Mitos Narkissos

Marhalim Zaini
Riau Pos, 16 Juni 2013

“What first inspired a bard of old to sing
Narcissus pining o’er the untainted spring?” (John Keats)

Penyair Inggris, John Keats, adalah salah seorang seniman yang terinspirasi oleh tokoh mitos Yunani Kuno, Narkissos, atau yang kerap kita dengar dalam bahasa Latin, Narcissus. Dua baris puisi di atas adalah cuplikan dari puisi panjangnya berjudul I Stood Tip-Toe on Top of a Hill. Semua orang, mungkin tahu kisah ini. Seorang pemuda tampan, bernama Narkissos, yang jatuh cinta dengan bayangannya sendiri di dalam kolam. Sampai akhirnya ia jatuh ke dalam kolam itu, tenggelam. Lalu tumbuh bunga; bunga narsis.

Tak hanya menginspirasi para seniman, tapi istilah narcisism kemudian menjadi salah satu konsep cukup tenar dalam ilmu psikologi. Sebelum Sigmund Freud (terkhusus dalam On Narcissism : An Introduction, 1914), ada tokoh psikiater Jerman yang telah lebih dulu “menemukan” konsep ini, Paul Nacke (1899). Awalnya memang berkutat di sekitar persoalan seksualitas; seseorang bangkit hasrat seksualitasnya setelah ia membelai tubuhnya, dan tumbuhlah rasa cinta (self love) yang berlebihan. Namun perkembangan berikutnya, dalam konsep Freud, narsisisme lebih mengarah pada self perseveration. Dan, melindungi diri sendiri ini, bukankah ada pada setiap makhluk hidup?

Konsep narsisisme dapat dilihat secara lebih jauh dan lebih luas lagi. Lasch (1979), misalnya, melihat bahwa zaman modern ini memiliki peran dalam membentuk “masyarakat narsistik.” Mari kita tengok. Orang sukses, di mata masyarakat hari ini, adalah mereka yang memiliki atribut-atribut seperti kekuasaan, kekayaan, ketenaran. Citra orang sukses, tidak untuk mereka yang tinggi pendidikannya, mereka yang hidup sederhana, mereka yang memilih tidak populer. Penulis yang suskses itu, bukanlah penulis yang berhasil meraih berbagai penghargaan karena memang karyanya “baik,” tinggal di rumah sederhana dengan tumpukan buku terserak di merata tempat. Penulis suskses itu, yang bukunya laku, best seller.

Nah, dalam konteks ini, saya kira menarik membaca pandangan Lowen (dalam Narcissism: Denial of the True Self, 1984), seorang psikotrapis dari Amerika. Ada dua tingkat narsisme: tingkat individual dan tingkat budaya. Narsisme di tingkat individu telah berpengaruh pada bagaimana prilaku budaya yang tidak lagi memberi perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan (loss of human values).

Pertanyaannya, jika telah demikian kondisinya, di manakah “posisi” penyair/pengarang sebagai individu yang juga menjadi bagian (tak terpisahkan) dari masyarakatnya yang narsistik itu? Saya, dan juga kita, menjadi kuatir ketika si penyair telah kehilangan kepekaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, karena telah ikut sibuk bernarsis-ria, terutama dalam karya-karyanya. Maka, akan tergeruslah pernyataan Federico Garcia Lorca, yang bilang bahwa “the poet is a professor of the five bodily sense.”

Kepekaan indrawi, yang dimaksud Lorca, menurut saya adalah juga soal klaim bahwa penyair yang “baik” dan “besar” itu adalah yang “menghidupkan” semua sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya. Kecerdasan seorang penyair dengan demikian adalah juga terkait dengan kecerdasan berbahasa, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional. Maka gelar “profesor” itu menjadi legitimated.

Tapi, baiklah. Andai kita memantapkan pandangan kita secara positif, maka “bakat bawaan” bernama “narsisisme” itu, bagi penyair adalah energi untuk membangkitkan rasa cinta pada “tubuh sosial” melalui rasa cinta pada “tubuh individu.” Jika kulit tubuh individu sakit saat dicubit, maka demikianlah pula rasa sakit saat tubuh sosial tercubit. Itu, jika kita membedakannya. Tapi jika keduanya kita samakan—bahwa tubuh individu adalah juga tubuh sosial, begitu pun sebaliknya—maka masalah akan selesai. Selesai dalam arti, ketika mencintai berlebihan diri sendiri, akan serta-merta “diganggu” oleh bayang-bayang “orang-orang lain.” Ketika melihat wajah diri di permukaan kolam, akan terbayang wajah-wajah sosial yang menggelayut di belakang wajah diri.***

Dijumput dari: http://www.riaupos.co/732-kolom-mitos-narkissos.html#.Uc7v_NgZlWk

Bahasa »