual akan lebih menggairahkan dengan catatan pengelolaan pun lebih dikreasikan. Artinya, mungkin pembelajaran lebih banyak difokuskan bukan semata-mata kegiatan di dalam kelas.
Maksimalisasi perpustakaan sekolah sebagai ajang belajar menjadi ‘’daya hibur’’ tersendiri, orkestrasi pelibatan lingkungan belajar siswa, sampai pada bagaimana penciptaan interaksi pembelajaran siswa untuk lebih banyak kolaboratif. Kalau Dirjen Dikdasmen saja menyediakan pilihan penyelenggaraan sekolah secara demokratis, maka guru pun di dalam bulan puasa ini dituntut lebih demokratis. Artinya, aspirasi siswa dalam pilihan materi, model belajar, sampai pada bagaimana penyertaan setting belajar siswa difasilitasi keragamannya.
Jika ini yang menjadi pilihan, maka pembelajaran di bulan puasa akan tetap efektif dan menyenangkan. Bagi sekolah, memfasilitasi pembelajaran demikian, tentunya bukanlah hal sulit. Kuncinya adalah bagaiamana kepala sekolah mampu memanajemeni dan memberikan visi dan misi pembelajaran kepada para guru secara kondusif dan demokratis. Jangan sebaliknya, karena hasilnya tidak akan produktif.
*) SUTEDJO, Guru SMU Bakti Ponorogo.