Potret Kesenimanan Sulaiman Juned

Asril Muchtar *
http://kuflet.com

ISII Padangpanjang telah mendekati setengah abad mengabdi bangsa, telah melahirkan puluhan seniman dan ribuan pelaku seni. Namun demikian, tidak berapa orang di antara mereka yang dicatat dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, dan karya tulisan lainnya. Sebut saja misalnya, Gusmiati Suid (koreografer), Hoerijah Adam (koreografer), Yusbar Jailani (komposer, musisi), Irsyad Adam (musisi), dan Zulkifli (pembaru Randai). Belum ada muncul seniman generasi berikutnya yang dicatat, meskipun kiprah, kemampuan, dan karya-karya mereka telah diakui secara luas (nasional).

Saat ini muncul suatu “keberanian” dari Wiko Antoni menulis buku “biografi” sepenggal tentang kiprah kesenimanan Sulaiman Juned dengan judul, Catatan “Perang” Seorang Seniman Aceh (Perbenturan Konsep dan Ideologi Seniman Aceh di Padangpanjang). Buku ini berkisah tentang perjalanan kreativitas Sulaiman Juned dalam bidang seni, terutama dalam dunia teater. Buku yang ditulis dalam enam bab ini mencoba mengelompokkan perjalanan karir kesenimanan Sulaiman Juned sejak dari Aceh hingga merantau ke Padangpanjang dan akhirnya menetap di Padangpanjang. Kemudian juga memuat gagasan, pikiran, cuplikan naskah karya teaternya, dan metoda pelatihan berkesenian yang dikembangkan dalam komunitas Kuflet.

Secara keseluruhan dari isi buku ini lebih khusus membahas kiprah keseniman Sulaiman Juned di Padangpanjang. Sejak menjadi mahasiswa hingga menjadi dosen di jurusan tetear ISI Padangpanjang, kreativitas di bidang teater dan dunia kepenulisan ditekuni dengan intensitas produksi terbilang cukup baik. Sulaiman berkarya melalui wadah almamaternya dan melalui jaringan yang ditenunnya sendiri. Namun kemudian, Sulaiman Juned dengan beberapa orang temannya dan didukung oleh Prof Dr Mursal Esten (sastrawan dan mantan ketua STSI Padangpanjang) mendirikan satu wadah kreativitasnya, yang diberi nama: “Komunitas Seni Kuflet” (KSK). Melalui KSK, ia selalu mengasah pikiran, ideologi kesenian, kreativitas, dan berbagi pengalaman bersama teman-teman serta mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya.

KSK bagi Sulaiman Juned tidak saja sebagai wadah dalam berkreativitas melahirkan naskah dan karya-karya baru, tetapi juga sudah menjadi semacam ‘rumahnya’ sendiri. Di luar aktivitas berkesenian, Sulaiman Juned bersama anggota KSK melakukan penjelajahan imajinasi, memperkaya batin dengan perenungan-perenungan, dan mengasah pemikiran melalui berbagai diskusi dengan pakar dan seniman dari luar. Sebagai sebuah komunitas, Sulaiman Juned mencoba membangun perspektif dari berbagai dimensi dan lini dalam kesetaraan yang egaliterian. Ia menyadari, karena komunitas KSK berasal dari berbagai etnis atau daerah di Indonesia. Misalnya: Aceh, Minang, Jambi, Riau, Jawa, Bali, dan dari mana saja. Namun dalam aspek tertentu ia dapat saja memposisikan diri dengan pendekatan faternalistik bagi kalangan anggota yang muda.

Tentang KSK dan ideologi seni yang dianut serta sistem sosialisasi dalam komunitas, secara panjang lebar, diulas oleh Wiko pada bab III buku ini. Wiko menuliskannya dengan subjektif dan emosional sekali. Kesan itu menjadi tampak jelas, karena Wiko belum memuat bandingan pikiran, pendapat, dan penilaian dari beberapa komunitas teater yang ada di Padangpanjang (khususnya ISI) dan di berbagai kota di Sumatra Barat. Atau pendapat dari rekan sesama seniman dari berbagai lintas seni. Pandangan dari luar ini pada dasarnya dapat memberikan “barometer” eksistensi sebuah komunitas dan secara khusus terhadap Sulaiman Juned sendiri.

Apabila dilihat dari persepektif buku biografi, sejatinya perjalanan karir keseniman Sulaiman Juned bukan saja pada bidang teater, tetapi juga di bidang kepenyairan. Sepanjang 25 tahun lebih, Sulaiman Juned meretas kesenimanan khususnya ketika masih berada di kampung halamannya Aceh, tak terpublikasikan dalam buku ini. Kecuali hanya informasi selintas terhadap event-event sastra dan teater yang diikutinya (bab I). Padahal, lebih dari separuh masa karir kesenimanan Sulaiman Juned justru dilakukannya di Aceh.

