Etos

Kasnadi *

Bangsa yang hebat adalah bangsa yang beretos tinggi
Etos dalam KBBI merupakan pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Sedangkan, etos kerja berarti semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok. Menurut Rhenald Kasali dalam buku Chage, etos yang tinggi ditandai dengan adanya perubahan (change). Perubahan pada hakikatnya terlihat pada kreativitas. Kata Rhenald Kasali sebagai salah satu penulis hebat yang kita mikiki saat ini untuk menjadi orang sukses harus berani melakukan perubahan. Wasiat yang ditawarkan adalah” Tak peduli berapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”. Di sini akan diuraikan beberapa ilustrasi yang terkait dengan etos pribadi-pribadi sukses.

Kesuksesan “Sampurna” –salah satu raksasa ekonomi di Indonesia selain “Gudang Garam”, “Djarum”, “Bentoel”, ”Unilever”, dan ”Wing”– semacam ini bukan tanpa etos yang tinggi. Konon, pembidanan “Sampurna” bermula dari pembuatan beberapa batang rokok yang diberikan kepada orang-orang di sekitarnya untuk dinikmati. Proses itu dilakukan berualang-ulang tanpa kebosanan dan kelesuan. Hari-harinya diisi dengan semangat dan keuletan untuk menawarkan sebatang, dua batang rokok yang di”linting” dengan tangan. Berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun ketekunannya semakin di depan mata dan sampai saat ini kita dapat melihat ketangguahan “Sampurna”. Bukankah itu sebuah kegigihan yang perlu diteladani?

Di harian Kompas, terdapat sosok sebagai peternak sukses. Ia menekuni kelinci sebagai pilihan hidupnya. Pada awalnya ia hanya membelikan kelinci untuk anak kesayangannya. Dari kelinci buat anaknya itu akhirnya berkembang dan terus berkembang akhirnya sampai saat ini ia mempunyai 350 peternak kelinci binaan. Menurut pengakuannya perjalannannya tidak mulus. Pernah kelincinya diserang virus ganas dan dia hampir putus asa. Tetapi, berkat ketekunannya ia bangkit dan sukses sampai saat sekarang.

Pernah suatu ketika, pemain musik hebat dari Jerman Beethoven mendapatkan sambutan yang luar biasa dari sekian banyak penonton yang menghadiri konsernya. Diantara penonton tersebut mengatakan pada Beethoven demikian “BetP senang dan bahagianya aku jika Tuhan memebrikan bakan jenius dalam memainkan musik seperti yang diberikan kepada Tuan Beethoven”. Mendengar ucapan tersebut Beethoven agak terkejut dan secara spontan mengatakan “ Itu bukan sesuatu yang datang dari Tuhan dengan segala keajaibannya apalagi jenius, tetapi saya mampu memainkan musik seperti itu tadi saya berlatih selama 8 jam tiap hari selama 40 tahun.

Barangkali sejenak perlu merenungkan dan mengenang keindahan lukisan “Monalisa” hasil karya Leonardo da Vinci. Konon, ketika Leonardo melukis “Monalisa” tersebut, dalam proses penyelesaiannya Sang Maestro lukis tidak melakukan apa-apa dalam waktu satu minggu. Ia hanya duduk di depan lukisannya tanpa menyentuhkan kuas yang dipeganganya satu kali pun. Ia hanya memandangi lukisan yang belum selesai. Ia hanya merenung dan merenung sambil mencari-cari nilai estetis yang maksimal untuk menylesaikan lukisannya. Dan, hasilnya lukisan “Monalisa” menjadi luar biasa.

Kalau kita mengikuti apa yang dilakukan aktor monolog Butet Kartaredjasa, mungkin kita manggut-manggut keheranan. Dia menjadi oktor monolog yang hebat karena dia belajar vocal, ekspresi, gesture, suara tidak sembarangan. Ia sangat tekun dan rajin menghapal dialog-dialog dalam monolognya. Dramawan Rendra menjadi aktor terkenal bukan bermodal bim salabim dan abra kadabra tapi kerja keras dan etos tanpa batas menjadi sebuah komitmennnya. Ia rela menghabiskan waktunya berkemah dipantai-pantai berbulan-bulan dalam rangka mematangkan keaktorannya.

Begitu juga dalam menulis, tidak dapat lepas dari makhluk yang namanya “etos”. Simak saja seorang penulis hebat macam Driyarkara, Azumardi Asro,Chairil Anwar, Budi Darma, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Gus Dur, Jalaludin Rakhmat, Arswendo Atmowiloto, dan masih banyak penulis-penulis yang mengandalkan etos.

Ilustrasi dari tokoh-tokoh terkenal di atas sangat jelas menggambarkan dan mengajarkan kepada kita bahwa karya yang sempurna perlu perjuangan. Kesungguhan akan mampu menggempur mitos bakat yang mengelayut sebagai kendala kita berkreasi. Hendaknya kita menghilangkan beberapa mitos diantaranya kita tidak mempunyai kemampuan bisnis, bakat seni, darah penulis dan sebagainya. Bakat yang konon anugrah Tuhan, tanpa disambut dengan etos dan keseriusan selamanya akan teronggok bagai barang tak berharga. Bukankah ada pepatah tetesan air yang terus menerus akan melubangi batu meski batu itu sangat keras? Bukankah belakang parang jika diasah akan menjadi tajam juga?

Untuk menumbuhkan etos hendaknya kita berpegang pada komitmen. Komitmen yang paling sederhana adalah komitmen dengan diri sendiri. Mulailah dengan komitmen sedernaha semisal ingin mengembangkan kepenulisan, setiap hari kita menulis sebuah kata, kemudian tingkatkan sebuah frase, sebuah kalimat dan sampai pada titik akhir sebuah wacana. Jika anda tidak percaya lakukan saja, dan hasilnya kita tunggu bersama-sama.

*) Penulis adalah Staf Pengajar STKIP PGRI Ponorogo.

Bahasa »