Melihat kepada catatan aktivitas berkesenian ketika Sulaiman Juned masih berada di Aceh, tampak bahwa ia memiliki daya kreativitas dan produktivitas yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ketika berada di Sumatra Barat, khususnya di Padangpanjang. Ketika ia berada di Aceh, Sulaiman Juned bukan saja sebagai kreator seni, tetapi juga pelaku jurnalistik khususnya di bidang budaya. Posisi ini memberikan ruang gerak kreatif, percaturan ide, dan pemikiran tertantang serta terasah secara lebih tajam. Begitu pula dengan ruang gerak membangun relasi, dengan mudah dirajut oleh Sulaiman Juned tidak saja untuk Aceh, tetapi dalam kawasan yang lebih luas. Paling tidak dapat dilihat dari event-event pertemuan sastra dan pertunjukan teater yang dilakukan oleh Sulaiman Juned sudah merambah wilayah Indonesia yang luas ini. Track-record yang dicapai oleh Sulaiman Juned itu, tentu belum sebanding dengan apa yang dilakukannya ketika sepuluh tahun lebih berada di daerah perantauannya, Padangpanjang.

Sulaiman Juned juga pernah menjadi lokomotif pendobrak “kemapanan” yang ditasbihkan oleh seniman-seniman “senior” Aceh, yang membuat jurang antara seniman muda dan seniman tua. Bagi dia, kesenioran seniman tidak hanya ditentukan oleh umur dan pengalaman berkesenian saja, tetapi dapat saja dari produktivitas dan pengakuan kekaryaan secara lebih luas. Gerakan yang dilakukan oleh Sulaiman Juned itu dapat mencairkan kebekuan antar seniman di Aceh. Paling tidak sudah terjadi “islah” antar seniman.

Di sinilah barangkali, kesempatan bagi penulis buku ini untuk lebih dalam menyelami kiprah kesenimanan Sulaiman Juned. Kalau itu tidak atau belum dilakukan, akan terjadi missing link kesenimanan Sulaiman Juned. Bagi orang lain yang membaca buku tersebut melihat Sulaiman Juned hanya sepenggal saja. Bagi Sulaiman Juned sendiri yang menjadi subjek penulisan buku ini, dapat saja menghilangkan “kredit point” terhadap prestasinya. Menurut saya buku ini akan sangat lebih bermakna dan berarti bagi masyarakat Aceh sendiri dan bagi kalangan seniman teater, jika Wiko dapat melakukan chek dan cross-chek terhadap kiprah kesenimanan Sulaiman Juned di Aceh dan di Padangpanjang (Sumatra Barat). Kemudian terhadap orang-orang yang menyukai dan yang tidak menyukai kesenimanan Sulaiman Juned. Di kalangan internal sendiri, selayaknya juga dilakukan, bagaimana pengalaman dan proses berkesenian bagi anggota komunitas yang ada dan yang telah pergi. Artinya, kian luas dan dalam tentang Sulaiman Juned ditulis tentu makin berbobot pula buku dan subjek yang ditulis.

Selama berkiprah di bidang seni teater di Sumatra Barat, Sulaiman Juned telah menuliskan beberapa naskah teater dengan background sosial-kultural masyarakat Aceh yang masih bertikai dalam perspektif kekinian. Bagi Sulaiman Juned melihat Aceh dari jauh sangat berbeda emosional yang dirasakannya, jika dibandingkan ketika berada di kampung halaman sendiri. Jambo sebagai ikon masyarakat pedesaan Aceh, telah menginspirasinya melahirkan beberapa naskah. Bahkan telah dipertunjukkan dalam berbagai event. Salah satu yang terpenting di antaranya, adalah “Hikayat Cantoi: Sekali Cantoi Tetap Cantoi” yang menggunakan jambo sebagai setting utamanya. Naskah ini dipentaskan Agustus 2007 yang lalu, sebagai tugas akhir penciptaan (karya) di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Dua naskah karya Sulaiman Juned sengaja disajikan oleh Wiko dalam bukunya (bab V).

Apa yang telah dilakukan oleh Wiko melalui buku kecil ini, paling tidak telah memberikan sumbangan terekam dalam catatan, terhadap sepenggal kiprah kesenimanan Sulaiman Juned. Wiko telah membuat langkah maju yang berarti. Banyak fakta yang kita lihat, seniman-seniman yang berprestasi luar biasa melalui karya-karyanya dalam berbagai event secara luas, tetapi tidak ada yang menuliskan secara serius. Kemudian mereka hilang begitu saja, bersamaan dengan surutnya produksi karya. Atau masih ada yang enggan untuk menuliskannya, karena dihadapkan pada kepantasan atau belum seorang seniman ditulis.

*) Penulis adalah Dosen ISI Padangpanjang, dan pemerhati seni pertunjukan.
Dijumput dari: http://kuflet.com/2011/06/potret-kesenimanan-sulaiman-juned/

Bahasa »